Launching

Launching

Kamis, 11 Desember 2008

ROHANIAWAN

Rohaniwan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Rohaniwan adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan kedudukan kepemimpinan resmi dalam suatu agama tertentu. Kadang-kadang digunakan juga istilah "Klerus", yang berasal dari istilah bahasa Yunani "κληρος" yang berarti "hasil undian" atau jabatan yang diberikan berdasarkan "undian" atau penentuan nasib.

Tergantung dari agamanya, rohaniwan biasanya melakukan tugas-tugas ritual dari kehidupan keagamaan, mengajar atau berbagai tugas lainnya dalam menyebarkan ajaran atau doktrin dan praktik-praktik keagamaan. Mereka seringkali melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan siklus kehidupan seperti misalnya upacara-upacara kelahiran, baptisan, sunat, akil balik, pernikahan, dan kematian. Rohaniwan dari agama manapun umumnya bertugas di dalam maupun di luar tempat-tempat ibadah, dan dapat pula ditemukan bekerja di rumah sakit, tempat-tempat perawatan lainnya, pos-pos misi, dinas ketentaraan, penjara, dll.

Ada perbedaan yang penting antara rohaniwan dengan teolog. Rohaniwan mempunyai tugas-tugas yang disebutkan di atas, sementara teolog adalah sarjana di bidang agama dan teologi, dan tidak dengan sendirinya berarti rohaniwan. Seorang awam dapat menjadi teolog. Memang, kedua bidang ini, dapat pula bertumpang tindih. Dalam beberapa denominasi atau agama, status rohaniwan hanya diberikan kepada laki-laki, sementara yang lainnya mengakui pula perempuan sebagai rohaniwan (atau rohaniwati).

Di banyak negara rohaniwan mendapatkan perlindungan hukum khusus. Dalam kasus-kasus tertentu mereka dibiayai (atau sebagian dibiayai) oleh negara, namun umumnya mereka didukung melalui sumbangan-sumbangan masing-masing anggota agamanya.

Dalam agama Kristen, jabatan rohaniwan dapat mengambil bentuk berbagai posisi resmi maupun tidak resmi, termasuk diakon, imam, uskup (atau bishop), pendeta, dll. Dalam agama Islam, pemimpin agama biasanya dikenal sebagai imam atau ayatullah.

Daftar isi [sembunyikan]
1 Rohaniwan Kristen
2 Yudaisme
3 Buddhisme
4 Islam
5 Lihat pula
6 Pranala luar



[sunting] Rohaniwan Kristen
Pada umumnya, rohaniwan Kristen ditahbiskan. Artinya, mereka dipisahkan untuk tugas-tugas keagamaan khusus dalam agamanya. Ada pula orang-orang lain yang tidak ditahbiskan (awam) yang membantu dalam tugas-tugas gereja, namun mereka tidak ditahbiskan, meskipun mereka mungkin membutuhkan persetujuan resmi dan/atau pendidikan resmi tertentu untuk menjalankan tugas-tugas tersebut.

Jenis-jenis rohaniwan dibedakan dari jabatannya, termasuk jabatan-jabatan yang dikhususnya untuk dipegang oleh rohaniwan. Kardinal Katolik Roma, misalnya, boleh dikatakan adalah seorang rohaniwan, meskipun jabatan kardinal bukanlah suatu bentuk rohaniwan yang khas. Uskup agung bukanlah suatu jabatan rohaniwan yang khusus, melainkan semata-mata seorang uskup yang memiliki posisi khusus dengan wewenang yang khusus pula. Sementara itu, seorang pelayan pemuda atau direktur pendidikan agama di sebuah gereja tidak harus seorang rohaniwan, meskipun ada pula gereja-gereja tertentu yang mempekerjakan seorang pendeta dengan tugas khusus seperti itu.

Berbagai gereja mempunyai sistem rohaniwan yang berlainan pula, meskipun gereja-gereja dengan sistem kepemimpinan gereja yang serupa biasanya mempunyai sistem yang serupa.





[sunting] Yudaisme
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Rabi
Dalam Yudaisme kuno ada sebuah suku imamat yang resmi, yang dikenal sebagai Kohanim. Masing-masing anggota suku ini, seorang Kohen, mempunyai tugas-tugas imamat, dan banyak di antaranya terpusat pada Bait Suci di Yerusalem. Sejak hancurnya Bait Suci di Yerusalem di tangan orang-orang Romawi pada 70 M, peranan mereka telah banyak berkurang.

Sejak saat itu, para pemimpin agama dan rohaniwan dalam Yudaisme adalah para rabi. Rabi bukanlah perantara antara Allah dan manusia. Kata "rabi" berarti "guru". Rabi bukanlah suatu pekerjaan yang disebutkan dalam Torah (Kelima kitab Musa). Kata ini pertama kali disebutkan di dalam Mishnah. Bentuk modern dari rabi berkembang dalam masa Talmud. Para rabi diberikan wewenang untuk menafsirkan hukum dan kebiasaan Yahudi. Secara tradisional, seseorang mendapatkan smicha (penahbisan sebagai rabi) setelah menyelesaikan program studi yang mendalam terhadap Torah, Tanakh (Kitab Suci Ibrani), Mishnah dan Talmud, Midrash, etika dan hikmat kebijaksanaan Yahudi, peraturan-peraturan hukum Yahudi dan responsa, teologi dan filsafat.

Sejak Abad Pertengahan, suatu bentuk rohaniwan tambahan telah berkembang, yaitu Hazzan kantor.

Yudaisme Ortodoks mewajibkan semua tuntutan ini. Kaum perempuan dilarang menjadi rabi atau kantor dalam ajaran Ortodoks. Orang tidak membutuhkan gelar sarjana untuk belajar di sebagian besar seminari rabinik Ortodoks.

Yudaisme Konservatif mewajibkan semua tuntutan tradisional ini. Perempuan diizinkan menjadi rabi dan kantor dalam gerakan Konservatif. Yudaisme Konservatif berbeda dengan Ortodoks dalam arti bahwa mereka mempunyai persyaratan studi yang tidak begitu berat untuk Talmud dan responsa dibandingkan dengan Ortodoks. Namun, tuntutan-tuntutan akademisnya sama beratnya, karena Yudaisme Konservatif menambahkan mata pelajaran berikut ini sebagai persyaratan penahbisan rabi: orang harus mempunyai gelar sarjana untuk memasuki seminari rabinik. Selain itu, mereka juga wajib mempelajari tugas penggembalaan dan psikologi, perkembangan historis Yudaisme dan kritik Alkitab yang akademis.


[sunting] Buddhisme
Rohaniwan dalam Buddhisme aslinya adalah Sangha, yaitu ordo para biarawan dan ordo para biarawati, yang didirikan oleh Gautama Buddha ketika ia masih hidup dan melakukan misinya pada abad ke-5 SM. Para biarawan dan biarawati ini mengikuti patimokkha, sebuah aturan yang ketat di mana mereka bersumpah untuk hidup miskin dan berpegang pada disiplin. Namun di masa modern, rohaniwan Buddhis dapat berbeda-beda di negara-negara yang berbeda pula. Misalnya, di Korea, Jepang, dan dalam kasus-kasus tertentu Tibet, para pendeta Buddhis diizinkan menikah, padahal ini dilarang dalam patimokkha. Sebaliknya, negara-negara yang mempraktikkan Buddhisme Theravada, seperti misalnya Thailand, Myanmar, dan Sri Lanka, cenderung berpegang pada pandangan yang lebih konservatif tentang kehidupan biara. Di Amerika Serikat, tergantung pada sekte Buddhismenya, rohaniwan ditahbiskan melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman. Para pendeta Buddhis mengambil peranan yang mirip dengan pendeta Kristen atau pastor Katolik di lingkungan organisasi vihara dan menggunakan gelar Reverend. Di masa kini pendeta Buddhis menjalankan fungsi yang serupa dengan rekan-rekannya dari Kristen. Mereka memberikan konseling, memimpin kelas-kelas pendalaman agama, menulis artikel untuk surat edaran, dan memimpin upacara pernikahan, penguburan dan berbagai ritus peralihan lainnya. Mereka juga terlibat dalam kegiatan antar-agama, bertugas sebagai penasihat rohani di rumah sakit, kepolisian, stasiun pemadam kebakaran, militer, dan penjara.


[sunting] Islam
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Imam (Islam) dan Imam
Islam Sunni tidak mempunyai rohaniwan yang tetap. Istilah "imam" biasanya digunakan untuk merujuk kepada berbagai bentuk kepemimpinan agama, dari pemimpin sebuah kelompok (majlis taklim) hingga seorang ahli agama, namun semuanya itu tidak menuntut penahbisan.

Dalam Islam Syi'an, istilah "imam" mempunyai arti yang lebih spesifik. Kata ini secara harafiah dalam bahasa Arab berarti "(yang berada} di depan dari". Hal ini menunjuk kepada peranan Imam dalam memimpin sembahyang sebagai orang yang berdiri di depan jemaah. Ulama adalah kelompok pakar Islam yang terutama mengabdikand irinya dalam mempelajari dan menerapkan Syariah atau hukum-hukum Islam.


[sunting] Lihat pula
Rabi, Hazzan Kantor, Kohen
Uskup, Imam, Diakon, Penatua, Pendeta
Imam, Mufti
Goði
Granthi
Clerk

[sunting] Pranala luar
Forms of Address for Orthodox Clergy
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Rohaniwan"
Kategori: Agama

ETIKA KEPEMIMPINAN KRISTEN

Karakter Etis

Di tengah-tengah profil sejumlah nama yang disebutkan di atas, Yesus tampil sebagai pemimpin yang berkarakter lain dengan pemimpin duniawi itu. Karakter yang diperlihatkan Yesus adalah karakter etis.

Kalau pemimpin duniawi lebih banyak yang tidak konsisten dengan ucapannya, Yesus menghadirkan diri sebagai pemimpin yang konsisten. Artinya, Ia bukanlah pemimpin yang mengumbar janji-janji palsu, melainkan pemimpin yang sangat setia pada janji.

Gilbert Highest dalamSeni Mengajar(1962) menyatakan pengakuan ini dengan sangat jelas. Ia menulis, Ia adalah pemimpin yang sedikit berbicara, namun sangat banyak melakukan kebaikan. Apa yang diucapkan-Nya selalu menjadi kenyataan. Orang-orang yang mendengarkan ucapan-Nya selalu percaya. Dan memang demikianlah adanya.

Semangat etis kepemimpinan lain yang ditunjukkan Yesus adalah keberpihakan pada kaum (rakyat) lemah. Berbeda dengan pemimpin duniawi yang cenderung melupakan rakyat yang menderita, dalam perjalanan kehidupan-Nya, Yesus justru memberikan perhatian yang besar pada mereka. Kehadiran-Nya bahkan diproklamasikan untuk mereka. Ia menyembuhkan yang sakit, membuat orang buta bisa melihat lagi, membuat orang lumpuh kembali berjalan, menghibur mereka yang berduka, meneguhkan orang yang kehilangan pegangan.

Ia mempraktikkan empati yang mendalam dengan mengidentikkan diri-Nya dengan mereka. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah satu dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukan juga untuk Aku. Demikian sabda-Nya kepada murid-murid-Nya (Matius 25: 45). Tidak hanya berhenti di situ. Kematian-Nya di kayu salib juga merupakan tanda nyata sikap keberpihakan kepada kaum lemah itu.

Karakter etis lain yang terlihat dalam pribadi Yesus adalah keberanian untuk mempertahankan prinsip. Kalau pemimpin duniawi sangat mudah tergiur pada kekuasaan dan mamon, Yesus justru menunjukkan diri sebagai pribadi yang berprinsip bahwa mamon tidak boleh menguasai hati manusia. Ketika sedang berpuasa di padang gurun, Ia digoda oleh setan untuk menyembahnya, yang ganjarannya adalah kekuasaan, namun Yesus berhasil mengatasinya.

Dalam kepemimpinan, aneka karakter etis di atas merupakan pesan berharga yang bisa diambil pada Paskah ini. Dengan ini diharapkan para pemimpin duniawi mampu menunjukkan sikap konsisten pada ucapan, berpegang teguh pada kebenaran, berpihak kepada yang tertindas, bertindak adil, dan bersikap rendah hati.

Di tengah-tengah situasi sosial ekonomi yang semakin sulit dewasa ini, menurut hemat penulis, rakyat merindukan karakter pemimpin seperti itu. Hasil internalisasi karakter inilah yang memungkinkan seorang pemimpin mau bernasar untuk menyelamatkan rakyatnya dari keterpurukan.


ETIKA DALAM KEPEMIMPINAN MANAJERIAL

Posted by: agneskurniawan on: May 2, 2007

* In: Etika dan Kepemimpinan
* Comment!

Etika bisnis adalah bisnis setiap orang di setiap hari yang meliputi orang-orang dan tindakan mereka. Maka etika bisnis termasuk semua manajer dan hubungan bisnis mereka dan juga tindakan-tindakan mereka. Tindakan-tindakan manajerial mereka selalu mempunyai dimensi etika. Yang pertama adalah, manajer tidak dapat bekerja dengan ekonomi murni tanpa menyentuh kehidupan manusia. Artinya adalah bahwa seorang manajer tidak dapat bekerja sendiri tanpa bantuan dari anak buahnya. Pekerjaan seorang manajer menjadi ringan dan cepat selesai apabila Ia diperbantukan oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Lalu apakah dibantu saja sudah cukup? Tentu tidak! Mereka semua tergabung dalam sebuah tim. Dalam bisnis, untuk mencapai suatu keberhasilan, maka tim tersebut harus dapat bekerja dengan baik sehingga dapat nantinya dapat mencapai keberhasilan yang efektif dan efesien. Nah, di sinilah dibutuhkannya kepemimpinan.

Kepemimpinan yang baik dalam bisnis adalah kepemimpinan yang beretika. Etika adalah ilmu normative penuntun manusia, yang memberi perintah bagi kita apa yang harus kita kerjakan dalam batas-batas sebagai manusia. Itu menunjukkan kita dengan siapa dan apa yang sebaiknya dilakukan. Maka etika diarahkan menuju perkembangan manusida dan mengarahkan kita menuju aktualisasi kapasitas terbaik bagi kita.

Kita terikat dalam etika bisnis setiap kali memanggil seseorang atau pemimpin manusia secara moral baik atau buruk, benar atau salah, adil atau tidak adil. Kita semua mempunyai pandangan dengan nilai dan standar untuk dasar kita mengevaluasi kinerje dan tindakan bisnis. Tipe manajer yang sukses adalah memiliki pengaruh intelegensi dalam memimpin, harus dapat selalu menentukan rencana guna mencapai tujuan. Manajar harus dapat menggunakan kepandaiannya untuk menghadapi segala masalah dengan bijaksana.

Filosofi hidup dan gaya kepemimpinan manajerial berdasarkan pada pandangan yang pesimis atau optimis terhadap orang lain. Melihat kembali ke manajer aktualisasi diri, yang memandang orang lain secara optimis.Manajer mempengaruhi orang lain dalam hal bekerja mencapai tujuan perusahaan. Cara-cara mereka mendominasi dan mempengaruhi aktivitas orang lain secara langsung. Gaya kepemimpinan manajer dan aplikasinya adalah ekspresi eksternal dari karakter dan jenis moral pribadinya.

Formula kepemimpinan yang baik adalah memiliki integritas, kemitraan dan penegasan. Integritas diperoleh dari dari respek dan kepercayaan. Kemitraan adalah mengumpulkan potensi-potensi yang ada dari anggota tim. Penegasan berarti menjadikan orang lain mengerti dan mengetahui apa yang dilakukannya adalah penting dan orang-orang itu juga merasa dihargai.

Sebuah tim yang berkinerja tinggi tidak boleh menjadi lambat hanya karena ada yang gagal dalam menjalankan komitmennya. Anggota tim yang tidak memiliki komitmen berarti tidak respek pada tim dan anggota lainnya. Kepemimpinan menjadi efektif apabila semuanya dimulai dari self-leadership setiap anggotanya. Dalam artian, tim itu menjadi kuat, bila masing-masing pribadi dari anggotanya memang berkomitmen untuk selalu respek dan loyalitas terhadap kemajuan timnya.

Kepimpinan bersifat dua arah. Di mana kepimpinan bukanlah merupakan apa yang anda lakukan terhadap orang lain, melainkan apa yang anda lakukan bersama orang lain. Dalam tim, kita tidak bekerja sendiri. Masing-masing anggota mengemban tugas masing-masing dan mereka bekerja mandiri namun masih bergantung dan berkesinambungan satu sama lainnya. Dalam tim dibutuhkan kerjasama dan kekompakan yang akan menjadikan tim tersebut kuat dan solid.

Dalam sebuah tim, sangat dibutuhkan kepercayaan. Kepercayaan berarti membiarkan orang lain melakukan apa yang menjadi tugas dan wewenangnya serta bertindak secara sama tetapi masih di dalam batas kewajaran. Misalnya anggota diberi kepercayaan memiliki hak dan kewajiban bekerja memakai computer, bukan berarti bila sang pemimpin tim tidak berada di tempat, lalu anggota tim itu bisa dengan leluasa bermain game atau internet. Begitu juga dengan pemimpin, pemimpin bukan berarti bebas lepas melakukan apapun jua yang Ia sukai. Pemimpin juga harus selalu menghormati peraturan yang telah ditetapkan bersama. Kepercayaan terjadi apabila nilai dan tingkah laku bertemu. Orang-orang akan semakin menaruh respek dan kepercayaan kepada pemimpin, apabila apa yang diucapkan sang pemimpin sama dengan apa yang dilakukannya, KONSISTEN atau tidak NATO (No Action, Talk Only).

Kunci kepemimpinan yang efektif terletak pada hubungan yang dibentuk bersama anggota tim lainnya. Kepimpinan dimulai dari diadakannya rapat pembentukan. Apa yang hendak dicapai? Dengan siapa pemimpin akan bekerja? Pemimpin juga harus selalu melakukan dialog bersama anggotanya, meminta saran dan masukan dan juga tak segan-segan menegur bila anggotanya ada yang melakukan kesalahan. Pemimpin pun harus mampu legawa menerima kritikan dari bawahan sebagai cambukan agar bekerja lebih baik di kemudian hari. Formula rahasia yang kedua ini berakar dari berbagai informasi. Membagikan gambaran besar akan menjadikan setiap orang berada di halaman yang sama. Selain itu, waktu untuk berdiskusi secara satu per satu akan menambah kualitas kemitraan itu sendiri. Hubungan menjadi lebih dekat (dalam batas wajar), menjalankan tugas terasa lebih ringan apabila dikerjakan secara bersama-sama dan saling percaya. Bukankah mendaki terasa lebih gampang apabila dilakukan bersama-sama? Sapu lidi pun tak dapat membersihkan kotoran bila tidak digengam semuanya.

Selain itu, pemimpin juga diharapkan memberikan pujian, bila hasil kerja anggota timnya memang bagus. Pemimpin jangan terlalu gengsi atau menjaga jarak. Karena pujian juga merupakan hal yang sangat penting dalam kepemimpinan. Pujian yang efektif apabila diberikan secara spesifik, tulus dan dengan cepat setelah kejadian yang layak beroleh pujian terjadi. Pujian merupakan jalan terbaik bagi seseorang untuk mengetahui kalau karyanya diakui, sehingga Ia akan semakin berkeinginan untuk lebih maju lagi dalam berkarya. Setiap orang memiliki tenaga untuk memberikan pujian. Ada kalanya kita menjumpai pekerja yang kinerjanya kurang baik. namun kita juga harus mengakui kalau si pekerja masih memiliki kemampuan dan kesempatan untuk bekerja lebih baik lagi di masa datang. Orang-orang akan berpikir untuk dirinya sendiri apabila seorang pemimpin berhenti berpikir untuk mereka. Kepemimpinan pada dasarnya adalah bagaimana membawa orang-orang menuju ke tempat yang seharusnya. Pencapaian yang tertinggi dari seorang pemimpin adalah saat mereka memperoleh respek dan kepercayaan.

Pemimpin yang baik juga harus dapat menilai, mengembangkan dan mempertahankan kemampuan kepemimpinan pribadi sepanjang waktu. Dapat menginspirasi dan memotivasi orang lain (atau bawahannya). Menumbuhkna kepemimpinan yang disegani dalam tim dan organisasi atau perusahaan. Meningkatkan resonance (kewibawaan) untuk dapat selalu mendorong kinerja bawahan.

Aspek yang sangat penting daripada seorang pemimpin adalah Emotional Intelligence nya. Di mana peran kecerdasan emosi sangat penting dalam kepemimpinan. Emosi pemimpin itu dapat menular ke seluruh organisasi. Bila seorang pemimpin selalu memancarkan energi dan antusiasme dalam bekerja, maka kinerja organisasi atau perusahaan pun akan meningkat. Tidak pernah pantang menyerah, maka semua anggota tim akan begitu. Namun bila seorang pemimpn memancarkan negativitas dan ketidak nyamanan, maka kinerja organisasi akan merosot.

Pemimpin yang baik juga harus menyiratkan bahwa Ia adalah seorang pembimbing, demokratis dan penentu kecepatan dalam bekerja. Dalam membuat suatu keputusan, pemimpin sekiranya jangan plin-plan atau tidak pasti. Karena hal ini dapat memberikan dampak buruk bagi emosi bawahannya. Di mana bawahan akan merasa bahwa pemimpinnya tidak bijaksana. Sehingga mereka pun akan sering plin-plan dalam bertindak. Padahal kita ketahui bersama pengambilan keputusan sangat penting dalam kegiatan manajerial.

Pemimpin yang baik adalah seorang cakap dalam bernegosiasi dalam perundingan, dan piawai saat berhadapan dengan siasat lawan. Pemimpin yang baik juga harus selalu dapat menjadi teladan dan contoh tertinggi bagi anggotanya dalam hal keberanian, pengorbanan dan pengendalian diri. Serta seseorang yang cerdas dalam menyusun strategi. Mengingat bahwa kepimpinan sangat berhubungan erat dengan strategi. Seperti dalam berperang, tentu maju dengan strategi perang yang mantap dulu barulah berangkat. Begitu pula dengan para pemimpin dalam bisnis atau manajer. Strategi dapat ditentukan dari berbagai sudut pandang. Strategi yang baik juga mengandung nilai-nilai yang dapat membawa tim menuju keberhasilan, strategi yang baik juga dapat mengembangan hasil dari kinerja tim. Namun seorang pemimpin jangan hanya bisa membuat strategi, namun Ia harus berani melaksanakan strategi itu, walaupun untuk pencapaiannya harus melewati berbagai risiko. Namun perlu diingat pula bahwa seorang pemimpin yang baik tidak akan menempatkan anggotanya pada risiko yang sangat fatal. Karena sebagai seorang pemimpin, Ia harus selalu menjaga keutuhan dari timnya.


Di Ujung Titian Kepemimpinan


Judul : Resensi Pemimpin, antara Keberhasilan dan Kegagalan
Penulis : DR. J. Kaloh
Pengantar : S. Sarundajang
Halaman : 146 halaman
Penerbit : Kata Hasta Pustaka
Cetakan : Pertama 2006

Oleh
Emmy Kuswandari

Nama Johanis Kaloh begitu akrab di telinga kita akhir-akhir ini. Melambungnya nama Kaloh tidak terlepas dengan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Kaloh adalah rektor pengganti Nyoman Sumardi yang dinonaktifkan. Buku kepemimpinan Kaloh ini seakan menjadi ujian dari berbagai konsep kepemimpinan yang ditulis.
Membaca buku ini mengingatkan kita kembali bagaimana karakter kepemimpinan harus dibangun dan ditingkatkan. Seorang pemimpin tidak lahir begitu saja, tetapi melalui proses belajar yang panjang, bahkan seorang yang memiliki karisma sebagai seorang pemimpin pun masih membutuhkan waktu untuk belajar.
Seorang pemimpin dituntut untuk mempunyai kekuatan seorang visioner, seseorang yang mempunyai gagasan jauh ke depan, melampaui orang yang dipimpinnya. Pemimpin di masa lalu selalu beranggapan bahwa bawahan harus diberi tahu bagaimana bekerja, kapan mengerjakan, bahkan siapa yang harus bekerja.
Pemimpin seperti ini sangat percaya bahwa kontrol yang ketat dibutuh agar organisasi berjalan efektif dan efisien. Struktur organisasi yang kaku dan pekerjaan yang monoton serta detail-detail yang perlu dijabarkan menunjukkan bahwa orang yang di atas lebih berkuasa. Segala sesuatunya berada di bawah kendali.
Pemimpin seperti ini mengasumsikan bahwa bawahan adalah orang yang malas dan bodoh sehingga untuk memastikan mereka bekerja tepat waktu harus ada pengawasan ketat, padahal zaman telah berubah. Asumsi seperti ini tidak berlaku mutlak. Pemberdayaan menjadi tuntutan. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang visioner, yang mampu melipatgandakan potensi organisasi dan sumber daya organisasi secara tepat.
Visi dan misi dari seorang pemimpin membutuhkan dukungan dari semua pelaku organisasi. Di sinilah pentingnya seorang pemimpin mewarnai dinamika organisasinya. Selain itu, ia harus menunjukkan diri sebagai seorang motivator yang baik, menguatkan saat yang lain lemah, dan memastikan yang dipimpin sampai ke tujuan tanpa kehilangan arah.

Kepemimpinan Etis
Keseimbangan, harmonisasi, bagi banyak orang keadaan seperti ini menjadi dambaan, begitu juga dengan konsep kepemimpinan. Tidak lagi dengan model perintah dan sikap otoriter, tetapi konsep kepemimpinan berkembang dari kepemimpinan otokratis, hierarkis dan tradisional menjadi kepemimpinan yang etis.
Konsep ini dikenalkan oleh Robert K Greenleaf. Kepemimpinan etis ini menurut Greanleaf diterjemahkan dengan model kepempinan yang melayani. Dengan model ini, kepemimpinan model baru ini secara simultan akan meninkatkan pertumbuhan pekerja, memperbaiki kualitas, kerja sama tim, keterlibatan pribadi, perilaku etis, dan kepedulian. Cara pendekatan demikian disebut dengan kepemimpinan pelayanan.
Padahal dua kata ini yaitu pemimpin dan pelayan dalam kehidupan sehari-hari menjadi kata yang kontradiktif. Pemimpin tidak disandingkan dengan pelayan.
Greenleaf mengatakan pemimpin besar mula-mula harus melayani orang lain. Ini sesungguhnya adalah kenyataan sederhana yang merupakan inti kebesarannya.
Kepemimpinan sejati timbul dari mereka yang memiliki motovasi utama untuk menolong orang lain. Jadi kepemimpinan haruslah menempatkan suatu model pelayanan bagi orang lain, sebuah cara pendekatan holistik kepada pekerjaan, rasa kemasyarakatan dan kekuasaan pembuatan keputusan yang dibagi bersama.
Pemimpin pelayan ini haruslah berawal dari perasaan alamiah, melayani terlebih dahulu, baru kemudian dengan pilihan yang sadar akan membawa orang untuk memimpin.
Perbedaan ini memanifestasikan diri dalam kepedulian yang diambil oleh prioritas tertinggi orang lain adalah dilayani. Ujian yang terbaik adalah apakah mereka yang dilayani tumbuh sebagai pribadi yang baik ataukah mereka yang sementara dilayani menjadi lebih sehat, bijaksana, lebih bebas, lebih mandiri dan lebih memungkinkan diri mereka menjadi pelayan?
Konsep kepempinan ini adalah konsep yang mengubah pendekatan kepemimpinan secara evolusioner dan pribadi bukan secara revolusioner. Konsep ini bukanlah perbaikan instan atas persoalan-persoalan kepemimpinan. Kepemimpinan pelayan membutuhkan waktu panjang untuk memberikan perubahan pada kehidupan dan kerja.

Menentukan Pilihan
Mengutip Perry M. Smith, Kaloh mengatakan begitu banyak pemimpin yang otaknya mati. Mengapa? Karena begitu banyak pemimpin yang membiarkan pikirannya “beristirahat”, sehingga akhirnya tumpul, padahal jabatan yang dipegangnya menuntut ketajaman berpikir secara terus menerus. Kaloh mengingatkan agar hal ini jangan terjadi pada kita. Kesehatan mental dan intelektual harus terus dijaga untuk menumbuhkan kreativitas dan inovasi dalam segala skala ruang dan waktu.
Jika Anda seorang pemimpin yang merasa lelah, jemu dan ingin menikmati masa pensiun dengan tenang, segeralah untuk melakukan hal itu dari pada memboroskan waktu untuk sesuatu yang tidak produktif. Itulah sarannya. Dengan kata lain, menjadi seorang pemimpin harus tahu apa yang dilakukan. Jika bertahan pada kondisi yang tidak produktif lagi, selain merugikan diri sendiri juga merugikan orang yang dipimpin.
Buku yang ditulis oleh J Kaloh ini mengingatkan kembali apa yang semestinya kita lakukan saat kita mendapat mandat ini. Bagaimana peningkatan kemampuan harus terus dilakukan, baik komunikasi atau manajerial.
Seorang pemimpin yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik, akan menyulitkan pendelegasian tugas yang harus dilakukan.
Kaloh mengingatkan keberhasilan seorang pemimpin bukan di akhir kepemimpinannya, tetapi sepanjang proses ia menjalankan kewenangan tersebut. Mengembangkan pribadi yang dipimpinnya menjadi orang yang bebas dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya merupakan tuain lain dari buah kesuksesan.
Seorang pemimpin tidak akan membatasi dirinya pada ruang dan waktu, tetapi di mana dan kapan saja predikat pemimpin selalu diakui oleh orang lain.
Saat ini pun, kepemimpinan Kaloh juga mendapat ujian. Bagaimana ia mengimplementasikan kata-kata bijak dalam bukunya di lembaga yang kini dipimpinnya. Keluar dari krisis, pembenahan kultur dan sorotan negatif tentang lembaganya harus ia lakukan.

Memilih Pemimpin Transisional



MELALUI pemilu tahun ini, kita memilih anggota legislatif dan pemimpin puncak eksekutif-insan-insan yang bakal memimpin negara yang sedang dalam transisi antara realitas kehidupan lama yang penuh korupsi, kekerasan, dan ketidakadilan di satu sisi, dan harapan kehidupan baru yang lebih demokratis, akuntabel, beradab, dan adil, di sisi lain.

Realitas transisi itu melahirkan keniscayaan khusus dalam kualitas kepribadian pemimpin. Pengenalan keniscayaan khusus itu bisa diproyeksikan relatif menyeluruh dalam gambaran sosok kepribadian pemimpin yang diharapkan dapat memimpin Indonesia menyelesaikan masa transisi dengan baik, selamat, dan benar.

SETIDAKNYA ada enam keniscayaan yang menjiwai kualitas kepribadian pemimpin Indonesia masa transisi: (1) keterbebasan dari keterlibatan dalam korupsi; (2) keterbebasan dari keterlibatan dalam kekerasan; (3) keterbebasan dari praktik ketidakadilan; (4) komitmen pada demokrasi dan cara kerja yang akuntabel; (5) komitmen pada kehidupan beradab dan nirkekerasan; dan (6) komitmen pada penegakan hukum dan keadilan.

Jika diperhatikan, keniscayaan pertama hingga ketiga dapat dirangkum dalam sebuah karakteristik besar yang terungkap dalam frase, "Pada dasarnya bebas dari keterlibatan dalam praktik pemerintahan masa lampau". Mau tak mau, bangsa Indonesia kini harus memberi perhatian besar kepada masa lampau, terutama dalam memilih pemimpin. Demi transisi yang terselesaikan dengan baik, selamat, dan benar, bangsa Indonesia memerlukan pemimpin yang baru, bukan sekadar jelmaan setelan mental (mind-set) lama dan kebiasaan lama.

Ini bukan masalah dendam atau balas dendam, melainkan pengakuan pada realitas bahwa setelan mental dan perilaku manusia masa kini dan masa depan dipengaruhi kebiasaan lewat pengalaman hidup yang pernah dihayatinya di masa lampau. Manusia bisa terus belajar untuk berubah, bertumbuh dan kembang, menjadi lebih baik. Namun di tengah hamparan dua ratus juta lebih orang Indonesia, banyak harapan untuk menemukan insan-insan yang berisiko lebih kecil untuk berperilaku koruptif karena determinisme masa lampaunya yang penuh korupsi. Mereka adalah insan-insan yang pada dasarnya bebas dari keterlibatan dalam praktik pemerintahan masa lampau. Selain itu, memilih orang yang menyandang masa lampau, yang penuh korupsi, kaya praktik kekerasan atau banyak ditandai tindakan tidak adil, untuk memimpin Indonesia menyelesaikan transisi merupakan tindakan amat tidak hati-hati, berisiko amat besar, seolah tanpa memahami hakikat transisi itu sendiri.

Jika diperhatikan, keniscayaan keempat hingga keenam dapat dirangkum dalam karakteristik besar yang terungkap oleh frase, "Tidak ragu dan berani mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi, akuntabilitas, keberadaban dan nirkekerasan, serta penegakan hukum dan keadilan". Karakteristik ini menandai keniscayaan khusus lain yang terbebankan ke bahu rakyat, yaitu dukungan nyata berupa praktik hidup rakyat sehari-hari yang menolak korupsi, ketertutupan, kekerasan, dan ketidakadilan, di satu sisi. Dan di sisi lain aktif mengejawantahkan perikehidupan yang demokratis, akuntabel, beradab dan nirkekerasan, serta adil. Pada titik ini dapat disadari, lingkungan dan sistem yang dikreasikan rakyat menjadi faktor penting keberhasilan kepemimpinan Indonesia di masa transisi. Tanggung jawab besar tertumpu di bahu pemimpin, namun rakyat ikut bertanggung jawab.

Keniscayaan khusus keempat hingga keenam merangkum tiga ciri kepribadian berupa keberanian, ketegasan, dan keandalan. Pada konteks Indonesia transisional, ketiga ciri kepribadian itu terkait pengejawantahan nilai-nilai demokrasi, akuntabilitas, keberadaban dan nirkekerasan, serta penegakan hukum dan keadilan. Pada titik ini tampak Indonesia transisional membutuhkan pemimpin yang bukan penakut dan tidak kompromistis, tetapi pemimpin yang berani, tegas, dan andal.

Pemahaman keenam keniscayaan khusus itu menegaskan betapa himpunan ciri kepribadian yang memenuhi persyaratan etis dan moral jauh lebih penting untuk menyelesaikan masa transisi ketimbang persyaratan intelektual, persyaratan teknologis-teknokratis, atau kepakaran ilmiah. Ada dua rasional yang menyangga hal itu. Pertama, kemampuan intelektual, teknologis, dan teknokratis bisa ditumbuhkembangkan sepanjang era kepemimpinan lewat dukungan staf kepemimpinan yang diisi insan-insan spesialis yang berpengalaman di bidang keilmuan atau bidang profesional masing-masing. Jadi persyaratan kemampuan intelektual, teknologis, dan teknokratis lebih mudah dipenuhi dan ditambah daripada persyaratan etis dan moral yang secara khusus menjadi faktor terpenting kepribadian pemimpin.

Persyaratan etis dan moral yang terangkum dalam ciri-ciri kepribadian pemimpin bukan barang jadi yang bisa didapat secara instan karena pada dasarnya mereka adalah kristalisasi proses tumbuh kembang sehat kepribadian manusia yang terjadi lewat pengalaman hidup hari demi hari yang berporos pergulatan perengkuhan nilai-nilai, sehingga menghasilkan kebiasaan baru dan pilihan sadar yang membebaskannya dari kebiasaan-kebiasaan lama nan membuta. (Ini sesuai diktum psikoanalisis, As the unconscious becomes conscious, blind habit is replaced by choice-Corey, 2001; Kovel, 1976).

RASIONAL kedua, realitas transisi dan perjalanan penyelesaiannya (working through the transition) merangkum proses psikososial pokok berupa pembebasan atau pelepasan khazanah mental dari ikatan-ikatan lama atau kelekatan-kelekatan lama (the prior attachments), yang disertai dan diikuti perengkuhan kebiasaan-kebiasaan baru (the new habits, the new way of life) yang merangkum nilai-nilai baru pula. Nilai-nilai baru ini melawan atau menegasikan nilai-nilai lama yang menjiwai ikatan atau kelekatan lama. Ikatan atau kelekatan lama berporoskan korupsi, ketertutupan, kekerasan, dan ketidakadilan. Sebaliknya, kebiasaan baru berporoskan demokrasi, akuntabilitas, keberadaban, dan nirkekerasan, serta penegakan hukum dan keadilan. Proses psikososial melepaskan ikatan atau kelekatan-kelekatan lama dan merengkuh kebiasaan-kebiasaan dan cara hidup baru mensyaratkan keberanian yang tak kepalang tanggung, terutama justru keberanian sang pemimpin untuk menundukkan diri sendiri.

Pada perspektif ini, kekuatan etis dan kekuatan moral jauh lebih penting ketimbang kekuatan intelektual, teknologis, dan teknokratis karena kekuatan moral dan kekuatan etis itulah yang bisa berfungsi sebagai daya efektif kepribadian pemimpin untuk berani menundukkan diri sendiri, berani meninggalkan dunia lama serta berani merengkuh dunia baru.

Mengakhiri artikel ini, kita coba rumuskan sosok pemimpin Indonesia transisional: (1) insan pemimpin yang sungguh baru, pada dasarnya bebas dari keterlibatan dalam praktik pemerintahan masa lampau; (2) insan yang etis dan bermoral luhur; (3) insan yang sungguh memiliki keberanian, ketegasan, keandalan, terutama pada perspektif pengejawantahan nilai-nilai demokrasi, akuntabilitas, keberadaban dan nirkekerasan, serta penegakan hukum dan keadilan; (4) insan yang berinteligensi di atas rata-rata, tidak niscaya berinteligensi superior atau amat superior, namun mampu belajar mandiri bersinambung, dan terus mengintegrasikan hasil belajar untuk senantiasa menyempurnakan kepemimpinannya secara rasional dan bertujuan


Etika Prosesi Pemilihan Pemimpin

Dalam setiap prosesi pemilihan memimpin hampir dapat dipastikan selalu saja menjadi sebuah ajang “kompetisi panas” didalamnya dengan munculnya sikap untuk saling mengungguli diantara para calon pemimpin. Hal itu memang suatu realitas yang tidak dapat dihindari oleh semua calon pemimpin dalam upaya membentuk dan pencitraan diri yang elegan, supaya terkesan mempesona dihadapan umat, baik yang dilakukan secara logis hingga sampai kepada yang tidak logis dalam pandangan umum, semua itu dijadikan sebagai agenda untuk mencapai “kursi empuk” kepemimpinan.
Kesempatan pencitraan diri itu dijadikan sebagai salah satu isu yang tidak dapat dianggap kecil perannya dalam menarik simpati umat, karena apabila para calon pemimpin berhasil “mensihir” umat dengan tampilan diri yang mengesakan, tentu pilihan untuk dipilih semakin terbuka besar. Akan tetapi sesuatu yang mesti untuk dipertegas dalam prosesi pemilihan pemimpin itu adalah urgensinya penegakan etika di dalamnya supaya tidak ada yang “terlukai” apalagi memang ternyata kalah dalam prosesi tersebut, dan juga supaya tidak ada muncul merasa telah di “curangi” oleh lawan politik yang berhasil memenangkan tampuk kekuasaan.
Untuk itulah dalam tulisan singkat ini akan dijelaskan betapa urgennya untuk menegakkan etika dalam prosesi kepemimpinan yang diharapkan mampu membawa kebaikan kolektif bagi umat, dan apabila tidak diindahkannya etika dalam prosesi pemilihan pemimpin akan sangat memberikan implikasi kepada tidak sehatnya persaingan diantara calon pemimpin, dan itu semua sebagai tanda kecil dalam babak baru bahwa kepemimpinan sudah dijalankan secara tidak sehat pula yang hanya menjadi ajang “melampiaskankan” segala keinginan semata yang hanya mencari keuntungan material semata.
Etika dalam Pemilihan Pemimpin
Etika dalam Islam merupakan “napas” kehidupan yang tidak boleh berhenti, karena disadari atau tidak dengan etika lah manusia mampu mencapai posisinya sebagai manusia seutuhnya. Makanya tidak mengherankan Islam selalu saja mengedepankan etika dalam segala aspek kehidupan termasuk di atas ilmu pengetahuan yang selalu saja disebut-sebut sebagai “knowledge is power” oleh F. Bacon, dan tentunya sangat terlebih lagi dalam prosesi pemilihan pemimpin diperlukan etika didalamnya karena prosesi tersebut sangat “rawan” dengan aksi-aksi yang merendahkan etika itu sendiri di dalamnya.
Dalam prosesi pemilihan pemimpin itu sejatinya calon pemimpin untuk tidak terjebak dalam “hasrat” keinginan menjadi pemimpin semata, melainkan juga mempertimbangkan segala hal yang berkaitan dengan nasib masa depan yang akan dipimpinnya dengan mengedepankan semangat kebaikan kolektif sebagai standarisasi dari keinginan untuk menjadi pemimpin. Karena harus disadari bahwa puncak kemimpinan bukan akhir dari sebuah karir politik, melainkan babak baru dalam perjalanan karir seorang calon pemimpin sehingga tidak ada kemestian bagi para calon pemimpin untuk menghabiskan energi dan materi dalam menghadapi prosesi kepemimpinan tersebut.
Jabatan kepemimpinan sendiri merupakan tanggung jawab berat yang tidak semua orang dapat menjalankan secara baik, bahkan kalau meminjam istilah Ibn Muqaffa’, “kepemimpinan itu ibarat menunggang singa, apabila tidak pandai menungganginya sang penuggang itulah yang akan diterkam tunggangannya”. Sehingga sangat baik kalau seandainya semua calon pemimpin menyadari beratnya tanggung jawab seorang pemimpin itu, dan tentu tidak pernah berupaya untuk “berebut” menjadi pemimpin, maka tentunya sangat disayangkan kalau seandainya ada calon pemimpin yang melakukan segala cara untuk menduduki posisi tersebut.
Selain itu juga sangat diragukan motivasi calon pemimpin yang benar-benar sangat ambisius untuk meraih kedudukan pemimpin, apalagi sampai harus mengeluarkan uang banyak hanya untuk mengejar posisi kepimpinan, sangat dapat dipastikan pada saat puncak kepemimpinan tersebut diraih, saat itu jugalah kesempatan untuk mengembalikan semua modal yang telah dikeluarkannya, hingga pada puncak ironisnya lagi akan mengambil keuntungan yang sebanyaknya untuk memperkaya diri sendiri walaupun harus mengorbankan kepentingan umat sebagai konsekuensi logis dari bekal ambisius semata menjadi calon pemimpin.
Sangat arif sekali kalau kita mau kembali membaca ulang sejarah Islam dalam dekade awal, bagaimana umpamanya terlihat gerakan politik yang lancarkan oleh pihak Mu‘awiyah b. Abi Sufyan untuk mengambil alih kepemimpinan Ali b. Abi Thalib dengan landasan argumen positif sering dikatakan bahwa yang menjadi motivasi perebutan kepemimpin itu faktor keyakinan dirinya berhak dan merasa layak untuk memimpin, akhirnya berbuah menjadi palapetaka bagi kemanusiaan dengan terpecahkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam penjara dinasti saat itu.
Menurut penulis ilustrasi sejarah ini sangat tepat dikedepankan untuk menjadi i‘tibar bagi calon pemimpin untuk mempertimbangkan motivasinya dalam menghadapi prosesi kepemimpinan mendatang, karena tanpa adanya komitmen yang kuat untuk membawa perubahan yang lebih baik tidak mustahil akan mengulang kembali perpecahan dikalangan umat dan apabila itu sudah terjadi merupakan “kematian kecil” dalam kehidupan sosial umat, dan keinginan untuk lebih baik dari sebelumnya hanya merupakan imitasi belaka.
Untuk itu penulis melihat perlu menegaskan beberapa hal yang berkaitan dengan etika dalam pemilihan pemimpin itu yang setidaknya akan terealisasi dalam empat hal, yaitu: Pertama. Seorang calon pemimpin tidak boleh menghalalkan segala cara. Melainkan harus selalu berupaya bersikap objektif dalam menerima segala konsekuensi yang akan ditimbulkan dari prosesi pemilihan tersebut, dalam artian tidak hanya mengedepankan kepentingan tertentu yang termasuk didalamnya keinginan untuk menang semata, melainkan juga siap untuk kalah dengan mempertimbangkan sisi lain yang lebih utama, yaitu perubahan menuju perbaikan yang sesungguhnya dalam tatanan kehidupan walaupun tidak mesti harus menjadi pemimpin.
Kedua. Seorang calon pemimpin harus selalu berupaya menghindarkan pengorbananan hak orang lain. Dalam bentuk tidak boleh hanya memperturutkan keinginan semata, karena tidak jarang dijumpai keinginan calon pemimpin bertolak belakang dengan kebutuhan praktis yang mendesak untuk diselesaikan ditengah masyarakat, sehingga apabila calon pemimpin telah mengorbankan hak orang lain, itu sama artinya telah merugikan keluruhan umat, dan sebaliknya apabila mempertimbangkan nasib sehagian itu juga sama artinya memikirkan nasib keseluruhan umat (Q.S. al-Maidah/5: 32).
Ketiga. Seorang calon pemimpin tidak boleh menyebarkan fitnah. Karena fitnah hanya akan membawa kerusakan tatanan sosial, yang termasuk perbutan dilarangan keras agama (Q.S. al-Baqarah/2: 191), setidaknya dengan menghindarkan fitnah para calon pemimpin akan bersaing secara baik untuk merebut hati umat yang merupakan salah satu sikap pemimpin yang jujur dan bijaksana apabila tidak berupaya menjatuhkan lawan politik dengan jalan yang tidak restui agama, dan fitnah hanya akan mendatangkan permusuhan di antara para calon pemimpin itu sendiri, disebabkan tidak ada satupun calon pemimpin yang dapat menerima fitnah dengan lapang dada, kecuali memang bagi calon pemimpin yang benar-benar ikhlas dalam menjalankan tugasnya.
Keempat. Seorang pemimpin harus dapat menghormati rival politik, karena dengan menghargai orang lain sama halnya kita telah menghargai diri kita sendiri, makanya menghargai rival politik sejatinya harus dimiliki calon pemimpin yang termasuk didalamnya mengagumi kelebihan lawan, dan memperbaiki diri dari segala kekurangan akan dapat menumbuhkan kebesaran jiwa seorang calon pemimpin. Kebesaran jiwa itu sendiri merupakan simbol manusia merdeka yang tidak pernah diperbudak oleh hawa nafsu, melainkan dapat mengendalikan nafsunya secara terorganisir.
Penutup
Dengan demikian seorang calon pemimpin yang baik akan tetap berupaya mempertimbangkan etika di atas segalanya, termasuk dalam merebut “kursi kekuasaan” harus benar-benar menjunjung tinggi etika itu sendiri, dan apabila etika itu telah dilangkahi merupakan gagalan tingkat awal hingga akhirnya nanti saat kepemimpinan ditangannya hanya dijadikan sebagai pelampisan keinginan pribadi semata. Inilah yang penulis maksud urgensinya etika bagi calon pemimpin, yang setidaknya akan dapat menumbuhkan kesadaran calon pemimpin yang benar-benar ikhlas berjuang untuk kepentingan umat, bukan sebaliknya menginjak etika yang hanya membawa pelampiasan keinginan setelah berhasil menduduki puncak kepemimpin.[]


Membentuk etika menjadi pemimpin yang baik

Saya telah menemui beberapa orang yang memiliki pengalaman serta jabatan sebagai pemimpin dalam perusahaan. Dari sebagian pemimpin tersebut, ternyata ada beberapa orang yang benar-benar dihormati secara moral sebagai pemimpin. Pandangan positif muncul dari berbagai karyawan atau anak buah yang ada disekitarnya. Tidak memandang seberapa tinggi kedudukannya serta bidang yang ditekuni, pemimpin yang baik selalu mempunyai kesamaan antara satu dengan yang lain. Melihat adanya kesempatan untuk berbicara langsung kepada beliau-beliau, akhirya saya mendapatkan gambaran dan masukan tentang bagaimana membentuk etika diri untuk menjadi seorang pemimpin yang baik di mata karyawan atau anak buah. Dengan mengetahui etika tentu akan membuka jalan menjadi pemimpin yang baik

Saya akui sendiri bahwa saya adalah orang yang selalu bertanya dalam setiap kesempatan guna memuaskan rasa ingin tahu. Bila ditanya apakah kedudukan saya tentu saya jawab saya masih belum mempunyai kedudukan yang spesial. Mengenai pengalaman kerja di perusahaan? itu juga belum bisa dibilang lama karena hanya 1 bulan saja (kerja praktek). Namun, seperti dengan prinsip pada blog saya yang membagikan segala ilmu serta skill yang saya punyai, tidak menutup kemungkinan saya membahas tentang ilmu yang saya dapatkan dari orang lain. Pembentukan etika pemimpin ini sangat baik bila diketahui sejak dini. Apa yang saya jabarkan berikut ini merupakan murni hasil pengalaman orang lain dan terbukti dalam kegiatan sehari-hari. Saya hanya menganalisis dan membuat kesimpulan agar nantinya kita dapat mendapatkan sedikit gambaran untuk menjadi seorang pemimpin yang baik.

Ada beberapa point yang saya bahas kali ini. Tentunya saya akan batasi lingkup pembahasan hanya pada etika saja. Begitu banyak hal dan aspek yang bisa dilihat untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Etika menjadi topik dalam pembahasan saya karena nantinya anda dapat langsung mempraktekkannya pada kehidupan sehari-hari setelah membaca artikel ini.

1. Menghargai hasil kinerja anak buah
Dengan adanya rasa menghargai kepada anak buah, tentu menjadi suatu motivasi yang jitu dalam memacu semangat kerja mereka. Dengan kita memberikan pujian terhadap hasil karya mereka walaupun itu menurut pikiran kita "remeh" atau "gampang dilakukan". Perlu diketahui bahwa hasil tersebut dilakukan dengan sekuat tenaga oleh anak buah anda. Dengan memberikan pujian pada waktu dan kesempatan yang tepat maka anak buah akan merasa dihargai. Hal ini akan berdampak pada kemajuan kinerja dari anak buah anda nantinya.

2. Kesalahan pada anak buah merupakan tanggung jawab pemimpin
Seringkali saat kita membawahi beberapa anak buah dalam team. Ketika hendak mengerjakan suatu tugas tentu setiap anak buah memiliki tugas masing-masing. Ketika anak buah tidak dapat menyelesaikan tugas yang diberikan tepat waktu tentu pemimpin harus mengambil alih. Pertanggung-jawaban kepada atasan yang lebih tinggi harus dilakukan oleh pemimpin team tersebut. Pemimpin harus mampu memberikan alasan kuat yang mendasari penyebab kegagalan dari staffnya. Alangkah baiknya bila pemimpin juga ikut membantu serta memperbaiki hasil kerja anak buahnya.

3. Mengajari tanpa henti dan tidak ragu memberikan ilmu
Pemimpin yang baik tentu memiliki skill yang bersifat "generalisasi". Artinya pemimpin tersebut memiliki wawasan yang luas dalam aplikasi kerja sehari-hari. Nah, ketika memdapati anak buah yang kesal karena mengalami kegagalan dalam mengerjakan tugasnya tentu pemimpin harus menjadi solusi. Ketika anak buah bingung untuk menyelesaikan tugasnya tentu pemimpin-nya akan menjadi sarana pengaduan. Bila anda menjadi pemimpin yang ternyata mengerti solusi cara menyelesaikan masalah dari anak buah tentu akan sangat menguntungkan. Tidak ada salahnya anda mengerjakan tugas anak buah tersebut sambil memberikan petunjuk-petunjuk solusi.

4.Peduli terhadap kepentingan dan kesibukan staff
Seringkali terdengar beberapa anak buah mengeluh terhadap pemimpinnya. Biasanya adanya otoritas yang muncul karena sang pemimpim tidak mau tahu apa yang akan dilakukan oleh anak buahnya. Pokoknya tugas yang diberikan harus selesai pada tanggal sekian, jam sekian! titik!. Nah, inilah faktor yang akan menghancurkan rasa hormat dari staff. Berikan perhatian yang berkala dan teratur. Usahakan anda kunjungi masing-masing anak buah anda pada saat mereka bekerja. Pantau kegiatan mereka dan sesekali berikan komentar yang membangun atas hasil kerja mereka saat itu. Pentingnya memberikan kelonggaran / jeda waktu supaya anak buah anda bisa terlepas dari kejenuhan pekerjaannya. Bila anda peduli terhadap staff maka hasil kerja akan memuaskan nantinya.

5.Jadilah panutan dan tepat waktu
Kinerja staff akan mengacu pada pemimpinnya. Bila anda dalam bekerja terlihat rajin,sibuk,ulet dan keras tentu akan memberikan inspirasi bagi orang-orang sekitar anda untuk menirunya. Adanya sifat sungkan untuk malas akan terbentuk bila anda membiasakan sibuk dan rajin pada tiap jam-jam kerja anda. Disiplin terhadap waktu menjadi sangat sensitif bila anda sendiri juga tepat waktu dalam setiap pekerjaan.

6.Ceritakan masalah perusahaan yang layak diketahui anak buah.
Anda sebagai pemimpin tentu terkadang dihadapkan dengan banyak sekali masalah perusahaan. Pilah-pilah masalah perusahaan tersebut berdasarkan kerahasiaannya. Bila ada informasi masalah yang bersifat universal tentu perlu anda ceritakan kepada anak buah anda. Dengan menceritakan masalah yang ada, seolah-olah anak buah anda merasa mendapatkan tempat yang spesial di perusahaan. Menjadi orang yang dipercaya untuk mengetahui masalah yang ada dan berusaha membuat solusi harus ditanamkan pada anak buah anda.

7.Low profile.
Tentu sesekali anda perlu menyempatkan diri untuk membuat hubungan sosial dengan anak buah anda. Bila anda mampu menempatkan diri dalam lingkungan mereka tentu hal ini akan sangat berguna. Kesan "bersahabat" akan muncul bila anda juga turun kedalam kegiatan mereka sehari-hari. Contoh paling mudah adalah sempatkan diri anda untuk makan siang bersama mereka. Buat suasana tidak ada sekat dan semua memiliki posisi yang sama yaitu manusia biasa yang butuh makan. Anggapan pemimpin yang low profile akan terbentuk di hati anak buah anda nantinya.

Bila anda sudah melakukan tujuh langkah tersebut dengan benar maka anda akan mendapatkan predikat pemimpin yang baik di hati para staff. Lalu bagaimana cara mengukurnya apakah anda sudah mendapatkan predikat tersebut atau belum? Tanyalah pada staff pada kedudukan terendah. Kalau anda seorang manajer dan hendak menanyakan bagaimana predikat anda, silakan tanya pada office boy ( OB ) yang bekerja dalam ruangan anda setiap harinya! Thanks to mas agus, mas yudi ( selaku salah satu manajer di PT. DI - bandung ) dan mas anton ( selaku sales manajer di Coloumbia Jogja ) yang mau membagi ilmu kepemimpinannya kepada saya.


POWERkan etika kepemimpinanmu

Suatu ketika mungkin anda pernah menanyakan pada diri anda pertanyan berikut, “apa hubungan antara kekuasaan dengan kepemimpinan?”. Hubungan ini jelas hubungan kausalitas, masing-masing mempengaruhi lainnya. Seorang pemimpin memiliki pengaruh kekuasaan atas orang-orang yang dipimpinnya, dan kekuasaan lebih banyak dimiliki oleh orang-orang yang diberi label pemimpin di dirinya. Bagi para fasilitator, trainer, instruktur, dan yang sejenisnya, sangat menarik untuk mendiskusikan pertanyaan etis ini pada para peserta dalam sesi training. Untuk itu saya mencoba berbagi informasi disini tentang bagaimana mengeksplorasi hubungan antara kekuasaan dan kepemimpinan, dan kemudian menjadi bagian pembelajaran di organisasi kita… kiiita??? Elo kalllee…. Gue mah enggak

Begini langkah-langkahnya:

1. Sebagai fasilitator, Anda menulis lima huruf P-O-W-E-R di flipchart/whiteboard. *comment: Ingat jangan nulis kecil-kecil, bikin sakit mata… apalagi buat yang kacamata minus*
2. Minta setiap peserta secara sendiri-sendiri menuliskan tiga kata yang dimulai dengan huruf “p,” yang berhubungan dengan kepemimpinan dan/atau etika. Berikutnya, mereka menuliskan tiga kata dengan huruf “o” yang juga berhubungan dengan kepemimpinan dan/atau etika. Berikutnya mereka melanjutkan sisa huruf lainnya dengan cara yang sama, yaitu huruf “w,” “e,” dan “r.”
3. Setelah kira-kira 10 menit, minta peserta untuk menentukan dari semua kata itu mana yang terpenting digunakan dalam praktek etika kepemimpinan. Mereka harus menempatkan satu tanda centang (checkmark) di depan kata itu di kertas mereka.
4. Berikutnya bentuk kelompok per empat atau lima orang. Masing-masing orang nantinya akan berusaha menganjurkan kata yang dipilihnya dan berusaha membujuk yang lainnya bahwa kata ini adalah elemen etika kepemimpinan etis yang paling kritis. Masing-masing kelompok kemudian akan mencoba untuk mencapai konsensus bersama atas satu kata yang paling relevan atau kritis dalam praktek etika kepemimpinan. Paling tidak, setiap anggota kelompok berkesempatan untuk mengeksplorasi aspek-aspek etika kepemimpinan.
5. Panggil perwakilan dari setiap tim untuk menyebutkan kata yang dipilih dan menulis kata-kata yang muncul di flipchart/whiteboard, dan persilahkan tim tersebut mengomentari apa yang ditulisnya.
6. Distribusikan lembaran form lain ke seluruh peserta - yang berisi isian seperti yang tertera dibawah - serta minta peserta untuk menulis Setuju (S) atau Tidak Setuju (TS) di kolom kiri terhadap pernyataan yang muncul di lembar tersebut.
7. Berikutnya, bentuk kelompok yang berbeda per empat atau lima orang, dan minta peserta pindah ke tempat duduk yang berbeda. Tim kemudian mendapat tugas untuk melengkapi kolom kanan. Minta agar tim mencapai konsensus terhadap pernyataan mengenai kepemimpinan.
8. Terakhir minta juru bicara dari masing-masing tim menggambarkan dengan singkat proses yang terjadi. Setelah setiap tim selesai, diskusikan bagaimana energi yang dipakai untuk mencapai konsensus bersama dalam tim. Singgung pula bagaimana penggunaan kekuasaan dan pentingnya memiliki pemimpin yang tidak mendominasi atau mengeliminasi yang lain. Diskusikan tentang gambaran di antara beberapa kata seperti “harmoni,” “kerjasama,” “kepemimpinan partisipatif,” “suara yang sama,” dan lain-lain

Nah… begitu “step by step”-nya. Dan untuk memperkaya diskusi, bisa coba diajukan beberapa pertanyaan berikut:

* Mengapa kata “POWER” membawa arti yang berkonotasi negatif - diluar dari penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi?
* Pada hal-hal seperti apa yang menurut anda seorang pemimpin seharusnya menikmati penggunaan kekuasaannya?
* Bagaimana anda mendefinisikan kata “POWER”?

Semoga membantu.

Pribadi Kelompok

S TS S TS

Tujuan Kepemimpinan adalah mengembangkan pemimpin lain.

S TS S TS

Sebagai salah satu karyawan di dalam organisasi, saya merasa peluang kepemimpinan saya terbatas.

S TS S TS

Sulit melatih kemampuan memimpin pada orang lain karena sebagian besar karyawan hanya tertarik mendapatkan gaji mereka, bukan untuk berkontribusi dalam organisasi.

S TS S TS

Sulit untuk menggunakan gaya kepemimpinan karena orang di atas kami tidak mendengarkan kami.

S TS S TS

Orang yang menggunakan kekuasaan sangat cenderung untuk memiliki ego besar.

S TS S TS

Untuk menjadi pemimpin yang efektif, anda harus mampu bergerak ke arah pembesaran-diri.

S TS S TS

Orang yang bekerja keras untuk menjadi pemimpin utamanya tertarik akan kemajuan karir mereka sendiri.

S TS S TS

Pemimpin itu dilahirkan, bukan dibentuk.

S TS S TS

“Agen Perubahan” adalah satu ungkapan yang dapat diganti dengan “pemimpin.”

S TS S TS

Seorang pemimpin yang baik haruslah seorang komunikator yang baik.



Etika dalam Kepemimpinan

360 views
Posted by Chief Editor on June 18th, 2008 No Comments Printer-Friendly

1–Apakah “Etika” itu?

Pada pengertian yang paling dasar, etika adalah sistem nilai pribadi yang digunakan memutuskan apa yang benar, atau apa yang paling tepat, dalam suatu situasi tertentu; memutuskan apa yang konsisten dengan sistem nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi.

2–Apakah “Kepemimpinan yang Etis” itu

Kepemimpinan yang etik menggabungkan antara pengambilan keputusan etik dan perilaku etik; dan ini tampak dalam konteks individu dan organisasi. Tanggung jawab utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan etik dan berperilaku secara etik pula, serta mengupayakan agar organisasi memahami dan menerapkannya dalam kode-kode etik.

3–Saran-saran untuk perilaku secara etik

Bila pemimpin etik memiliki nilai-nilai etika pribadi yang jelas dan nilai-nilai etika organisasi, maka perilaku etik adalah apa yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Ada beberapa saran yang diadaptasi dari Blanchard dan Peale (1998) berikut ini:

a–berperilakulah sedemikian rupa sehingga sejalan dengan tujuan anda

(Blanchard dan Peale mendefinisikannya sebagai jalan yang ingin anda lalui dalam hidup ini; jalan yang memberikan makna dan arti hidup anda.) Sebuah tujuan pribadi yang jelas merupakan dasar bagi perilaku etik. Sebuah tujuan organisasi yang jelas juga akan memperkuat perilaku organisasi yang etik.

b–berperilakulah sedemikian rupa sehingga anda secara pribadi merasa bangga akan perilaku anda. Kepercayaan diri merupakan seperangkat peralatan yang kuat bagi perilaku etik. Bukankah kepercayaan diri merupakan rasa bangga (pride) yang diramu dengan kerendahan hati secara seimbang yang akan menumbuhkan keyakinan kuat saat anda harus menghadapi sebuah dilema dalam menentukan sikap yang etik.

c–berperilakulah dengan sabar dan penuh keyakinan akan keputusan anda dan diri anda sendiri. Kesabaran, kata Blanchard dan Peale, menolong kita untuk bisa tetap memilih perilaku yang terbaik dalam jangka panjang, serta menghindarkan kita dari jebakan hal-hal yang terjadi secara tiba-tiba.

d–berperilakulah dengan teguh. Ini berarti berperilaku secara etik sepanjang waktu, bukan hanya bila kita merasa nyaman untuk melakukannya. Seorang pemimpin etik, menurut Blanchard dan Peale, memiliki ketangguhan untuk tetap pada tujuan dan mencapai apa yang dicita-citakannya.

e–berperilakulah secara konsisten dengan apa yang benar-benar penting. Ini berarti anda harus menjaga perspektif. Perspektif mengajak kita untuk melakukan refleksi dan melihat hal-hal lebh jernih sehingga kita bisa melihat apa yang benar-benar penting untuk menuntun perilaku kita sendiri.

(Diadaptasi dari presentasi “Ethical Leadership: Doing What’s Right”, Sara A. Boatman)

Popularity: 47% [?]

Related posts:

1. TEAM BUILDING TRAINING - Handout Teknik Persuasi dalam Kepemimpinan TEKNIK PERSUASI Kemampuan untuk meyakinkan orang lain adalah salah satu...
2. TEAM BUILDING TRAINING - Handout Kepemimpinan KEPEMIMPINAN diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarahkan kegiatan anggota tim...
3. TEAM BUILDING TRAINING - Handout Pengawasan Dalam Kepemimpinan PRINSIP PENGAWASAN PENGAWASAN atau KONTROL adalah BAGIAN DARI TUGAS PEMIMPIN,...
4. Kamus Kompetensi: Integritas (Integrity) Integritas (Integrity) adalah bertindak konsisten sesuai dengan nilai-nilai dan kebijakan...
5. Memilih Gaya Manajemen Apakah anda sekarang sedang mencari-cari gaya manajemen yang dapat anda...
6. KUALITAS PEMIMPIN Selama beberapa bulan saya telah mengadakan interview dengan beberapa klien...
7. 10 Kesalahan Utama Dalam Presentasi 10 Kesalahan Utama Dalam Presentasi Tidak tepat waktu Materi tidak...





STRUKTUR


Manajemen Pemberdayaan Perempuan

* Struktur

* Kepemimpinan

* Petunjuk Teknis

- UP2K



PERILAKU KEPEMIMPINAN

Petunjuk Kerja
1. Bebtuk kelompok 5-6 orang per kelompok
2.
Tuliskan beberapa contoh (5-10) yang termasuk Lima Perilaku Kepemimpinan yang Anda ketahui dan kehidupan sehari-hari.
3. Diskusikan dalam kelompok Anda.
4. Wakil kelompok menyampaikan hasil diskusi dalam pleno.

KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan Pancasila ialah sebagai berikut

Kepemimpinan yang dijiwai Pancasila, disemangati azas keekluargaan, memancarkan wibawa serta menumbuhkan daya mapu untuk membawa serta masyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kepemimpinan yang diharapkan adalah kepemimpinan modern, kepemimpinan Pancasila perlu memiliki ciri-ciri tentang sifat kepemimpinan modern.Diantara sifat-sifat kepemimpinan modern adalah sebagai berikut :
1. Berorientasi jauh kedepan

Dalam menentukan kebijaksanaan dan memecahkan persoalan, masa yang akan akan datang selalu diperhitungkan. Karena kita bukan hidup untuk masa lampau, tetapi hidup untuk menyongsong masa yang akan datang.
2. Berlandaskan pola pikir ilmiah
Dalam mengambil keputusan mengikuti prosedur sebagai berikut :
Penentuan masalah/problem, penentuan data/informasi yang diperlukan, pengumpulan data dan informasi, analisis data, penarikan suatu kesimpulan. Dengan demikian, dihindari pengambilan keputusan yang didasarkan pada emosi atau intuisi semata-mata ataupun situasi senang dan tidak senang.
3. Berpegang pada prinsip efesien dan efektif

Menentukan cara yang perlu diambil dalam menyelesaikan suatu kegiatan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya, biaya, sarana dan tenaga yang minimal tetapi tercapai hasil yang maksimal. Cara ini perlu dipadukan dengan dengan nilai atau azas Pancasila sehingga tercapai kesalarasan, keserasian dan keseimbangan.


Dalam kepemimpinan Pancasila keterpaduan pola pikir modern dengan dengan pola pikir Pancasila bertumpu pada azas-azas sebagai berikut :
1. Azas Kebersamaan
Menurut azas kebersamaan, dalam Kepemimpinan Pancasila hendaknya :
a. pemimpin dan yang dipimpin merupakan kesatuan organisasi.
b. pemimpin tidak terpisah dengan yang dipimpin .
c. pemimpin dan yang dipimpin saling pengaruh mempengaruhi.
d. pemimpin dan yang dipimpin bukan unsur yang saling bertentangan sehingga tak terjadi dualisme
e.
masing-masing unsur yang terlibat dalam kegiatan mempunyai tempat dan kewajiban hidup (dharma) sendiri-sendiri dan merupakan suatu golongan yang paling kuat, tetapi juga tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat.
f. tanpa ada yang dipimpin tidak mungkin ada pemimpin.
2. Azas Kekeluargaan dan Kegotong-royongan
Ciri-ciri kekeluargaan dan Kepemimpinan Pancasila, diantaranya :
a. timbul kerjasama yang akrab
b. kesejahteraan dan kebahagiaan bersama yang menjadi titik tumpu
c. berlandaskan kasih sayang dan pengorbanan.
3. Azas Persatuan dan Kesatuan dalam Kebhinekaan

Kita semua sadar akan kebhinekaan bangsa Indonesia, baik dari segi suku, bangsa, adat istiadat, agama, aliran dan sebagainya.

Namun keanekaragaman itu,m masing-masing diakui keberadaannya sendiri-sendiri dan ciri-ciri kepribadiannya dalam persatuan dan kesatuan ibarat bunga setaman dalam satu jambangan, terdiri dari jenis bunga mawar, melati dan kenangan. Masing-masing tetap dikenal sebagai jenis bunga, tetapi baru akan dinamakan bunga setaman bila ketiga-ketiganya ada dalam jambangan tersebut, sehingga bunga setaman ini merupakan suatu kesatuan. Melati tidak mengharapkan agar mawar dan kenanga berubah menjadi melati semua. Sebaliknya mawar pun tidak akan memaksa melati supaya berubah menjadi mawar. Bila tidak demikian, maka tidak akan berbentuk bunga setaman.
4. Azas Selaras, Serasi dan Seimbang

Semua azas tersebut di atas harus dijiwai dan disemangati oleh azas keselarasan, keserasian dan keseimbangan, azas yang tidak mancari menangnya sendiri, adu kekuatan, atau timbul kontradiksi, konflikdan pertentangan. Adanya perbedaan keanekaragaman adalah mencerminkan kodrat alam dimana masing-masing memiliki tempat. Kedudukan dan kewajiban serta fungsinya sendiri-sendiri. Dengan adanya berbagai warna seperti biru, hijau, merah, kuning, jingga dan sebagainya akan memberikan kesan yang indah apabila tersusun secara tepat. Komposisi warna yang tepat akan menimbulkan suasana indah yang yang akan menumbuhkan ketentraman batin.


Demikianlah dalam Kepemimpinan Pancasila hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin dan antara mereka yang dipimpin harus terjalin suasana yang menimbulkan kesejukan hati dan ketentraman batin, tidak terjadi suasana yang berta sebelah yang akan menimbulkan ketegangan-ketegangan dan suasana yang ricuh dan kacau.

Sikap dan Perilaku Pemimpin Pancasila

Di negara Indonesia, setiap warga negara diharapkan bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang terkandung dalam Pancasila. Seorang pemimpin di negara Indonesia, diharapkan menjadi contoh teladan serta panutan orang-orang yang dipimpinnya, mau tidak mau harus bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan Pancasila. Ia harus melaksanakan butir-butir yang merupakan nilai-nilai dan norma-norma Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang nyata. Perbuatannya tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai tersebut.

Sifat Kepemimpinan Pancasila
Seorang pemimpin yang memiliki kepemimpinan pancasila hendaknya memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
1. Taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2.

Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan)

Mengandung arti bahwa seorang pemimpin harus mampu menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan orang-orang yang dipimpinnya yang ditunjuk oleh sikap dan perbuatannya.
3.

Ing madyo mengun karso (di tengah, membangkitkan kehendak-motivasi)

Mengandung arti bahwa seorang pemimpin harus mampu membangkitkan semangat berswakarsa dan berkreasi pada orang-orangyang dipimpinnya.
4.

Tut wuri handayani (di belakang, mengiringi, memberi semangat)

Mengandung arti bahwa seorang pemimpin harus mampu mendorong orang-orang yang diasuhnya agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.
5. Waspada purba wisesa (mengawasi dan berani mengoreksi yang dipimpinnya).
6. Ambeg parama arta (memilih dengan tepat mana yang harus didahulukan).
7. Prasaja (sederhana), bersifat wajar (tingkah laku yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan)
8. Setia
9. Gemi nasiti (teliti dan hemat)
10. Legowo (ikhlas)
11. Jujur dan terpecaya
12. Bijaksana dan mengayomi (melindungi)
13. Berani mawas diri (koreksi diri)
14. Berani dan mampu mengatasi kesulitan
15. Tegas dan bertanggung jawab atas putusan yang diambil
16. Penuh pengabdian kepada tugas
17. Berjiwa besar dan ingin tahu


PEREMPUAN DAN KEPEMIMPINAN
Pembangunan yang menyeluruh telah
Dewasa ini sudah banyak perempuan yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan diberbagai bidang, Pada umumnya perempuan belum diikutsertakan secara menyeluruh dalam perumusan, perencanaan dan pengambilan keputusan kebijaksanaan pembangunan. Sering terjadi aspirasi kaum perempuan kurang mendapat perhatian.
Walaupun banyak perempuan yang sudah mampu memegang jabatan pimpinan, tetapi data statistik belum menunjukkan hal-hal yang kita harapkan.
Contoh :
1. Pendidikan Perempuan

Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut

Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan dan Jenis Kelamin, 1999
Perkotaan Perdesaan

Pendidikan Tertinggi yang

Ditamatkan
Perempuan Laki-laki Total Perempuan Laki-laki Total
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Tdk/ Belum pernah sekolah 7,5 2,6 5,1 17,6 8,2 12,9
Tdk/ Belum tamat SD 18,4 16,6 17,5 30,8 30,8 30,8
SD 28,2 25,6 26,9 34,8 37,7 36,2
SLTP 19,0 19,7 19,4 10,1 12,8 11,4
SMU/ SMK ke atas 27,0 35,5 31,2 6,7 10,5 8,6

Jumlah 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
Sumber : BPS, Data Kor Susenas 1999
2. Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Penyebaran Pegawai Negeri Sipil yang

Menduduki Jabatan Struktural, 1997-1999
Tahun Perempuan Laki-Laki Jumlah
(1) (2) (3) (4)
1997 37.679 (14,0%) 231.115 (86,0%) 268.794
1998 37.849 (14,1%) 229.992 (85,9%) 267.767
1999 34.691 (15,2%) 194.024 (84,8%) 228.715

Sumber : Badan Kepegawaian Negara
3. Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara (DPA, DPR-MPR)
Dari data diatas jelas bahwa makin tinggi jenjang pendidikan, makin sedikit jumlah perempuan yang menamatkannya, makin tinggi jabatan, makin sedikit perempuan yang menjabatnya. Untuk memegang suatu jabatan di dalam pemerintahan ada syarat-syarat yang perlu dipenuhi. Persyaratan secara formal dari tingkat Presiden RI sampai Kepala Desa tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian, pada kenyataannya hanya sedikit jumlah perempuan yang memegang jabatan dalam pemerintahan dan badan tertinggi maupun tinggi negara kalau dibandingkan dengan laki-laki.
Hal yang demikian itu disebabkan karena berbagai hal seperti berikut :
1. Tingkat pendidikan perempuan pada umumnya lebih rendah dari laki-laki.
2. Masih ada peraturan perundang-undangan nilai sosial budaya mensyaratkan yang belum sepenuhnya mendukung peningkatan kedudukan perempuan pada umumnya dan penempatan perempuan pada khususnya.
3. Perempuan sendiri sering belum siap secara mental psikologis walaupun mereka kadang-kadang sudah memenuhi persyaratan kemampuan profesional.
Disamping itu, masih tampak jelas kecenderungan bahwa laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah keluarganya, padahal dewasa ini sedah banyak perempuan yang bekerja sebagai pencari nafkah utama maupun tambahan. Adapula pertimbangan lain yang seorang perempuan secara biologis lebih banyak memerlukan cuti daripada laki-laki, yang akan mengurangi produktivitas pekerjaannya sehingga dianggap kurang menguntungkan. Seorang perempuan harus memperlihatkan kemampuan yang jauh lebih tinggi dari laki-laki, untuk dapat memperoleh kesempatan tumbuh kembang dan menduduki jabatan pimpinan dalam pemerintahan. Dengan mengajukan kemampuan sesuai dengan tujuan GBHN. Dengan kemampuan profesional dan manajemen kepemimpinan yang mencukupi serta ketahanan mental spiritual yang tinggi, perempuan akan dapat lebih berperan sebagai pemimpin yang mempunyai kemampuan menggerakkan orang lain, serta memprakarsai kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan rakyat banyak. Sehubungan dengan hal tersebut, baik organisasi maupun orang-orang yang dipimpinnya memperoleh manfaat akan kehadirannya. Dengan kemampuan kepemimpinannya perempuan dapat pula berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijaksanaan pembangunan.
Pengembangan diri sebagai pemimpin merupakan suatu proses yang berjalan terus menerus, sesuai perkembangan nilai-nilai dalam lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, kaum perempuan sendiri harus merasa terpanggil dan bertekad untuk mengembangkan dirinya. Pengembangan diri tersebut hendaknya digali dan dimulai dari diri sendiri dan lingkungan.
Pada hakekatnya pengembangan kepemimpinan merupakan pengembangan diri pribadi seorang untuk membentuk kepercayaan pada diri sendiri dan memupuk harga dirinya. pemimpin harus sanggup mengembangkan diri setiap orang yang dipimpinnya. Perasaan bahwa ia mempunyai kemampuan tersebut dengan nilai pribadinya dapat mengatasi hambatan yang dihadapinya. Bukan sebaliknya, dengan menakut-nakuti atau mendramatisasi keadaan, orang merasa dirinya kecil dan tidak berani melakukan sesuatu.
Adakalanya perempuan tidak tahu bersikap dan berprilkau dalam menjalankan fungsi kepemimpinan. Hal ini disebabkan karena ia khawatir dianggap "tidak feminim" bila melakukan fungsi kepemimpinan (ketegasan, disiplin dan sebagainya), juga karena ia belum berlatih untuk menjadi pemimpin. Oleh karena itu, perempuan yang menjadi pemimpin, berkewajiban membagi dan meneruskan pengetahuan, keterampilan dan pengalamannya kepada perempuan lain. sejarah telah membuktikan bahwa perempuan mampu menduduki jabatan-jabatan pengambil keputusan/ pimpinan seperti Tribuana Tunggadewi, Ratu Sima, Bundo Kandung, Christina Martha Tiahahu, Tjut Nyak Dien, Margareth Thatcher, Indira Gandhi dan lain-lain.
Sesungguhnya perempuan tidak perlu ragu-ragu menjalankan kepemimpinannya. Fakta membuktikan bahwa banyak perempuan menjadi pemimpin yang baik dan disegani. Perempuan tidak perlu bertingkah laku seperti laki-laki untuk menjadipemimpin yang baik, sebaliknya juga tidak usah ragu-ragu menggunakan pandangan dan pertimbangannya sendiri dalam menjalankan kepemimpinannya.
Ciri-ciri pemimpin dalam teori-teori organisasi sebagian besar dihubungkan dengan sifat kejantanan : tegas, keras, tidak kenal kompromi, rasional, mandiri dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena yang mengembangkan ilmu manajemen umumnya adalah laki-laki, sehingga hanya ciri-ciri prialah yang dikenal sebagai ciri-ciri pimpinan yang baik. Untuk mendalami dan memahami tentang "Perempuan sebagai Pemimpin" mari kita mengerjakan tugas pada Lembar Kerja 2.
Menurut Alice Sargent dalam bukunya "Androgynous Manager" (Andros laki-laki ; gynous-perempuan), ciri khas pemimpin yang sukses ialah mereka yang memiliki "percaya diri" yang besar dan sanggup menghargai orang lain. Oleh karena itu, pemimpin yang sukses seyogyanya mempunyai sifat-sifat sabar, tegas tetapi manusiawi. Sifat-sifat tersebut, merupakan perpaduan dari ciri/ sikap "Kejantanan" yang baik dan ciri/khas perempuan yang baik pula.
Bagi pemimpin laki-laki umumnya, untuk memahami hubungan atau mengelola SDM, tampaknya masih perlu menoleh pada naluri kepemimpinan perempuan yang luwes dan manusiawi. sebaliknya, perempuan pemimpin umumnya masih perlu membekali diri dengan menerapkan pendekatan ketegasan, ketegaran dan disiplin diri dalam menjalankan kepemimpinan. Sikap kepemimpinan perempuan yang baik seperti ketelitian, kepekaan, kesabaran dan sebagainya harus tetap dipertahankan.
Pemimpin yang berdayaguna membutuhkan logika dan perasaan/intuisi, kenyataan dan cita-cita, kewenangan teknis dan sifat-sifat asah-asih-asuh. Maka untuk menjadi pemimpin yang baik tidak perlu kita meniru dan bertingkah laku kelaki-lakian dan juga tidak ada alasan untuk menghindari kepemimpinan perempuan karena sikap lembut feminimnya. Dengan demikian, pada dasarnya tidak ada hambatan lagi bagi perempuan untuk memasuki dunia menajemen dan menjadi pemimpin yang baik.
Pemimpin yang androgini adalah pemimpin yang memiliki sifat-sifat baik dari perempuan dan sifat-sifat kejantanan yang baik dalam menjalankan tugasnya.
Sifat-sifat tersebut pada hakekatnya dimiliki oleh perempuan dan laki-laki, tetapi karena masyarakat menonjolkan kodrat perempuan, terjadilah sifat yang merupakan akibat dari kodrat tersebut seperti perempuan lemah dan pria kuat.



STRATEGI KEPEMIMPINAN BAGI PEREMPUAN
Strategi dalam menjalankan kepemimpinan bagi perempuan adalah :
1. Kepemimpinan yang androgini
2. Mempertahankan sikap perempuan yang baik dan bersikap wajar
3. Bersikap asertif, mandiri dalam kebersamaan, selaras dan seimbang

Untuk mengetahui bagaimana kepemimpinan anda, kerjakanlah Lembar Kerja 3, mengenai skala perempuan.
Di lembaga formal, tidak banyak perempuan memegang jabatan pimpinan, Pada kenyataanya, di lembaga informal anda sekalian adalah perempuan-perempuan pemimpin, yang menggerakkan masyarakat, yang memimpin kaumnya ke arah kemajuan. Berikut ini adalah sebuah ukuran yang kita sebut Skala Perempuan. Biasanya, kaum perempuan hanya diukur menurut bentuk tubuhnya, tetapi pemimpin perempuan mempunyai "Ukuran Kepemimpinan" yang ditinjau dari :
a. Kodratnya
b. Kemampuan mengambil keputusan
c. Lemah lembut
d. Cara mengendalikan perasaan dan dirinya
e. Tegas, berwibawa, disiplin dan tidak ragu-ragu
f. Sifat kewanitaan yang lain
g. Sifat keibuan
h. Sifat pekerjaan yang penuh tantangan dan tanggung jawab
i. Pengembangan pribadi perempuan
j. Cara mengemukakan pendapat.


Lembar Kerja 2


PEREMPUAN SEBAGAI PEMIMPIN

Petunjuk kerja.
1. Buatlah daftar ciri-ciri atau sifat pemimpin yang baik menurut kelompok Anda dapat digolongkan kepada Ciri laki-laki (Andros) dan Perempuan (Gynos)-Kerja Kelompok.
2. Lingkari, mana yang ada pada diri anda (kerja individu).


Sifat-sifat Pemimpin yang baik

Andros Gynos
1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.
6. 6.
7. 7.
8. 8.
9. 9.
10. 10.
Lembar Kerja 3


SKALA PEREMPUAN

" Ukuran Kepemimpinan bagi Perempuan "

Penugasan individu
Berikan pendapat Anda tentang Ukuran Kepemimpinan bagi perempuan dengan membubuhkan skala nilai untuk setiap pertanyaan berikut ini :
Nilai 1 tidak setuju sama sekali
Nilai 2 tidak setuju
Nilai 3 kurang setuju
Nilai 4 netral
Nilai 5 setuju sedikit
Nilai 6 setuju
Nilai 7 setuju sekali

(.........) 1. Perempuan menurut kodratnya tidak bisa menjadi pemimpin, karena sudah ditakdirkan bahwa laki-lakilah yang berkuasa.
(.........) 2. Perempuan tidak bisa memutuskan dan senantiasa terombang-ambing dalam mengambil keputusan karena tidak dibiasakan.
(.........) 3. Perempuan itu lemah, oleh karena itu, selalu menggantungkan dirinay kepada laki-laki dan tidak bisa berdikari.
(.........) 4. Perempuan tidak bisa mengendalikan perasaan dan tidak bisa menahan diri, dibandingakn dengan laki-laki yang tegas dan brwibawa.
(.........) 5. Perempuan yang berhasil sebagai pemimpin adalah prempuan yang sikapnya seperti laki-laki yakni tegas, berwibawa dan disiplin serta tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan.
(.........) 6. Perempuan yang menjadi pemimpin akan kehilangan sifat perempuannya sehingga menyebabkan laki-laki menjauh.
(.........) 7. Perempuan yang bersifat keibuan tidak sesuai untuk terjun ke dalam organisasi, apalagi sebagai pemimpin dalam organisasi.
(.........) 8. Perempuan menurut kodratnya tidak sesuai untuk pekerjaan yang penuh tantangan dan menuntut tanggung jawab tinggi.
(.........) 9. Perempuan hendaknya mengkhususkan dirinya untuk soal-soal perempuan dan berusaha mengembangkan pribadinya agar dapat menjadi perempuan utama dalam keluarga.
(.........) 10. Perempuan tidak bisa mengemukakan pendapat dan selalu menyembunyikan perasaannya dan tidak terus terang, karenanya sifat itu kurang sesuai untuk seorang pemimpin.


Jumlah nilai keseluruhan :

ETIKA KEPEMIMPINAN

Dimuka telah diuraikan dengan pentingnya pengetahuan kepemimpinan perempuan dalam era pembangunan saat ini, khususnya yang dikaitkan dengan peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas kepemimpinan, dibawah ini akan dibahas mengenai "Etika Kepemimpinan". Dengan pengertian tersebut, diharapkan segala usaha pemimpin akan lebih berdayaguna dan berhasil guna.
Etika tidak dapat lepas dari pengertian moral. Bila pengertian etika dan moral sudah jelas, maka "Etika Kepemimpinan" akan mudah dipahami.
Moral dapat diartikan sebagai sikap batin seseorang beserta segala prinsip-prinsipnya. Seseorang yang bermoral tinggi berkemampuan mengenal dan menyesuaikan dirinya pada prinsip-prinsip kehidupan bermasyarakat yang baik, sedangkan Etika dimaksudkan sebagai pancaran moral yang baik, yang dimiliki seseorang, sehingga sehari-hari ia menampilkan tutur kata dan perbuatan yang dapat diterima oleh lingkungannya. Dengan demikian, moral dan etika merupakan suatu pengertian filosofis yang mendasar yang mempersoalkan nilai dalam hubungannya dengan sikap-sikap yang benar dan keliru serta motif-motif, tujuan-tujuan baik atau buruk suatu perbuatan.
Dari hasil penelitian para ahli sudah banyak terbukti bahwa kegagalan organisasi tidak semata-mata terletak pada kurangnya pengetahuan, tetapi banyak yang disebabkan karena tidak adanya etika dalam organisasi tersebut. Keadaan ini mengakibatkan tidak adanya hubungan baik antara yang menggerakkan (Pemimpin/pemimpin) dan yang digerakkan (anggota-anggotanya).
Perbuatan tidak etis sebagai pertanda kelemahan moral tadi akan lebih parah akibatnya bila dimulai oleh pihak yang menggerakkan (Pemimpin/pemimpin). Dalam keadaan demikian, akan mudah timbul penyimpangan, penyalahgunaan wewenang maupun tindakan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Pimpinan yang harus menjadi anutan dan pemberian suri teladan tidak akan bisa lagi diharapkan. Para anggota tidak lagi percaya pada pimpinan dan tidak percaya akan tujuan penggerak terhadap mereka.
Dari uraian di atas "Etika Kepemimpinan" dapat diartikan sebagai suatu kaidah atau peraturan tidak tertulis yang harus dipahami oleh seorang pemimpin agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik, dilandasi oleh beberapa kriteria sebagai berikut :
1. Selalu melandaskan diri pada nilai-nilai etis (kesulitan dan kebaikan).
2. Memilki satu atau beberapa kelebihan dalam pengetahuan, keterampilan, sosial, teknis maupun pengalaman.
3. Mampu melakukan kewajiban dan tugas dengan baik.
4. Memiliki sifat dewasa dan susila sehingga dapat bertanggung jawab secara etis, maupun membedakan hal yang baik dan buruk serta memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi.
5. Memiliki kemampuan mengendalikan diri yaitu mengendalikan pikiran, emosi, keinginan dan segenap perbuatan yang disesuaikan dengan norma-norma/ kaidah-kaidah kebaikan. Hal ini terpencar sebagai sikap moral yang baik dan bertanggung jawab.
6. Mentaati perintah-perintah dan larangan-larangan.

Dengan perkataan lain, "Etika Kepemimpinan" memberikan landasan kepada setiap pemimpin untuk senantiasa bersikap kritis, rasional, berani karena benar, sopan, tegas, penuh rasa tanggung jawab dalam segala tindakan.
Etika kepemimpinan yang kita anut adalah etika kepemimpinan Pancasila, yang merupakan landasan bagi pemimpin untuk selalu : berwawasan ke depan, rasional, memiliki keberanian, memiliki modal untuk membela kebenaran, tegas tetapi luwes dan bertanggung jawab atas perbuatan yang dipimpinnya.

RANGKUMAN
Kepemimpinan pada hakekatnya merupakan suatu proses edukatif. Ini berarti bahwa seorang pemimpin seyogyanya tidak sekedar mempengaruhi aktivitas pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan tertentu, tetapi juga berusaha mengembangkan kemampuan dan kemauan pengikutnya dalam rangka mewujudkan kemandiriannya.
Perempuan perlu dan harus memahami kebijaksanaan kepemimpinan, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kepemimpinan, sehingga perempuan dapat menjadi pemimpin yang tangguh, Pancasilais.
Kemampuan dan kemajuan Kepemimpinan Perempuan sangat dibutuhkan bagi Indonesia yang sedang membangun Kepemimpinan Pancasila dengan pola kepemimpinan modern, yaitu berorientasi jauh ke depan, berlandaskan pola pikir ilmiah dan berpegang pada prinsip efisien dan efektif. Seorang pemimpin Pencasilais adalah pemimpin yang beretika.

BUKU SERI KEPIMPINAN

Belajar Melihat Keseluruhan: Pemimpin yang menggunakan pendekatan sistem

RENCANA TUHAN PASTI INDAH

Ketika aku masih kecil, waktu itu ibuku sedang menyulam

sehelai kain. Aku yang sedang bermain di lantai, melihat

ke atas dan bertanya, apa yang ia lakukan.

Ia menerangkan bahwa ia sedang menyulam sesuatu di atas

sehelai kain. Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwa

yang kulihat dari bawah adalah benang ruwet.

Ibu dengan tersenyum memandangiku dan berkata dengan

lembut "Anakku, lanjutkanlah permainanmu, sementara ibu

menyelesaikan sulaman ini; nanti setelah selesai, kamu

akan kupanggil dan kududukkan di atas pangkuan ibu dan

kamu dapat melihat sulaman ini dari atas."

Aku heran, mengapa ibu menggunakan benang hitam dan

putih, begitu semrawut menurut pandanganku. Beberapa saat kemudian, aku mendengar suara ibu memanggil; "Anakku, mari ke sini, dan duduklah di pangkuan ibu."

Waktu aku lakukan itu, aku heran dan kagum melihat

bunga-bunga yang indah, dengan latar belakang

pemandangan matahari yang sedang terbit, sungguh indah sekali. Aku hampir tidak percaya melihatnya, karena dari bawah yang aku lihat hanyalah benang-benang yang ruwet.

Kemudian ibu berkata "Anakku, dari bawah memang nampak

ruwet dan kacau, tetapi engkau tidak menyadari bahwa di

atas kain ini sudah ada gambar yang direncanakan, sebuah

pola, ibu hanya mengikutinya. Sekarang, dengan

melihatnya dari atas kamu dapat melihat keindahan dari

apa yang ibu lakukan.

Sering selama bertahun-tahun, aku melihat ke atas dan

bertanya kepada Allah ;

"Allah, apa yang Engkau lakukan ?"

Ia menjawab "Aku sedang menyulam kehidupanmu."

Dan aku membantah, "Tetapi nampaknya hidup ini ruwet,

benang-benangnya banyak yang hitam, mengapa tidak

semuanya memakai warna yang cerah ?"

Kemudian Allah menjawab, "Hambaku, kamu teruskan

pekerjaanmu, dan Aku juga menyelesaikan pekerjaanKu di

bumi ini. Suatu saat nanti Aku akan memanggilmu ke sorga

dan mendudukkan kamu di pangkuanKu, dan kamu akan

melihat rencanaKu yang indah dari sisiKu."

Pemimpin Dan Pendekatan Sistem

Pernahkah Anda melihat bagaimana sebuah sistem dibuat? Di tepi sebuah desa, seorang anak remaja melihat beberapa ruas bambu, seutas tali dan sepotong bila bambu besar. Anak ini tidak hanya memandang kumpulan benda-benda tadi sebagai hal yang terpisah-pisah. Ia mulai memotong bilah bambu tadi. Dibelahya bambu tadi hingga ia mendapatkan sebilah bambu sepanjang satu meter setengah dengan lebar empat sentimeter. Setelah selesai dengan bambu itu, ia memuntir seutas tali yang panjang menjadi tali yang lebih tebal. Kemudian masing-masing ujung bilah bambu tadi diikatnya dengan sang tali sehingga bambu tadi agak melengkung. Ia masih belum selesai dengan pekerjaannya. Ia mengambil sisa bambu dan merautnya. Tak lama kemudian memiliki sebuah busur dan anak panahnya. Anak ini membuktikan bahwa ia dapat menciptakan suatu sistem dengan menghubungkan komponen-komponen yang ada padanya secara khas.

Suatu sistem adalah gabungan berbagai komponen yang berinteraksi dalam sedemikian rupa sehingga terarah pada suatu sasaran bersama dari keseluruhan komponen-komponen tersebut. Suatu sistem memang dapat dicipta dan dapat ditemukan dimana-mana. Sebuah mobil adalah sebuah sistem dengan ratusan ribu komponen. Sebuah pesawat televisi juga merupakan suatu sistem. Demikian juga dengan sekumpulan pedagang di pasar, sebuah organisasi, sebuah bandar udara, sebuah leyanan pos telegram bahkan suatu gereja, atau sebuah negara.

Pemimpin dan sistem

Ketika memimpin orang banyak, seorang pemimpin tentu menghadapi berbagai-bagai komponen yang mudah menimbulkan masalah, seperti orang, idam-idaman organisasinya, dana, relasi, teknologi dan berbagai hal lain yang tak mudah diduga perannya. Dengan mudah seorang pemimpin tenggelam dalam berbagai faktor yang menjadi hal-hal rumit serupa tadi. Banyak pemimpin berperan seperti seorang buta yang coba memahami seekor gajah dengan menganggapnya sebagai benda panjang karena ia memegang belalainya atau ekornya saja. Mungkin pula ia mengenali semua komponen yang ada di dalam apa yang ia kerjakan, namun tidak mampu mengenali hubungan satu dengan yang lainnya. Bahkan tidak mustahil ia tidak mengenali hubungan hirarkis antara satu komponen dengan komponen lainnya. Salah satu hal yang juga paling tampak di dalam hidup kepemimpinan adalah gagalnya pemimpin mengenali repons sistem dimana ia berada terhadap perubahan. Akibatnya tidak menyenangkan.

Pertama, ia tidak lagi berhasil menggerakkan diri dan pengikutnya menuju visi mereka. Ia tenggelam di dalam berbagai urusan dan perhatiannya terbagi-bagi, sehingga ia lelah bahkan menjadi skeptis dan apatis. Visinya pun mulai dilupakan dan pudar. Kemudian, kebersamaan mereka akan kehilangan dinamikanya dan diisi dengan kepahitan dan kebosanan. Sang pemimpin tidak lagi mengejar impian karena ia gagal melihat hal-hal besar dan kaitan berbagai faktor kecil dalam urusan dia dalam suatu kerangka pikir. Kalaupun ia tetap tekun menangani semua komponen masalah, ia tidak lagi menjadi pemimpin yang efektif karena ia bekerja bagai pilot pesawat yang terus menerus sibuk mereparasi bangku dan jendela di kokpitnya.

Kedua, ia gagal mengenali hubungan sebab akibat. Di dalam suatu peristiwa, seorang pemimpin menghadapi situasi pengambilan keputusan. Di dalam pabrik yang dipimpinnya ditemukan genangan oli di antara rangkaian mesin-mesin besar yang menghasilkan sebuah benda. Dengan sigap wakilnya meminta salah seorang anak buahnya membersihkan oli tadi. Namun sang pemimpin bertanya sebelum hal tadi dilaksanakan. "Dari mana asalnya oli tadi?" Orang menjawab bahwa oli tadi adalah hasil kebocoran dari sebuah mesin. Kembali sang pemimpin bertanya "Mengapa mesin tadi bocor?" Terhadap hal itu ia mendapatkan jawab bahwa mesin tadi sudah bocor sejak awal pemasangannya karena gasket nya bocor. Kini ia bertanya kembali mengapa gasket tadi bocor. Wakil dan anak buahnya, terdiam karena mereka tidak pernah memikirkan hal itu dengan dalam. Jelas sang pemimpin tidak segera mengambil keputusan namun mencoba melihat genangan oli sebagai suatu hasil dari suatu proses atau rangkaian komponen yang tidak terlihat. Ia melakukan apa yang disebut sebagai pemetaan hubungan kausal atau sebab akibat. Ia memeriksa komponen-komponen dari sistem pabriknya dan melakukan peningkatan kinerja. Bayangkan, kalau ia hanya menghapus oli yang tergenang, maka esok harinya ia akan harus melakukan hal yang sama.

Jadi memang seorang pemimpin yang handal memerlukan kemampuan menggunakan kerangka pemikiran dan pendekatan sistem, yaitu pendekatan yang menyeluruh. Hal inilah yang sering membedakan kualitas seorang pemimpin dari bawahannya. Artinya ia memiliki kemampuan menggunakan kerangka pemikiran menyeluruh tertentu di dalam menghadapi kerumitan. Namun dalam upaya memahami kerumitan tadi dengan utuh seringkali pemimpin terjebak dalam kerangka yang salah.

Pertama, ia membuat gambaran yang terlalu sederhana tentang kerumitan tadi. Akibatnya ia jatuh ke dalam penyederhanaan yang semu. Contohnya, banyak pemimpin di kepolisian Amerika latin jatuh kedalam penyederhanakan masalah narkoba. Mereka menganggap bahwa penggrebekan terhadap supplier narkoba di daerah mereka akan menekan arus jual beli narkoba di sana. Sebenarnya yang terjadi adalah sebaliknya. Bila penggrebekan narkoba terjadi, maka di daerah tadi terjadi kelangkaan barang atau supply sedangkan tingkat permintaan dan kebutuhannya tetap. Akibatnya, harga meningkat. Dengan meningkatnya harga maka para penyalur dari daerah lain mengirimkan barang dalam jumlah besar karena akan mendapatkan laba yang lebih besar dari laba di daerahnya sendiri. Selanjutnya, sampai akhirnya harga menurun kembali, maka proses jual dan beli narkoba di daerah tersebut tetap tinggi.

Pilihan kedua adalah seorang pemimpin mencoba menangani kerumitan dalam tugasnya dengan mengadakan penelitian ilmiah dan pendekatan interdisipliner. Ia ingin mendapatkan akurasi yang tinggi tentang apa yang dihadapinya sebelum ia mengambil keputusan-keputusan. Akibatnya, waktu dan enerji akan banyak dituangkan hanya untuk menjelaskan kompleksitas tadi dan berakhir dengan rasa tidak berdaya. Situasi Indonesia pada masa kini mencerminkan hal tadi.

Jadi kini, tersisa suatu pilihan lain. Pilihan ketiga adalah sang pemimpin menggunakan pendekatan sistem, suatu cara yang memberikan kejelasan utuh namun merangkum semua faktor yang berperan dalam kerumitan yang ada dengan jelas.

Menggunakan pendekatan menyeluruh atau sistem

Apakah pendekatan sistem atau kerangka pikir sistem. Apakah sistem itu? Bagaimana menciptanya, bagaimana memelihara, dan bagaimana mengenalinya? Lebih penting lagi, bagaimana menangani berbagai urusan kepemimpinan dalam kaitan dengan sistem?

Seperti sudah disinggung, suatu sistem adalah penggabungan dari berbagai komponen. Suatu permainan sepak bola, misalnya memiliki berbagai komponen baik manusia dan benda serta metode misalnya, pemain, penonton, wasit, penjaga garis, kemudian bola, gawang, lapangan, kursi penonton, bendera, pluit, baju seragam, bahkan juga cara memberikan imbalan, aturan-aturan pertandingan, metode menyerang, dan sebagainya. Komponen-komponen tadi bergerak bersama.

Suatu sistem juga adalah kaitan-kaitan antara satu komponen dengan komponen lainnya. Lebih daripada itu tiap kaitan akan menghasilkan suatu dinamika yang berbeda-beda. Seorang yang mempelajari sistem dinamika akan belajar mengenali struktur, pola-pola dan pengaruh dari kaitan-kaitan di dalam suatu sistem. Contoh yang paling jelas adalah dengan mengamati dua kelompok manusia yang masing-masing terdiri dari 50 orang yang tinggal bersama. Kedua kelompok tadi sama-sama memiliki sebidang tanah, modal kerja, senjata, teknologi, dan komposisi pria-wanita yang sama. Satu-satunya yang membedakan adalah bahwa di dalam kelompok yang pertama mereka yakin bahwa ada orang yang harus dijadikan pemimpin mereka karena orang tadi dianggap lebih luhur dan memiliki nenek moyang yang bangsawan. Sementara itu di kelompok yang lain, kepemimpinan dipilih berdasar pada kemampuan seseorang dan penerimaan orang banyak kepadanya, sehingga status dan tanggung jawab ini bersifat sementara. Kedua kelompok akan menghasilkan dua jenis struktur dan pola hubungan yang berbeda, serta mungkin pengaturan pembagian ruang tinggal dan tata krama berpakaian.

Suatu sistem dapat terdiri dari suatu komponen tunggal atau terdiri dari berbagai sub sistem atau kumpulan komponen. Selain itu komponen-komponen di dalam sistem membentuk suatu batas yang membedakan sistem tadi dengan lingkungannya, sama seperti kulit memisahkan seseorang dari orang lain atau masyarakat. Contoh yang jelas adalah di sebuah rumah susun. Di rumah susun tadi tinggal sekelompok pengusaha muda yang masih lajang serta sekelompok pekerja yang sudah bekeluarga. Dalam waktu pendek kedua kelompok tadi membentuk pola hubungan yang terpisah. Para lajang seringkali bepergian bersama di malam hari, sedangkan para ibu dan bapak rumah seringkali hanya mengobrol dengan tetangga di lingkungan rumah susun itu. Bila ada bapak-bapak yang berusaha ikut dalam acara bepergian di malam hari tadi, terasa bahwa kehadiran mereka tidak disambut hangat atau sekurangnya ditolerir.

Suatu sistem juga memiliki identitas, stabilitas terhadap perubahan dan tujuan. Pengalaman penulis tinggal bersama untuk waktu pendek di antara penghuni rumah kumuh sepanjang Tanah Abang Bongkaran di tahun 1974 menunjukkan bahwa para penghuni tidak mudah digusur atau digerebek. Berkali-kali tempat itu dibakar, penghuninya dipindahkan, serta mereka diberi tawaran untuk bertransmigrasi. Dalam waktu pendek mereka kembali menghuni tanah kosong Bongkaran serta gerbong-gerbong kereta tua di dalamnya. Berbagai organisasi mencoba menolong mengangkat kehidupan disana, namun para penghuni tidak berubah banyak karena mereka mempertahankan kestabilan lingkungan masyarakat mereka tanpa banyak dirancang.

Akhirnya suatu sistem adalah sesuatu yang terus berubah karena adanya faktor waktu yang menimbulkan berbagai dinamika di dalamnya. Dalam dekade yang lalu, sebuah sekolah sebagai sistem, misalnya, mengalami berbagai perubahan. Guru tidak lagi berperan sebagai orang tua murid, namun menjadi pengajar profesional yang memberikan waktunya. Peran orang tua lebih menjadi konsumen yang berani membayar para profesional dan lingkungan asri bagi putera-puterinya. Sekolahpun tidak lagi menjadi penjaga nilai dan keluhuran bersama ilmu yang akan diwariskan antar generasi. Sekolah semakin mirip sebagai sebuah lembaga bisnis yang memenuhi kebutuhan konsumen demi terjadinya transaksi dan pertukaran yang saling menguntungkan. Untung uang dan prestise mereka memberikan ilmu dan pembekalan masa depan. Dengan demikian guru tidak lagi menjadi abdi ilmu dan abdi nilai luhur yang dihormati karena pengabdiannya, namun berubah menjadi para profesional yang digaji, yang dapat menuntut haknya dan dapat mengadakan tawar menawar. Sistem pendidikan berubah menjadi suatu hubungan yang tidak berbeda dengan suatu perusahaan.

Selain itu sebuah sistem juga mampu mengatur diri sendiri dan membuatnya terus hadir. Dalam suatu pelatihan misalnya, terhadap 50 orang yang berdiri dilemparkan sebuah bola volley yang harus terus diapungkan ke udara. Ke lima puluh orang tadi bergerak dan memukul serta berlari sehingga bola tadi tidak juga jatuh ke tanah. Mendadak sebuah bola lagi di masukkan ke tengah mereka, maka dengan sendirinya mereka mengatur diri sehingga ke dua bola tetap tertangani dengan baik. Mereka mengatur diri sendiri tanpa perjanjian terlebih dulu. Mereka menjadi suatu sistem yang menurut von Bertallanfy, seorang pakar, mempertahankan intergritasnya sendiri.

Dapat dicatat bahwa di dunia terdapat beberapa sistem yang menarik diteliti. Salah satunya adalah Sistem Pengiriman Pos sedunia. Walaupun terjadi perang atau bencana sekalipun, sistem ini tetap tegar dan melaksanakan fungsinya. Sistem ini juga menerobos batas etnis, kelas sosial, dan perbedaan sistem politik. Dalam keadaan perang sekalipun, perajurit di front terdepan masih menerima surat-surat dari keluarganya.

Dengan demikian, seorang pemimpin yang menggunakan pendekatan sistem berarti ia tidak tenggelam pada apa yang kasat mata saja, baik proses maupun komponen-komponen yang besar. Seorang yang memahami pendekatan sistem adalah seorang yang mampu mengenali kaitan-kaitan yang seringkali samar dan tersembunyi. Ia juga seorang yang mengenali berbagai komponen yang ada di dalam sistemnya, sehingga tidak mengabaikan hal yang kecil sekalipun. Lebih lanjut lagi seorang yang mempelajari pendekatan dan kerangka pikir sistem sebagai pemimpin akan memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. mampu menyadari bahwa ia memiliki kebebasan untuk bereksperimen dengan sistem karena tidak mungkin ia mampu membuat kendali dan pemetaan utuh dan menyeluruh tentang sistem

2. mampu membuat metafor, gambar, kiasan atau model mental dari hal rumit yang ia hadapi sehingga dapat menanganinya

3. mampu menghasilkan pemikiran yang menggambarkan struktur dari kaitan-kaitan antar komponen-komponen dalam sistem tadi

4. mampu membaca persepsi orang terhadap pengaruh-pengaruh yang ada atau komponen-komponen di atas

5. mampu mengenali tujuan dan arah gerak dari sistem tadi

6. mampu membaca dan memahami dinamika dari suatu proses misalnya, penundaan, proses masukan dan gelombang perubahan (osilasi) atau siklus

7. mampu membuat pengendalian secara terbatas terhadap apa yang berlangsung sebagai suatu sistem.

Dengan kata sederhana, pendekatan sistem adalah pendekatan yang tidak cukup menggunaan logika saja. Untuk mampu menggunakan pendekatan tadi, seorang pemimpin membutuhkan kerendahan hati untuk mengakui bahwa selain menggunakan nalar, ia membutuhkan intuisi. Karena itu, seringkali, ia juga perlu menggunakan bahasa metafor serta bahasa artistik dalam menggambarkan kerumitan yang ada.

Bagaimana menggunakan pendekatan sistem pada hidup gereja?

Pada tahun 2001, seorang yang bernama Christian Schwartz meneliti lebih dari 8000 gereja di lima benua. Schwartz bertanya di dalam hatinya, mengapa ada gereja yang berkembang dalam kualitas dan kuantitasnya sebaliknya ada gereja yang stagnan bahkan mundur dan punah. Sebagai hasil dari penelitian ini Schwartz mendapatkan bahwa suatu gereja perlu dilihat sebagai sistem. Lebih lanjut lagi, sistem ini disebutnya sebagai organisme. Dengan metafor bahwa gereja adalah bagaikan pohon tertentu yang berakar, berbuah, dan bertumbuh, ia mengenali banyak hal. Di dalam sistim ini ada dua pengaruh besar yang bekerja. Pertama adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh Tuhan, kemudian, segala sesuatu yang menjadi bagian manusia.

Seringkali apa yang menjadi bagian Tuhan dirampas manusia, walaupun dengan maksud baik. Sebagai akibatnya, gereja tidak berkembang. Di lain pihak ada pula terjadi suatu pekerjaan yang menjadi bagian manusia tidak dikerjakan oleh siapapun entah karena malas atau tidak disadari tanggung jawab untuk melaksanakan hal itu. Seringkali dalam melakukan apa yang jadi tanggung jawab manusia, mereka memberikan fokus hanya pada hasil yang ingin dicapai. Menurut Schwartz, gereja yang sehat dan bertumbuh memberikan fokus justru pada akar-akar perkembangan jemaat dan bukan pada buahnya saja.

Lebih lanjut lagi, sebagai hasil reisetnya mengenai gereja yang berhasil, Schwartz menunjukkan delapan akar utama yang harus ditangani sebagai bagian kerja manusia yang Tuhan percayakan dalam membangun jemaatnya. Ke delapan hal tersebut adalah

1. Adanya kepemimpinan yang menginspirasikan

2. Struktur dan prosedur yang tepat guna

3. Kasih dalam persekutuan yang erat

4. Adanya sel-sel yang holistik

5. Adanya program meraih ke luar (kesaksian sosial dan pekabaran Injil dalam arti tradisional)

6. Pengenalan karunia tiap orang yang terlibat dalam pelayanan sehingga pelayanan dikelola berdasarkan karunia-karunia tadi

7. Ibadah yang mengilhami hadirin

8. Spiritualitas yang bergairah

Ketika pendekatan ini diteliti, beberapa pendeta di Jakarta menyadari bahwa masih ada suatu komponen yang dirasakan sangat penting bagi pelayanan di Indonesia tetapi absen di dalam teori di atas. Komponen tadi adalah kedekatan atau keterbuakaan untuk menjalin hubungan dengan tetangga atau masyarakat di sekitar gereja tadi.

Ke sembilan komponen tersebut merupakan akar untuk menghasilkan pembangunan gereja dan buah-buah yang indah.

Namun karena gereja adalah sebuah organisme dan bukan organisasi saja maka beberapa kekhasan organisme ini harus dipastikan hadir di dalam prosesnya. Kegagalan memperhatikan hal itu akan menghasilkan sembilan hal di atas yang indah namun kaku dan bekerja bagaikan sebuah robot. Ke enam proses yang perlu diperhatikan seorang pemimpin agar keseluruhan komponen di dalam sistem pelayanan tumbuh dengan seharusnya ialah

1. proses simbiosis atau sinergi dari berbagai komponen pelayanannya,

2. proses multiplikasi atau penggandaan,

3. proses saling bergantung atau memperkuat,

4. proses memastikan bahwa semua hal masih berfungsi

5. proses memastikan bahwa setiap komponen dapat memainkan berbagai fungsim

6. dan proses perubahan enerji yang ada entah enerji penghalang atau pendukung.

Keenam hal itulah yang menurut pakar ini bukan saja terdapat dalam hidup organisme yang bernama mahluk hidup atau jemaat namun bahkan dalam alam raya sendiri. Dengan melakukan hal-hal itu terhadap komponen-komponen akar yang diuraikan di atas, maka dengan sendirinya gereja bertumbuh.

Dengan dasar pemikiran ini Schwartz bahkan mendapatkan bahwa suatu komponen yang lemah akan menjadi tolok ukur dari kinerja tertinggi yang dapat dilaksanakan oleh sistem pelayanan yang ada. Dengan pendekatan ini, maka fokus pembangunan jemaat harus dimulai dengan menangani salah satu dari sembilan komponen yang paling lemah. Untuk itu pakar ini bahkan membentuk serangkaian alat ukur untuk mengevaluasi komnponen-komponen dari sistem pelayanan di sebuah jemaat dan kemudian mengembangkan komponen yang terlemah.

Bagaimana menggunakan pendekatan sistem bagi organisasi lain?

Walaupun tidak ada metode terbaik yang pas dilakukan untuk semua konteks kerja organisasi atau komunitas tertentu, namun teori pendekatan sistem menawarkan empat konsep yang perlu dikenali dan dapat digunakan sebagai bekal menganalisis serta mengadakan perbaikan sistemik.

KONSEP DINAMIKA SUATU SISTEM

a) Di dalam konsep ini kita belajar bahwa suatu sistem adalah keseluruhan yang unik dari berbagai komponen. Tiap komponen tidak merupakan wakil dari keseluruhan tadi. Penjumlahan dari tiap-tiap komponen tadi juga belum menggambarkan sistem tadi. Namun ketika tiap komponen tadi terhubung seara khusus dengan komponen lain, keseluruhannya membentuk suatu sistem yang memiliki karakteristik yang khas. Bukti hal ini adalah dengan melihat suatu pop band seperti kelompok pemusik the Beatles. Keseluruhan mereka memiliki karakteristik yang khas dan tidak dapat dihadirkan ketika masing-masing pemusik mengadakan show atau rekaman sendiri. Jadi John Lennon atau Ringo Star sebagai pribadi, tidak memperlihatkan karakteristik yang khas dari the Beatles, walaupun the Beatles mengandung keduanya.

b) Hal yang tidak kalah pentingnya untuk dikenali dalam konsep dinamika sistem adalah bahwa suatu sistem senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya. Ada sistem yang lebih terbuka dan ada yang lebih tertutup. Terbuka artinya sistem ini memberikan kontribusi kepada lingkungannya serta menerima masukan-masukan. Tertutup artinya suatu sistem venderung menolak masukan dan bahkan memisahkan diri dari lingkungannya. Misalnya, sejarah Asia memperlihatkan bahwa ada bangsa-bangsa yang lebih terbuka pada teknologi barat, seperti Jepang di jaman Tokugawa mengirimkan ratusan pemudanya untuk belajar ke Eropa, namun adapula bangsa yang tertutup dan menolak teknologi tersebut. Kegagalan suatu sistem membuka diri akan dapat memusnahkannya dengan mengejutkan. Ketika Jepang membuat sepeda motor berukuran mungil, berbagai pabrik sepeda motor di Eropa menertawakannya. Ketika Jepang terus belajar dan akhirnya mulai memproduksi sepeda motor ukuran menengah, negara-negara Barat masih menertawakan dan mengagungkan Triumph, Jawa, dan BSA. Ketika akhirnya Honda memproduksi motor besarnya dengan harga jauh di bawah motor-motor saingannya, Eropa dan Amerika hanya dapat terhenyak dan menelan kekalahan kompetisi tanpa ampun.

c) Selanjutnya, suatu sistem merupakan suatu rangkaian proses masukan, pengolahan, dan keluaran atau output serta umpanbalik. Suatu sistem yang dibangun tanpa kejelasan output akan dengan mudah mengalami kebingungan karena ketidak jelasan tadi akan berimbas pada desain rangkaian komponen dan pemilihan input yang dikehendaki. Di dalam pelayanan gereja, seringkali ketidak jelasan output ini membuat semua berjalan asal jadi tanpa kualitas yang dapat dievaluasi dan dipertanggung jawabkan di depan Tuhan.

d) Akhirnya, suatu sistem adalah suatu entitas yang terarah pada tujuan yang beragam. Bukti yang jelas adalah suatu organisasi seringkali menangani berbagai tujuan. Suatu sistem pengiriman pos, seringkali juga menjadi sistem yang mengelola data base yang paling baik karena jaringan yang mereka miliki adalah jaringan yang sangat menyeluruh.

KONSEP TINGKAT SISTEM YANG HIDUP

Bila kita amati suatu sistem, pada hakekatnya sistem tadi merupakan suatu sub sistem dari sistem yang lebih besar. Sistem yang lebih besar inipun merupakan suatu sub sistem dari suatu sistem yang lebih akbar dan seterusnya. Dalam kenyataan terdapat hieraki sistem yang terdiri dari tujuh sub sistem:

a. Sel

b. Organ

c. Individu

d. Kelompok

e. Organisasi

f. Masyarakat

g. Dunia

Dengan pemahaman ini maka adanya suatu hirarki dalam berbagai urusan adalah wajar dan alamiah. Masalah dan kompleksitas hadir justru ketika beberapa sub sistem bertabrakan atau mengalami ketidak jelasan fungsi dan kaitan.

KONSEP ORIENTASI YANG MENGHASILKAN KEHIDUPAN

Untuk mengembangkan atau membangun suatu sistem dan sub-sub sistemnya, maka diperlukan suatu kerangka pikir sistemik. Untuk itu, konsep orientasi menolong kita. Di dalam konsep ini, kita harus mendapatkan kejelasan untuk beberapa hal dengan bertahap:

· output yang dikehendaki dari keberadaan dan proses sistem ini

· bagaimana mempertajam evaluasi kita terhadap hadir atau absennya output tersebut

· bagaimana desain dari rangkaian komponen-komponen kita dapat ditingkatkan

· bagaimana mendapatan input dengan karakteristik yang diinginkan untuk keseluruhan proses ini?

KONSEP NAIK TURUN PERUBAHAN

Dalam kenyataannya, hidup sebagai sistem besar bergerak dari stabilitas ke arah instabilitas, dan kemudian mengarah pada titik stabil yang baru. Perubahan serupa ini adalah hal yang wajar. Kita tidak perlu menolak perubahan. Sebaliknya kita perlu mengenali tahap-tahap suatu perubahan dan bagaimana orang-orang yang kita pimpin menjalaninya. Ada ornag-orang yang memiliki kemampuan adaptasi yang lambat, sebaliknya adapula yang sangat sigap.

Tahap pertama: terkejut dan penyangkalan

Tahap kedua: tertekan dan marah

Tahap ketiga: penyesuaian diri dan harapan

Tahap keempat: Membangun kembali ke arah stabilitas baru.

Situasi lapangan menunjukkan hal tersebut ketika Indonesia terjebak ke dalam krisis ekonomi di tahun 1998. Banyak tokoh masyarakat membuat pernyataan bahwa Indonesia tidak akan jatuh seperti Thailand karena basis ekonominya berbeda. Penyangkalan ini masih berlanjut bahkan ketika nilai tukar dollar terhadap rupiah terus meningkat. Selanjutnya, ketika ternyata Indonesia menjadi negara yang bangkrut dan ditekan oleh berbagai tuntutan IMF, timbullah berbagai pernyataan emosional yang berupa kemarahan. Tingkat kriminalitas di tengah masyarakat juga meningkat sangat tinggi. Hampir setiap hari di tahun 1999 diberitakan adanya orang yang ditangkap oleh masyarakat dan dibakar hidup-hidup.

Akhirnya, orang mulai menyesuaikan diri. Berbagai tokoh memberikan metafor bahwa suatu badai pasti akan berlalu. Tidak kurang tokoh bagaikan Jisman Simanjuntak menyatakan bahwa Indonesia adalah bagaikan pohon-pohon yang rusak, namun hutannya sendiri masih bertahan dan banyak jumlahnya. Akhirnya, suatu stabilitas baru lahir. Orang terbiasa dengan hidup yang tak menentu dan semakin tahu diri dalam melakukan kegiatan investasi dan konsumsi.

Bagaimana membangun kemampuan pendekatan sistem?

Pertama-tama, sama seperti seorang yang belajar mengendarai sepeda. Ia cepat merasa bingung dan lepas kendali karena ada banyak komponen yang harus dikuasainya. Untuk setiap saat ia memfokus pada suatu komponen, komponen-komponen yang lain lolos dari perhatiannya. Seorang anak yang baru belajar naik sepeda dan berkonsentrasi hanya pada pedal, dengan mudah menabrak orang lain karena ia luput mengendalikan setir sepedanya.

Seorang yang akan memiliki kemampuan pendekatan sistem memang memerlukan beberapa sikap kepemimpinan serta skil kepemimpinan. Ia harus handal dalam teknik observasi, dalam berkomunikasi, serta membuat pemetaan proses serta mampu mengadakan pendekatan secara fleksibel, tanpa putus asa dan mampu mengendalikan respon otomatisnya. Dengan modal itu, ia perlu berupaya menggunakannya dalam memahami sistem di hadapannya. Namun setelah melakukan segala sesuatu sesuai dengan skil dan sikapnya, ia harus memasuki suatu tahap kedua.

Pada tahap kedua ini, ia perlu menyadari bahwa penguasaan pendekatan sistem harus dimulai dengan munculnya kesadaran pada mereka yang ingin belajar tentangnya bahwa tidak ada seorangpun yang mampu mencerna secara nalar, apalagi mengendalikan sistem yang sedang dihadapi. Semua skil, sikap dan pengalamannya tidak mencukupi dan patut diandalkan untuk memetakan kerumitan yang ada. Semakin dipetakan semakin banyak bagian esensial dari kerumitan tadi yang luput digambarkan. Kesadaran ini akan membuat ia merasa bebas untuk membuat eksperimen dan kesalahan dalam tahap ketiga, yaitu tahap eksplorasi.

Pada tahap ketiga, ia mulai menggunakan kemampuan bawah sadarnya atau kemampuan nalar yang tidak biasa. Ia berhenti berupaya mencerna secara nalar, namun menggunakan intuisinya dalam mengenali seluruh kerumitan yang ada. Penggambarannya tentang kerumitan yang ada mulai menggunakan metafor dan berbagai imajeri atau kiasan-kiasan. Ketika kata-kata dan bahasa terasa tidak cukup lagi memberikan akurasi tentang sistem, maka digunakan gambaran-gambaran yang lebih lentur. Kondisi serupa ini sama dengan sulitnya orang menjelaskan iman, cinta, dan kesepian dengan kata-kata biasa yang linear karena ketiga hal tadi sangat kaya dimensi.

Sekali lagi dapat ditekankan disini bahwa dalam pendekatan sistem, agar potensi bawah sadar tadi dapat dipergunakan, seseorang harus tiba terlebih dulu pada kesadaran bahwa tidak akan ada suatu pemahaman lengkap terhadap sistem tadi, karena baik sistem dan orang yang mencoba memahami terus berubah dan berinteraksi. Tujuan pendekatan sistem adalah untuk memahami lebih utuh dan menyeluruh suatu kerumitan.

Pada tahap keempat, dimana kesadaran nalar dan potensi alam bawah sadarnya terkait, mulailah muncul suatu kemampuan untuk memahami kerumitan yang ada. Jadi sangat penting untuk diterima kenyataan bahwa pendekatan sistem membutuhkan integrasi antara rasionalitas dan juga intuisi.

Negara dengan Berbagai Agama Besar bagaikan Hutan dengan Berbagai Pohon

Konsep Kepemimpinan dalam Islam

Masdar F. Mas'udi

ADA ungkapan yang sangat baik dalam tradisi Islam, bahwa "syyidul qaum khaadimuhum/memimpin adalah melayani". Etos melayani bagi seorang pemimpin adalah etos yang sangat relevan untuk masyarakat kita dewasa ini. Bukan saja karena etos itu merupakan alternatif yang radikal terhadap etos kepemimpinan feodalistik-paternalistik, bahkan eksploitatif, yang menghegemoni kita selama ini. Akan tetapi karena itulah etos kepemimpinan yang sungguh hakiki.

Kepemimpinan yang melayani tidak lain adalah kepemimpinan yang berorientasi bukan kepada kepentingan sang pemimpin sendiri, atau kroninya, melainkan kepada kepentingan pihak yang dipimpin, yakni masyarakat atau rakyat banyak. Khususnya masyarakat atau rakyat yang berada pada posisi lemah, tidak berdaya, teraniaya dan terpinggirkan. Karena, berbeda dengan mereka yang kuat dan berdaya, masyarakat yang lemah adalah masyarakat yang tidak mampu melayani kepentingan mereka sendiri. Disinilah peranan pemimpin dan kepemimpinan menjadi relevan.

Maka dalam konteks kepemimpinan yang utama (imamah udhma), kepemimpinan negara/pemerintahan, Rasulullah SAW menegaskan, "As-aulthanu dhilullah fil ardl ya-wiy ilaihi kullu madhlum/Pemimpin negara/pemerintahan sebagai pemegang puncak kepemimpinan masyarakat, seharusnya adalah payung Allah dibumi kepada siapa rakyat yang lemah tak berdaya (madhlum) mendapatkan perlindungan" (HR. Tirmidziy).

Dalam kaidah Fiqh sebagai teori Etika Islam dikatakan, "Tasharruful Imam `alar raiyyah manuthun bil mashlahah/Kebijakan seorang pemimpin haruslah selalu mengacu kepada kepentingan rakyat yang dipimpin".

Akan tetapi apa yang baru saja kita tegaskan adalah konsep normatifnya, yang seharusnya, atau idealnya, das sollennya. Semua agama dan ajaran-ajaran moral atau etika yang kita kenal tentu punya idealisme yang sama, meski dengan ungkapan atau bahasa yang berbeda-beda. Bahkan dugaan saya, konsep kepemimpian Jawa yang feodalistik dan paternalistik pun, pada mulanya dimaksudkan demikian. Yakni bahwa seorang pemimpin harusnyalah seperti layaknya seorang bapa yang melindungi dan melayani anak-anaknya yang kecil dan lemah. Sayangnya, konsep pemimpin sebagai seorang bapa tetap, tetapi bukan lagi bapa yang melayani melainkan bapa yang merasa benar sendiri dan tahunya hanya dilayani dan dilayani.

Kenapa ? Karena semua agama diajarkan. Untuk pertama kalinya, oleh orang-orang suci yang tidak punya interest kecuali mengabdi kepada Kebenaran dan Kemuliaan (Tuhan). Tapi sesudah itu, agama berpindah ketangan hati orang-orang biasa, yang kadang punya kepentingan luhur tapi terkadang juga kepentingan renda. Maka terjadilah distorsi, bahkan penjungkir balikkan. Akhirnya yang normatif dan empirik berjalan sendiri-sendiri, bahkan benturan. Distorsi itu pada mulanya diawali dengan kepentingan pribadi, kemudian diabsahkan dengan penafsiran yang diplintir, dan akhhirnya menjadi kebijakan dan tindakan.

Yang kita saksikan dan rasakan sekarang ini adalah fakta kontradektoris itu, dimana ajaran-ajaran ideal nan adiluhung tidak lagi mewujud dalam kenyataan, bahkan secara formal harfiah pun ajaran itu sudah dikotakkan, disembunyikan. Pemimpin yang ada ditengah-tengah kita, dengan berbagai bidang dan levelnya, hampir-hampir tidak ada lagi yang menyadari dirinya sebagai pelayan masyarakat/rakyatnya. Yang mereka tahu bahwa sebagai pemimpin merekalah yang harus menentukan, dan mereka pulalah yang diuntungkan.

Saya berharap bahwa suatu Workshop Kepemimpinan seperti ini dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

Menjernihkan kembali konsep normative dan etis kepemimpinan yang telah terlanjur berdebu oleh tafsir-tafsir kepentingan jangka pendek.

Melakukan diagnosis atau analisa kritis terhadap fakta-fakta distortif diseputar kepemimpinan yang semula untuk melayani justru berbalik untuk dilayani.

Merumuskan kerangka aksi (praksis) bagaiman fenomena kepemimpinan (dilingkup apapun dan dilevel apapun) dapat dipaksa kembali pada khittahnya, untuk melayani dan bukan dilayani.

Walladziina jaahadu fiina lanahdiyannahum subulana/Barang siapa yang bersungguh-sungguh untuk menemukan pastilah Kami akan menunjukkan jalannya.

Billahit Taufiq wal Hidayah.

Jakarta, 21 Maret 2003

________________________________________

Disampaikan dalam Workshop Kepemimpinan JARINGAN KADER BANGSA, di Wisma Dhammaguna, Klaten 22 Maret 2003.

Kepemimpinan Perspektif Buddha

Bhikkhu Abhipannyo

Pendahuluaan

Didalam menempuh perjalan hidup, tidak jarang seseorang mengalami saat-saat kritis guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Untuk memecahkan situasi demikian, sikap tegas dan cara penyelesaian yang cepat dan tepat. Masalah itu dapat menyangkut kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Dalam keadaan krisis itulah diharapkan kehadiran seorang pemimpin. Mereka adalah orang-orang yang tahu apa yang harus dikerjakan pada saat-saat seperti itu.

Mereka adalah orang-orang yang mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk mempengaruhi, mengajak, mengumpulkan, dan menggerakkan orang lain untuk menangani masalah yang ada saat itu. Mereka adalah orang-orang yang mampu membina orang lain, mengorganisasikan dan bersama-sama mereka bekerja, bahkan kadang-kadang rela berkorban demi suksesnya pekerjaan itu. Mereka inilah orang yang disebut pemimpin.

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa kepemimpinan pada dewasa ini menjadi isu penting, aktual, dan menarik di mana-mana. Didalam masa perubahan dan ketidakpastian, akibat dari era globalisasi dan informasi, terdapat suatu kebutuhan yang jelas akan sosok seorang pemimpin yang berada di puncak, sementara harapan yang terus meningkat dari rakyat yang bekerja, menciptakan kebutuhan akan kepemimpinan pada setiap tingkat lain organisasi atau lembaga.

Adapun yang menjadi pertanyaan dan permasalahan di sini, ialah bagaimana masyarakat secara keseluruhan, dan organisasi-oraganisasi serta lembaga-lembaga yang menjadi bagian dari masyarakat itu, dapat melahirkan seorang pemimpin yang baik untuk diteladani.

Pada setiap periode dari masa ke masa berikutnya, kepemimpinan itu menjadi bahan diskusi yang sangat menarik dengan berbagai istilah atau pengertian sifat, watak perilaku kepemimpinan. Beberapa sifat yang menjadi bahan diskusi itu, antara lain kecakapan, kemampuan, kharisma, tenaga, kesanggupan, mangayomi, menampung aspirasi, melayani, mempelopori, memberi suri teladan serta antuisme. Tetapi yang menjadi sifat umum dari kepemimpinan itu sejak dari dulu kala sampai sekarang cenderung atau bahkan seharusnya menajdi suri teladan dan mencerminkan sifat-sifat yang diharapkan atau dituntut didalam kelompok masyarakat atau lingkungan kerja mereka.

Kepemimpinan dalam Buddhis

Menurut ajaran Sang Buddha, kepemimpinan Buddhis adalah bagaimana agar setiap orang bisa mengikuti sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Kepemimpinan adalah bentuk seni dan gaya hidup untuk membuat orang lain mengikutinya. Setiap orang paling senang bila perkataannya diikuti orang lain. Dalam Cakkavatti Sihanada Sutta (Digha Nikaya), Sang Buddha menjelaskan dengan terperinci apa saja yang harus dilakukan seorang pemimpin (Raja) untuk bangsa dan negaranya.

Seorang pemimpin harus berada dalam kebenaran. Ia harus menjadikan dirinya sebagai panji kebenaran. Kebenaran adalah tuan bagi dirinya. Kebenaran dijaga dengan melaksanakan lima sila (Pancasila), yaitu dengan menghindari pembunuhan, menghindari pengambilan barang-barang yang tidak diberikan, menghindari melakukan perbuatan asusila, menghindari ucapan yang tidak benar, serta menghindari makan makanan atau minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran. Ia harus menyucikan dirinya dengan kebenaran. Kewajiban seorang pemimpin adalah melindungi dan mengayomi keluarganya, para bangsawan, para menteri, tentara, para perumah tangga, para penduduk desa dan kota, para rohaniwan, para samana dan pertapa, serta binatang-binatang. Ia harus memperhatikan apa saja yang dibutuhkan oleh mereka. Ia harus berjuang untuk tidak membiarkan kaum miskin merana. Ia harus memperhatikan kecukupan kebutuhan yang diperlukan, baik pangan, papan, atau sandang. Ia harus memberikan lapangan pekerjaan.

Seorang pemimpin harus menegakkan kebenaran. Ia tidak boleh membiarkan kejahatan terjadi dalam pemerintahannya, meskipun terlihat hanya kecil. Ia tidak meremehkan perbuatan baik walaupun kecil. Ia terus mendorong seluruh bangsanya untuk berada dalam garis kebenaran dan menghindari kejahatan.

Seorang pemimpin harus selalu meperhatikan nasehat dari para samana dan pertapa. Bila ia berada dalam garis kebenaran, maka mereka akan selalu datang menemuinya untuk memberitahukan apa saja yang baik dan apa saja yang buruk, perbuatan apa yang pantas dilakukan dan perbuatan apa yang tidak pantas dilakukan, perbuatan yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat di masa yang akan datang. Ia harus mendengarkan dan melaksanakan apa yang mereka katakan.

Berkenaan dengan kepemimpinan ini, Sang Buddha menguraikan ada sepuluh kewajiban seorang pemimpin (raja) atau Dasa Raja Dhamma untuk memerintah, yaitu:

Dana (Kedermawanan)

Seorang pemimpin patut memperhatikan kesejahteraan dan kemakmuran hidup rakyatnya. Pemerintah hendaknya memiliki kemampuan menyediakan kebutuhan cukup bagi rakyatnya. Kewajiban ini merupakan penjaminan berlangsungnya keadaan perekonomian negara.

Sila (Moralitas)

Seorang pemimpin harus selalu mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan tidak bermoral. Pemerintah yang bermoral akan menghindari pembunuhan, penipuan, rekayasa kotor, korupsi, dan sebagainya, yang dapat merusak kepercayaan dan pengakuan rakyat.

Paricagga (Pengorbanan diri)

Seorang pemimpin selalu siap mengorbankan dirinya demi kepentingan rakyat banyak, kepentingan bangsa lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Pemimpin yang rela berkorban demi rakyat banyak akan dibela oleh rakyatnya pula.

Ajjava (Integritas)

Bersikap tulus dalam menjalankan kewajibannya dengan menjunjung tinggi kebenaran. Bila hubungan antar manusia dapat diikat hanya dengan janji resmi atau sumpah yang diucapkan, tetapi orang yang memerintah harus terikat pada hukum kebenaran baik dalam pikiran, ucapan, maupun tingkah laku.

Maddava (Berani bertanggung jawab)

Mengurus kepentingan rakyat menuntut pertanggung jawaban terhadap segala tindakan sesuai dengan harapan rakyat. Pemimpin siap mengemban tugas-tugas yang diberikan oleh rakyat.

Tapa (Sederhana)

Seorang pemimpin siap hidup sederhana, puas dalam hidup sederhana, tidak serakah, tidak menginginkan berlebih-lebihan sementara kehidupan rakyatnya diabaikan.

Akkodha (Tanda kemarahan)

Seorang pemimpin hendaknya berusaha melepaskan segala permusuhan, itikad buruk, sentimen pribadi, maupun kebencian dan kedendaman terhadap siapapun juga. Segala sesuatu yang dilakukannya dipertimbangkan berdasarkan kepentingan rakyat.

Avihimsa (Tanpa kekerasan)

Kekerasan bukan cara penyelesaian masalah yang tuntas, sebab kekerasan akan menimbulkan kekerasan pula, kekerasan merupakan sumber pertikaian yang tak kunjung selesai.

Khanti (Kesabaran)

Seorang pemimpin hendaknya menerima pujian maupun celaan, sanjungan maupun hujatan dengan kesabaran pikiran. Pikiran tenang akan membuat pengamatan jernih terhadap situasi yang berkembang, dan yang harus ditangani.

Avirodha (Tidak menentang kehendak rakyat)

Seorang pemimpin tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani rakyat. Hak pemimpin berasal dari rakyat, oleh karena itu jangan sampai terjadi ketidaksamaan antara apa yang dilaksanakan dengan apa yang merupakan kehendak rakyat.

Kalau suatu negara mempunyai pemimpin yang berwatak seperti tesebut di atas, maka tak usah diragukan lagi, bahwa rakyatnya pasti akan menjadi bahagia. Hal di atas bukanmerupakan khayalan belaka, sebab pada zaman yang lampau memang terdapat seorang raja Agung di India, Sri Baginda Raja Asoka, yang telah mempraktekkan dasa raja-dhamma tersebut.

Pemimpin adalah orang yang harus dapat menaklukkan dan menguasai diri sendiri. Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam berbagai pertempuran, tetapi penakluk terbesar adalah mereka yang dapat menaklukkan diri mereka sendiri. Seorang pemimpin hendaknya juga memberikan pengetahuan yang didapatkannya kepada mereka yang memerlukan. Ia juga harus mempunyai perhatian kepada orang lain, bahkan bila perlu perhatian itu diperluas kepada semua makhluk. Sang Buddha telah memberikan contoh pelayanan yang jelas ketika beliau melayani seorang bhikkhu tua yang sedang sakit. Pada saat bhikkhu yang lain meninggalkannya sang Buddha justru merawatnya. Beliau berkata, "Mereka yang merawat yang sakit, sesungguhnya sama dengan merawat beliau."

Sebagai seorang pemimpin harus selalu berpikir tentang orang lain dan jangan berpikir tentang dirinya sendiri, maksudnya adalah selalu memikirkan kepentingan pribadi. Ia harus menjadi pendorong bagi orang lain bila terjadi kemacetan program kerja. Kemacetan komunikasi selalu terjadi bila ia terus memikirkan kepentingan pribadinya. Tujuan yang terprogram akan menjadi rapih, konsisten, dan tepat waktu. Memulai dan mengakhiri pertemuan harus dengan harmonis. Tidak mengganti aturan yang sudah ada. Senior harus dihormati, karena banyak pengalaman yang bisa didapatkan dari mereka. Jadilah sahabat yang terbaik bagi anak buahnya. Didalam Digha Nikaya III No. 186 Sang Buddha mengatakan ada empat jenis sahabat sejati (kalyanamitta): Seorang penolong, seorang teman baik dalam kesenangan dan kesusahan, seorang yang memberikan nasehat bijaksana dan seorang yang simpatik seorang guru spiritual juga dianggap kalyanamitta.

Kesimpulan

Oleh karena seorang pemimpin pada kebanyakan momen harus berada didepan untuk mewakili komponen-komponen yang dipimpinnya, maka seorang pemimpin harus Ing Ngarso Sung Tulodo yaitu sebagai teladan, Ing Madyo Mangun Karso yaitu ditengah-tengah bawahannya selalu membangkitkan semangat dan kehendak kerja atau bisa disebut dengan motivasi bagi bawahannya, dan Tut Wuri Handayani yang artinya seorang pemimpin harus mau dan sanggup memberikan dorongan dari belakang. Dengan memberikan dorongan kepada bawahannya maka bawahannya akan memperoleh kemajuan yang baik dalam bentuk pengalaman, rasa percaya diri ataupun hal-hal yang lainnya.

Dan selalu berpegang teguh pada panji kebenaran untuk menjadi seorang pemimpin yang sejati. Keberanian seorang pemimpin, bukan keberanian jasmani semata, tetapi mendorong orang untuk mengatakan, mengakui kesalahannya, membetulkan kekeliruannya, menghargai opsisi, berunding dengan lawan dan mempersilahkan rakyat menilai manfaatnya sebagai pemimpin. Karena keberanian moral seperti itulah ia akan selalu dicintai dan dihormati, bukan karena sebagai pahlawan perang semata, tetapi sebagai ilham dan suara hati nurani bangsa. Intisari ajaran yang perlu diperhatikan adalah ketidak takutan dan kebenaran dan tindakan yang selaras dengan ajaran itu, akan selalu tampak mengarah kepada kesejahteraan orang banyak.

Pengantar (bag 1): Kilasan Kepemimpinan Transformasional

Pelajaran dari Samuel
Sosok Pemimpin Demokratis dan Antikorupsi

Samsudin Berlian

TIGA ribu tahun yang lalu di Kota Gilgal, dekat Yerikho di negeri Palestina sekarang, rakyat Ibrani dari segenap penjuru negeri berkumpul. Bukan untuk menyaksikan goyang biduan kondang, bukan pula untuk mendengarkan kampanye umbar janji.

Kisah Samuel itu adalah salah satu contoh yang layak dijadikan pelajaran bagi para pelaku, pengawas, dan segala pihak yang berkepentingan melihat tumbuh kembangnya instrumen-instrumen demokrasi di negeri ini, seperti pemilihan langsung kepala daerah atau pilkada yang sudah di ambang pintu itu. Mereka, termasuk para pemimpin agama dan pejuang sipil, dapat menggali gagasan menindaklanjuti tekad mereka berperang melawan korupsi dan berjuang menciptakan Indonesia yang adil dan sejahtera-lewat perwujudan kedaulatan rakyat yang demokratis dan efektif.

Apa isi pidato Samuel? Bukan yang muluk- muluk tentang kemajuan ekonomi, kestabilan politik, keamanan negara, atau persatuan dan kesatuan bangsa selama kepemimpinannya. Bukan pula dalih-dalih cantik penuh pembenaran terhadap kegagalan-kegagalannya sebagai pemimpin. Inilah yang diucapkan Samuel tanpa tedeng aling-aling di hadapan rakyat banyak yang sebagian besar adalah para gembala dan petani: "Di sinilah aku berdiri. Berikanlah kesaksian menentang aku di hadapan TUHAN...: Lembu siapakah yang telah kuambil? Keledai siapakah yang telah kuambil? Siapakah yang telah kuperas? Siapakah yang telah kuperlakukan dengan kekerasan? Dari tangan siapakah telah kuterima sogok sehingga aku harus tutup mata? Aku akan mengembalikannya kepadamu."

Sungguh pidato yang luar biasa, yang diucapkan justru ketika dia tidak lagi memegang kekuasaan. Bukan pada puncak kekuasaannya dia menantang orang menyebutkan kesalahan- kesalahannya di muka umum. Seorang penguasa yang licik bisa saja berbuat demikian karena dia tahu orang-orang akan takut menyalahkannya. Namun, Samuel menantang rakyatnya menyebutkan kesalahannya justru ketika seorang pemimpin baru yang bukan sanak familinya telah terpilih menggantikannya sebagai pemimpin bangsa. Dia bersiap-siap turun dari posisinya dengan hati bersih. Kalau ada orang yang telah ia rugikan selama dia berkuasa, dia akan membayarnya sekarang, saat dia sudah tidak lagi berkuasa. Kalau ada yang merasa telah diperlakukan tidak adil, sekaranglah saatnya menuntut keadilan, ketika Samuel sudah menjadi anggota masyarakat biasa.

Sungguh kebalikan dari banyak pemimpin yang kita kenal yang di akhir masa jabatannya bukan hanya menolak menyangkal membantah segala aib yang dituduhkan, malah menuntut pesangon, uang kadeudeuh, uang lelah, atau apa pun namanya, dalam jumlah yang sama sekali tidak seimbang dengan prestasi mereka yang amburadul, dan yang dengan segala cara halal dan haram berusaha memegang jabatan lagi. Tidak heranlah bahwa pidato Samuel yang demikian langka di muka bumi itu dicatat dengan tinta emas dalam lembar sejarah bangsa Ibrani. Sekaligus tercatat juga di situ jawaban rakyatnya yang tidak kalah langkanya. "Engkau tidak memeras kami dan engkau tidak memperlakukan kami dengan kekerasan dan engkau tidak menerima apa-apa dari tangan siapa pun."

Ah, bayangkan. Andaikata ada seorang pemimpin negeri di Republik Pancasila ini memperoleh jawaban demikian dari rakyat banyak di akhir masa jabatannya. Layaklah ini jadi sebuah impian, kalau belum bisa jadi kenyataan. Menilik keinginan naik gaji para anggota DPR saat ini, kekayaan bermiliar-miliar pejabat-pejabat kita yang entah dari mana asal-usulnya, ditambah wanprestasi dunia peradilan kita, memang masih jauh dari realitas. Namun, tidaklah berkelebihan kalau itu dijadikan salah satu kriteria bagi para calon anggota eksekutif, legislatif, dan yudikatif, termasuk para kepala daerah sekarang yang ingin dipilih kembali: yaitu apabila terhadap mereka bisa diberikan jawaban bahwa mereka tidak memeras, tidak melakukan kekerasan, dan tidak menerima apa-apa dari tangan siapa pun. Kriteria ini pun cocok dipakai untuk mengukur calon pemimpin baru dilihat dari karakternya sebelum terjun dalam dunia politik dan selama berkecimpung dalam partainya. Juga sejalan dengan seruan tidak memilih politikus busuk yang sudah diserukan menjelang pemilu lalu.

Samuel bukan hanya bersih untuk mempertahankan kemurnian dirinya sendiri. Dia sudah melepaskan jabatan politiknya selagi masih gagah. Tidak tunggu mati, sakit-sakitan, pikun, atau dilengserkan dengan tidak hormat. Dia pun mempersiapkan penggantinya, Saul, yang menjadi raja pertama orang Ibrani, bukan berdasarkan selera pribadinya, melainkan mengikuti suara dan dukungan rakyat banyak. Anak-anak Samuel yang juga pejabat negeri, sayang sekali, tidak mengikuti teladannya; sebaliknya bersifat rakus, menerima suap, dan memutarbalikkan keadilan. Samuel tahu itu. Maka, walaupun secara pribadi dia tetap merasa sayang terhadap anak-anaknya, dia menempatkan kehendak rakyat-yang menginginkan penguasa baru yang bukan sanak kandungnya-di atas kepentingan keluarganya sendiri. Dia rela menyingkirkan anak-anaknya dari kekuasaan politik demi kepentingan rakyat, demi pemenuhan keinginan rakyat. Kebalikan dari praktik banyak penguasa dan birokrat di negeri ini, yang dengan segala cara berusaha memasukkan sanak keluarganya ke dalam lingkungan elite politik yang mereka anggap lahan garapan pribadi-misalnya, ketua partai memasang nama anak istrinya sebagai calon jadi dalam pemilu, menteri dan pemimpin direktorat, gubernur, bupati, camat yang memberikan jabatan kepada familinya di kantor yang dipimpinnya. Banyak orang di negeri ini sudah menganggap wajar, bahkan seharusnya, bila seorang pejabat pemerintah baru menggantikan anggota staf kantornya dengan kroni-kroninya sendiri yang terdiri dari famili, orang semarga, sekampung, sesuku, dan teman dekat.

KISAH Samuel itu adalah satu contoh bagaimana para agamawan dan pejuang sipil dapat mengambil tindak lanjut terhadap inisiatif tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga agama yang menyerukan perang bersama melawan korupsi beberapa waktu lalu. Itu inisiatif yang sangat penting dan bisa menentukan masa depan negeri ini. Sayangnya, justru di saat kampanye pemilu lalu dan menjelang pilkada sekarang semangat para agamawan itu terasa kurang angin. Mungkin antara lain sebab kalangan agamawan sendiri punya pemikiran yang berbeda-beda mengenai keterlibatan mereka sebagai pemikir dan pejabat agama dalam hal keterlibatan dalam suatu gerakan politik.

Di satu pihak, ada yang beranggapan bahwa urusan keagamaan adalah urusan yang berkaitan dengan wilayah-wilayah pribadi (private) semata. Bagi mereka, yang penting adalah bagaimana seseorang memelihara batin dan jiwa sendiri menghadapi dunia luar yang sering kali tidak berketuhanan. Yang penting adalah memelihara kemurnian dan kesucian diri seperti teratai berkembang indah di tengah kolam berlumpur. Mereka hanya ingin teratai tetap suci murni; tidak tertarik dalam usaha membersihkan kolam itu dari lumpur. Bagi mereka, menekuni doa pribadi mereka sendiri lebih penting daripada melawan peningkatan kebobrokan pemerintahan dan birokrasi sehari-hari. Argumen mereka adalah, "politik itu kotor", tidak pantas dilakoni orang-orang beragama yang (seharusnya) suci. Konsekuensinya, aktivitas politik, yang seharusnya menjadi instrumen utama kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat, lantas dikuasai orang-orang kotor yang menghinakan rakyat.

Sikap tertutup ini dikuatkan oleh indoktrinasi masa Orba yang menyerukan para intelektual dan pemimpin agama serta orang banyak pada umumnya untuk tidak terlibat dalam apa yang disebut "politik praktis". Semangat yang dipompakan adalah "biarkanlah para ahli yang mengurus negara". Dan siapakah para ahli itu? Ya, para penguasa Orba itu sendiri dengan segenap mesin politik dan birokratnya yang adalah pegawai negeri, bukan pegawai rakyat. Hasilnya? Bangkrut total setelah memerah negeri ini dengan impunity selama lebih dari satu generasi. Para propagandis Orba itu menyembunyikan kenyataan bahwa politik selalu praktis. Teori-teori politik yang dikembangkan para pakar di universitas-universitas dan lembaga- lembaga riset pun memiliki landasan praktis dan mempunyai potensi implementasi praktis. Justru dalam suatu negara demokrasi, makin banyak persentase rakyat yang menaruh perhatian dan berpartisipasi pada politik yang selalu praktis itu, makin besar kemungkinan negara itu mewujudkan cita-cita demokrasinya yang tidak akan pernah tercapai sempurna itu. Suatu demokrasi hanya demokratis sejauh rakyat dan pemimpinnya mewujudkan demokrasi itu lewat interaksi politik yang sehat setiap saat.

Di pihak lain, ada yang beranggapan bahwa urusan keagamaan mencakup segala bidang kehidupan, universal absolut. Tidak ada urusan yang terlalu kecil atau terlalu besar, terlalu dekat atau terlalu jauh, terlalu sederhana atau terlalu rumit, terlalu umum atau terlalu spesialis. Lebih ekstrem lagi, agama di sini bukan agama pada umumnya atau prinsip-prinsip yang diterima dalam sebagian besar agama yang dianut masyarakat, tapi agama mereka sendiri saja. Akibatnya, yang menjadi tujuan mereka adalah pengawasan, pengaturan, dan pemerintahan dalam segala bidang, baik yang bersifat pribadi maupun publik, oleh pemimpin-pemimpin agama mereka sendiri. Mereka ingin mengatur segala hal, mulai dari kapan orang harus berdoa dan makan, pakaian mana yang layak mana yang tidak, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang per orang siang dan malam, bahkan di dalam kamarnya sendiri, sampai siapa yang harus jadi penguasa negeri dan kebijakan besar kecil apa yang harus diambil untuk urusan dalam dan luar negeri.

Kecenderungan pemaksaan kehendak ini sayangnya sedang dikuatkan oleh gerakan-gerakan massa (atau lebih tepat kuasi-massa, seolah- olah gerakan massa) yang memperjuangkan (memaksakan) aspirasi mereka (kehendak egois mereka) melalui demonstrasi (kekuatan otot kolektif) yang tidak ditujukan untuk memperkuat suara publik, melainkan justru untuk melumpuhkan elemen-elemen dan institusi-institusi layanan publik (seperti polisi dan pers) yang memang sudah lemah itu. Misalnya, persatuan preman berdemonstrasi-di bawah pandangan mata polisi yang tanpa daya, atau disuruh tak berdaya-memaksa pengelola mal mempekerjakan mereka sebagai petugas keamanan, untuk melindungi mal itu dari gangguan mereka sendiri, tentu. Kelompok pengojek berdemonstrasi melarang angkot masuk perumahan, secara tidak langsung memaksa penghuni perumahan yang termasuk golongan ekonomi lemah (tidak punya mobil atau motor pribadi dan tidak punya suara) mengeluarkan ongkos lebih besar untuk transportasi sehari-hari. Kelompok tukang pukul mengepung atau menyerbu kantor media massa untuk melemahkan independensi editorialnya, atau menghantam kantor lembaga swadaya masyarakat untuk melemahkan semangat pembelaannya, sementara petugas keamanan hanya bisa berjanji akan meneliti perkara itu tanpa akhir.

Namun, di luar sikap menyingkirkan diri dari dunia umum dan sikap totalitarian mau mengatur segala sesuatu dengan paksa, masih ada pendekatan keagamaan dan pendekatan sosial yang memerhatikan bagaimana urusan publik dijalankan dengan prinsip-prinsip etis yang baik tanpa pemaksaan kepentingan sepihak. Di satu sisi, wilayah publik tetap terbuka sebagai ajang kompetisi orang banyak, tidak dikuasai total satu golongan atau agama tertentu. Di sisi lain, orang-orang beragama tidak hanya mewujudkan ajaran agama mereka dalam wilayah pribadi saja, tapi ikut memperjuangkan terciptanya kehidupan publik yang berpihak pada keadilan dan kemakmuran rakyat banyak. Pendekatan itu adalah pendekatan etis yang menilai dan menguji praktik-praktik kegiatan publik berdasarkan pelajaran yang dipetik dari prinsip-prinsip etis keagamaan dan bukan dari ajaran-ajaran ritual atau dogmatis. Genderang perang yang ditabuh para pemimpin agama- agama melawan korupsi itu adalah satu contoh pendekatan ini. Selanjutnya yang tidak boleh terlupakan adalah petunjuk nyata bagaimana perang itu dapat dimenangi.

TENTU ada banyak strategi dan senjata yang bisa dipakai. Pembenahan struktural lewat reformasi hukum yang sedang diusahakan, misalnya, walaupun dengan tersendat-sendat. Bukan hanya undang-undang antikorupsi yang perlu diperhatikan, tapi juga praktik dan kebiasaan lain yang memungkinkan merajalelanya korupsi. Misalnya, hampir tidak ada jalur resmi yang memungkinkan orang banyak menuntut pertanggungjawaban seorang pemimpin politik atau birokrat, baik selama maupun sesudah masa jabatannya. Sekarang ini bahkan seorang terdakwa korupsi bisa tetap terpilih atau diangkat kembali dan seorang terhukum korupsi tetap langgeng bertahan di kursi jabatannya. Yang heboh cuma demonstrasi tak habis-habis dan jarang efektif manakala seorang pejabat atau mantan pejabat berlindung pada atasannya atau pada hukum yang tidak adil.

Senjata lain yang penting adalah pendidikan umum terhadap rakyat secara keseluruhan akan kebiasaan-kebiasaan yang dalam dunia tradisional bersifat positif tapi dalam dunia pemerintahan modern bersifat negatif. Misalnya, sifat tolong-menolong dan gotong-royong adalah sifat mulia. Seorang kaya di desa yang tidak pernah menolak mempekerjakan orang sekampungnya, walaupun untuk itu dia harus menambah pengeluarannya, adalah budiman yang menaruh belas kasihan pada sesamanya. Namun, seorang camat yang menggunakan kekuasaannya untuk menempatkan sepupunya menjadi lurah telah berkhianat terhadap masyarakat. Ada kesenjangan persepsi di sini yang membuat si camat menghadapi dilema moral. Sebagai seorang camat, dia dinilai berhasil. Namun, itu belum cukup. Dia baru akan sungguh-sungguh dihormati di kampung asalnya apabila dia menolong keluarganya dan penduduk kampung yang tidak seberhasil dia secara ekonomis. Namun, bagaimana seorang camat dengan gaji terbatas bisa menolong orang sekampung? Untuk benar-benar "jadi orang" di kampung halamannya, dia akan terpaksa menyingkirkan tujuan mulia melayani publik demi kepentingan publik itu sendiri dan sebaliknya memperbanyak dana untuk menolong orang sekampungnya lewat korupsi atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk dengan curang memanfaatkan aset negara demi mereka.

Pembahasan terbuka mengenai perbenturan nilai-nilai tradisional dan modern semacam itu pada akhirnya akan lebih bermanfaat bagi rakyat banyak. Bayangkan apa yang akan terjadi apabila rakyat pada umumnya merendahkan, bukan memuja-muja, seorang pejabat yang hanya memerhatikan pembangunan di rumahnya atau di kampungnya sendiri. Secara membabi buta mengagungkan nilai-nilai luhur nenek moyang dikontraskan dengan nilai-nilai yang dianggap baru datang dari luar tidaklah efektif. Sebaliknya, hanya mengutip ajaran-ajaran moral atau tata pemerintahan dari luar juga tidak akan efektif menggugah masyarakat yang sudah berabad-abad hidup dalam dunia yang berbeda, walaupun sebagian besar nilai-nilai yang dianggap berasal dari nenek moyang itu tadinya datang dari luar juga. Nilai-nilai yang universal sering kali mengambil wujud yang bertolak belakang dalam konteks yang berbeda. Sayang anak, misalnya, bisa berwujud sebagai dorongan atau kekangan tergantung apa yang dilakukan si anak. Kesetiakawanan bisa ditunjukkan dengan kerelaan meminjamkan uang untuk teman yang baru dipecat, atau menolak untuk teman yang mencandu dadah. Kesetiaan kepada sumpah pegawai negeri bisa berarti melakukan tugas-tugas yang dibebankan kantor yang bermanfaat bagi orang banyak, atau membangkang perintah kongkalikong mencuri uang proyek. Cinta tanah air seorang prajurit dapat muncul sebagai kesediaan mengorbankan nyawa ikut perintah komandan angkat senjata melawan penyerbu, atau kesediaan mengorbankan nyawa melawan perintah tembak penduduk tak bersenjata yang sedang demonstrasi tuntut keadilan.

Salah satu nilai luhur yang terus diagung- agungkan dalam keluarga dan sekolah kita ialah bahwa seorang anak harus patuh kepada orang tua, guru, dan pemegang otoritas pada umumnya. Dosa terbesar yang bisa dilakukan seorang anak adalah durhaka, yaitu tidak taat kepada orangtua. Tidak penting apa yang ditaatkan, yang penting harus taat. Dalam dunia sempit perdesaan dan kelompok-kelompok primordial kecil, nilai ini bisa menentukan kelangsungan eksistensi bersama sehingga sangat berharga dan wajib dipertahankan. Namun, dalam sistem kemasyarakatan modern, internalisasi sikap taat buta pada orang yang lebih berkuasa-entah lantaran usia, pengetahuan, jabatan, senjata, atau apa pun-bisa menghasilkan kengerian dan bencana raksasa.

Ketaatan membuta kepada pemerintah, pejabat, bahkan kepada guru dan agamawan bisa berujung pada terciptanya kekejaman dan perendahan martabat yang luar biasa. Ini bisa terjadi di mana saja, baik di Indonesia maupun di negeri-negeri lain. Lihat saja, di bidang politik dan pemerintahan, bagaimana bawahan yang jujur tutup mulut untuk melindungi atasannya yang korup dan bejat, asal bapak senang walau layanan terhadap orang banyak terbengkalai.

Di bidang keamanan, pasukan Nazi, polisi rahasia, dan apparatchik komunis, tentara dan polisi di negara-negara militeristik, membunuhi dan menyengsarakan korban-korban mereka dalam jumlah jutaan, bahkan puluhan juta, hanya dengan satu alasan: taat pada perintah. Tentu ada tentara dan polisi baik di antara mereka-tapi diam seribu basa karena tabu membangkang dan menimbulkan kesulitan pada pemimpin.

Di bidang agama, pengikut-pengikut fanatik yang mengikuti ajaran guru-guru agama yang menyesatkan-baik itu Protestan, Katolik, Islam, atau Hindu-atas nama Tuhan dan agama menyebar teror dan kematian; dan merasa bangga dan berjasa pula, yakin masuk surga menikmati pahala ilahi. Mereka taat total pada pemimpin agama mereka yang mengajarkan bahwa mati demi tuhan palsu mereka yang kejam itu lebih mulia daripada hidup demi Tuhan sejati yang maha pengasih, maha pengampun, dan maha penyayang.

Di bidang tenaga kerja, tenaga kerja perempuan kita, yang sejak dari gendongan sudah diajari untuk mengikuti hukum wajib melayani ayah, saudara lelaki, dan suami tanpa keluh, sangat mudah dimanfaatkan luar dalam oleh para majikan yang melihat mereka sebagai budak belian tak bermartabat tak pernah bisa bilang tidak.

Di bidang ilmu, nilai tertinggi diberikan kepada anak yang paling pandai menghafal dan membeo; sedangkan anak yang rajin mempertanyakan, yang di negeri lain dikenali sebagai ciri potensi otak cemerlang, di sini dibungkam dan dianggap pengganggu ketenangan belajar. Jauh dari sekolah kita sistem pendidikan modern yang mendorong anak mandiri dan berkemampuan mengambil pilihan sesuai dengan hati nurani, kalau perlu membela orang lemah menentang orang kuat. Namun, anak kita diajar untuk selalu memihak pada orang yang lebih berkuasa. Siapa saja yang pada saat dan situasi tertentu de facto paling kuat.

Samuel dihargai, dijunjung, dan ditaati. Namun, dia tidak menuntut kepatuhan membabi buta. Sebaliknya malah, dia menantang orang banyak untuk mencari kesalahannya, untuk menuntutnya atas kerugian yang mungkin telah ditimbulkannya, untuk mendakwanya apabila dia telah melakukan ketidakadilan. Beranikah seorang ayah bersikap demikian terhadap anaknya? Sanggupkah seorang guru mengundang muridnya menunjukkan kesalahannya? Kapankah seorang pemimpin agama berkata, "Aku tidak tahu?" Di mana ada pejabat yang berani berkata, "Tuntutlah aku?" Hanya bila kepatuhan terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan dijunjung lebih tinggi daripada kepatuhan terhadap penguasa, mulai dari penguasa di rumah, sekolah sampai penguasa negeri, dapatlah bangsa kita berharap bisa berhenti jadi bangsa pengekor di segala bidang.

Menuruti penguasa itu aman. Namun, sikap cari aman sudah demikian mendarah daging dan merajalela dalam kehidupan politik dan sosial kita sehingga nilai keadilan dan kebenaran dengan mudah dilanggar untuk mengejar keamanan dan kesejahteraan pribadi, keluarga, lingkungan sendiri, biarpun akibatnya masyarakat luas terugikan. Apabila anda seorang pegawai negeri yang jujur, dan anda tahu atasan dan rekan kerja anda melahap uang rakyat lewat korupsi, kolusi, manipulasi, dan pemerasan, beranikah anda membeberkannya kepada umum? Apabila anda seorang hakim, jaksa, pengacara, atau petugas pengadilan yang berhati nurani, dan anda punya bukti suap-menyuap yang menyebabkan keadilan diputarbalikkan, akankah anda mengungkapkannya kepada orang banyak? Apabila anda seorang polisi atau tentara yang saleh, dan anda tahu atasan atau rekan anda menyiksa atau membunuh, atau memerintahkan perbuatan sewenang-wenang terhadap rakyat sipil, beranikah anda bersaksi di hadapan komisi hak-hak asasi manusia? Itulah antara lain makna belajar dari Samuel yang "tidak memeras, tidak memperlakukan orang dengan kekerasan, dan tidak menerima apa-apa dari tangan siapa pun".

Para pemimpin agama perlu secara langsung mendidik penganut-penganutnya dalam hal pertanggungjawaban seorang pejabat atau pemimpin politik. Seperti apakah pemimpin teladan itu dalam kenyataan? Kasus Samuel adalah bukti bahwa ada ajaran agama yang sangat jelas dan eksplisit mengenai prinsip-prinsip etis dalam kehidupan publik. Nah, apabila dalam ibadah-ibadah, khotbah-khotbah yang berintikan tindak-tanduk etis dan konkret seorang pemimpin partai atau pegawai negeri diserukan- bukan sekadar menyuruh jujur atau rajin berdoa, juga bukan menyerukan dominasi satu agama atas kehidupan publik-bukankah ada harapan bahwa satu dua akan bertobat secara nyata dan pada ujungnya akan membantu negeri ini menjadi negeri yang lebih bersih, adil, dan makmur?

SAMSUDIN BERLIAN Magister Etika Sosial dari Princeton Theological Seminary


Search :




Berita Lainnya :

·
Protestanisme Islam dan Reformasi Protestan

·
Sosok Pemimpin Demokratis dan Antikorupsi

·
Bioetika dan Globalisasinya

·
Insinyur Pembentuk Bangsa








Sepuluh ribu orang tentara itu sedang terkepung oleh puluhan ribu tentara Persia. Mereka kekurangan makanan, jauh dari tanah air, dan sekarang sedang terkepung. Tidak ada satu dambaan di antara mereka kecuali bisa terbang melompati musuh-musuh itu dan mendarat dengan selamat di tanah air mereka. Mudah diangankan, namun hampir mustahil untuk dilaksanakan.

Yang lebih menyakitkan lagi, mereka baru saja dikhianati oleh pemimpin mereka sendiri. Pemimpin yang kejam, keras, dan bengis itu sekarang sudah meninggalkan mereka. Sekarang mereka bingung, kacau, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tekanan yang dilakukan tentara Persia makin menyempit seakan penjepit raksasa yang siap melumat tubuh-tubuh tentara yang sudah kurang makan itu. Saat itu, mati menjadi sahabat karib yang siap membawa arwah-arwah mereka ke pengembaraan abadi. Semangat mereka untuk bertempur telah terbang sejalan dengan terbangnya sang pemimpin yang sudah kabur meninggalkan mereka.

Di tengah rintihan putus asa, tiba-tiba tampillah Xenophon, salah seorang pimpinan pasukan untuk mengambil inisiatif. Darahnya meluap ketika pemimpinnya kabur. Ia sudah membayangkan akan terjadi penjagalan besar-besaran terhadap pasukannya, dan banjir darah dari pasukannya akan sangat mungkin terjadi. Burung-burung pemakan bangkai akan berpesta pora melahap mayat-mayat pasukan itu. Membayangkan hal itu, bulu kuduknya berdiri. “Ini tidak boleh terjadi, aku harus berbuat sesuatu,” demikian pikir Xenophon.

Segera saja ia berpidato. Betapa pun juga ia masih kelompok pimpinan, maka mau tidak mau tentara yang putus asa itu mendengarkan perkataannya. Pertama ia akan mengajak tentara itu pulang dengan selamat. Ia mengatakan tidak ada gunanya lagi bertempur melawan tentara Persia yang perkasa apalagi jumlah mereka berlipat-lipat. Ia tekankan bagaimana mereka harus menjaga semangat. Ia tekankan bagaimana mereka harus bersatu dan tidak mementingkan diri. Ia kenangkan juga bagaimana manisnya keadaannya bila mereka bisa berkumpul lagi dengan istri-istri mereka, pacar-pacar mereka, anak-anak mereka, dan keluarga mereka.
Miliki Segera Buku Transformational Leadership!

Bayangkan dampaknya pada kepemimpinan anda pada 1 tahun, 3 tahun, dan 5 tahun mendatang jika anda menerapkan metoda kepemimpinan unggulan ini. Anda akan menjadi pemimpin yang unggul, pemimpin yang begitu dirindukan oleh bawahan anda...

Caranya? Baca dan terapkan resep-resep dari buku Transformational Leadership: Terobosan Baru Menjadi Pemimpin Unggul.

Buku itu setebal hampir 400 halaman yang berisi berbagai strategi praktis untuk menjadi pemimpin unggul. Dari testimoni pembaca buku itu, hampir semua memuji buku itu demikian baik, menginspirasi, dan mendalam. Jangan percaya begitu saja dengan komentar mereka. Anda sendiri bisa membuktikannya...

Silakan lihat Pengantar dan Bab 7 dari buku itu

Jika anda membutuhkan buku itu, segera hubungi Irma pada no hp: 0856-226-5469 atau (022)7318531

Pidato-pidato itu ia sampaikan berulang-ulang. Ia gunakan simbol-simbol, metafora-metafora, dan kata-kata pembangkit semangat lainnya. Ia motivasi tentara itu untuk bersatu dan memiliki semangat tinggi melampaui kepentingan diri sendiri. Pelan-pelan tentara yang sudah lemah semangat itu bangkit. Pidato-pidato Xenophon seakan suluh yang menerangi sudut-sudut gelap di hati tentara yang putus asa itu.

Akhirnya, gambaran pulang ke kampung halaman yang seolah masih tergantung di langit biru, berhasil mereka raih kembali. Ya, kita akan pulang. Begitu membayangkan pulang, segera saja tergambar istri yang berdoa dan mengharap suaminya pulang dengan selamat. Tergambar betapa pacar-pacar mereka yang tiap hari berdiri di muka rumah, hanya sekedar menengok apakah sang kekasih sudah kembali dari medan laga. Tergambar pula betapa anak-anak yang rindu memperoleh dekapan hangat dan penuh kasih dari sang ayah yang pulang dengan selamat. Gambaran-gambaran inilah yang coba dipompakan oleh Xenophon ke benak para prajuritnya.

Demikian hebat dia berorasi sampai ada julukan goddess of persuasion sat upon his lips, yang artinya dewi persuasi sedang bersemayam di bibirnya. Ringkasnya, ia mampu menyemangati sepuluh ribu tentara itu untuk bersatu. Akhirnya mereka mampu keluar dari kepungan tentara Persia, dan kembali ke Yunani dengan selamat.

Ini adalah kisah penarikan dramatis 10.000 tentara di Anabasis dan diceritakan oleh Xenophon. Xenophone adalah seorang cerdik pandai, murid dan sekaligus penerus pujangga Yunani, Socrates. Oleh para ahli, pidato luar biasa tadi bisa digolongkan ke dalam perilaku kepemimpinan transformasional.

“Dalam perang, tiga perempat kekuatan terletak pada karakter perorangan dan hubungan, keseimbangan tentara dan material hanya terletak pada seperempat yang tersisa”

- NAPOLEON I

Sebenarnya, sejak ribuan tahun lalu para cerdik pandai sudah mulai memperoleh kilasan ilham terhadap konsep kepemimpinan transformasional ini. Kilasan-kilasan itu sering mampir di benak orang-orang bijaksana di masa lalu. Kilasan itu bagaikan mimpi-mimpi baik orang saleh, yang kata Nabi Muhammad, mimpi itu merupakan satu dari 46 tanda-tanda kenabian.

Pada jaman China kuno, para pemimpin seperti Confucius dan Asoka mendorong orang-orang yang memegang kekuasaan untuk menjadi pendorong terciptanya moral yang tinggi bagi para pengikutnya. Para pemimpin itu hendaknya bisa menjadi contoh teladan bagi masyarakat.

Plato, di jaman Yunani kuno, juga tidak mau kalah. Ia mengatakan, jika seorang pemimpin ingin menjadi pemimpin yang karismatik, ia harus belajar mendayagunakan simbol dan metafora dalam memimpin bawahannya.

“Manajer adalah orang yang mengerjakan hal-hal secara benar, sedangkan pemimpin adalah orang yang mengerjakan hal-hal yang benar.”

- WARREN BENNIS

Itu tadi adalah sekelumit kilasan kepemimpinan transformasional. Namun proses penemuan konsep ini sangatlah lama. Baru pada tahun 1978, James MacGregor, sejarawan Amerika Serikat, menulis karya kepemimpinan yang monumental. Kepemimpinan, menurutnya, ada dua tipe, yaitu kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional.

Kepemimpinan transaksional ini berupa pertukaran sesuatu antara dua orang atau lebih. Ini adalah bentuk kepemimpinan yang ada di mana-mana dan paling dikenal orang. Kedua adalah, kepemimpinan transformasional. Transformasi yang terjadi yang dipicu oleh kepemimpinan ini meliputi tidak hanya pada organisasi, atau kelompok, tapi juga pada orang-orang yang di mana kepemimpinan itu terjadi.

Bagian 2: Pengalaman pertama menjadi bawahan

Pelajaran dari Samuel
Sosok Pemimpin Demokratis dan Antikorupsi

Samsudin Berlian

TIGA ribu tahun yang lalu di Kota Gilgal, dekat Yerikho di negeri Palestina sekarang, rakyat Ibrani dari segenap penjuru negeri berkumpul. Bukan untuk menyaksikan goyang biduan kondang, bukan pula untuk mendengarkan kampanye umbar janji.

Kisah Samuel itu adalah salah satu contoh yang layak dijadikan pelajaran bagi para pelaku, pengawas, dan segala pihak yang berkepentingan melihat tumbuh kembangnya instrumen-instrumen demokrasi di negeri ini, seperti pemilihan langsung kepala daerah atau pilkada yang sudah di ambang pintu itu. Mereka, termasuk para pemimpin agama dan pejuang sipil, dapat menggali gagasan menindaklanjuti tekad mereka berperang melawan korupsi dan berjuang menciptakan Indonesia yang adil dan sejahtera-lewat perwujudan kedaulatan rakyat yang demokratis dan efektif.

Apa isi pidato Samuel? Bukan yang muluk- muluk tentang kemajuan ekonomi, kestabilan politik, keamanan negara, atau persatuan dan kesatuan bangsa selama kepemimpinannya. Bukan pula dalih-dalih cantik penuh pembenaran terhadap kegagalan-kegagalannya sebagai pemimpin. Inilah yang diucapkan Samuel tanpa tedeng aling-aling di hadapan rakyat banyak yang sebagian besar adalah para gembala dan petani: "Di sinilah aku berdiri. Berikanlah kesaksian menentang aku di hadapan TUHAN...: Lembu siapakah yang telah kuambil? Keledai siapakah yang telah kuambil? Siapakah yang telah kuperas? Siapakah yang telah kuperlakukan dengan kekerasan? Dari tangan siapakah telah kuterima sogok sehingga aku harus tutup mata? Aku akan mengembalikannya kepadamu."

Sungguh pidato yang luar biasa, yang diucapkan justru ketika dia tidak lagi memegang kekuasaan. Bukan pada puncak kekuasaannya dia menantang orang menyebutkan kesalahan- kesalahannya di muka umum. Seorang penguasa yang licik bisa saja berbuat demikian karena dia tahu orang-orang akan takut menyalahkannya. Namun, Samuel menantang rakyatnya menyebutkan kesalahannya justru ketika seorang pemimpin baru yang bukan sanak familinya telah terpilih menggantikannya sebagai pemimpin bangsa. Dia bersiap-siap turun dari posisinya dengan hati bersih. Kalau ada orang yang telah ia rugikan selama dia berkuasa, dia akan membayarnya sekarang, saat dia sudah tidak lagi berkuasa. Kalau ada yang merasa telah diperlakukan tidak adil, sekaranglah saatnya menuntut keadilan, ketika Samuel sudah menjadi anggota masyarakat biasa.

Sungguh kebalikan dari banyak pemimpin yang kita kenal yang di akhir masa jabatannya bukan hanya menolak menyangkal membantah segala aib yang dituduhkan, malah menuntut pesangon, uang kadeudeuh, uang lelah, atau apa pun namanya, dalam jumlah yang sama sekali tidak seimbang dengan prestasi mereka yang amburadul, dan yang dengan segala cara halal dan haram berusaha memegang jabatan lagi. Tidak heranlah bahwa pidato Samuel yang demikian langka di muka bumi itu dicatat dengan tinta emas dalam lembar sejarah bangsa Ibrani. Sekaligus tercatat juga di situ jawaban rakyatnya yang tidak kalah langkanya. "Engkau tidak memeras kami dan engkau tidak memperlakukan kami dengan kekerasan dan engkau tidak menerima apa-apa dari tangan siapa pun."

Ah, bayangkan. Andaikata ada seorang pemimpin negeri di Republik Pancasila ini memperoleh jawaban demikian dari rakyat banyak di akhir masa jabatannya. Layaklah ini jadi sebuah impian, kalau belum bisa jadi kenyataan. Menilik keinginan naik gaji para anggota DPR saat ini, kekayaan bermiliar-miliar pejabat-pejabat kita yang entah dari mana asal-usulnya, ditambah wanprestasi dunia peradilan kita, memang masih jauh dari realitas. Namun, tidaklah berkelebihan kalau itu dijadikan salah satu kriteria bagi para calon anggota eksekutif, legislatif, dan yudikatif, termasuk para kepala daerah sekarang yang ingin dipilih kembali: yaitu apabila terhadap mereka bisa diberikan jawaban bahwa mereka tidak memeras, tidak melakukan kekerasan, dan tidak menerima apa-apa dari tangan siapa pun. Kriteria ini pun cocok dipakai untuk mengukur calon pemimpin baru dilihat dari karakternya sebelum terjun dalam dunia politik dan selama berkecimpung dalam partainya. Juga sejalan dengan seruan tidak memilih politikus busuk yang sudah diserukan menjelang pemilu lalu.

Samuel bukan hanya bersih untuk mempertahankan kemurnian dirinya sendiri. Dia sudah melepaskan jabatan politiknya selagi masih gagah. Tidak tunggu mati, sakit-sakitan, pikun, atau dilengserkan dengan tidak hormat. Dia pun mempersiapkan penggantinya, Saul, yang menjadi raja pertama orang Ibrani, bukan berdasarkan selera pribadinya, melainkan mengikuti suara dan dukungan rakyat banyak. Anak-anak Samuel yang juga pejabat negeri, sayang sekali, tidak mengikuti teladannya; sebaliknya bersifat rakus, menerima suap, dan memutarbalikkan keadilan. Samuel tahu itu. Maka, walaupun secara pribadi dia tetap merasa sayang terhadap anak-anaknya, dia menempatkan kehendak rakyat-yang menginginkan penguasa baru yang bukan sanak kandungnya-di atas kepentingan keluarganya sendiri. Dia rela menyingkirkan anak-anaknya dari kekuasaan politik demi kepentingan rakyat, demi pemenuhan keinginan rakyat. Kebalikan dari praktik banyak penguasa dan birokrat di negeri ini, yang dengan segala cara berusaha memasukkan sanak keluarganya ke dalam lingkungan elite politik yang mereka anggap lahan garapan pribadi-misalnya, ketua partai memasang nama anak istrinya sebagai calon jadi dalam pemilu, menteri dan pemimpin direktorat, gubernur, bupati, camat yang memberikan jabatan kepada familinya di kantor yang dipimpinnya. Banyak orang di negeri ini sudah menganggap wajar, bahkan seharusnya, bila seorang pejabat pemerintah baru menggantikan anggota staf kantornya dengan kroni-kroninya sendiri yang terdiri dari famili, orang semarga, sekampung, sesuku, dan teman dekat.

KISAH Samuel itu adalah satu contoh bagaimana para agamawan dan pejuang sipil dapat mengambil tindak lanjut terhadap inisiatif tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga agama yang menyerukan perang bersama melawan korupsi beberapa waktu lalu. Itu inisiatif yang sangat penting dan bisa menentukan masa depan negeri ini. Sayangnya, justru di saat kampanye pemilu lalu dan menjelang pilkada sekarang semangat para agamawan itu terasa kurang angin. Mungkin antara lain sebab kalangan agamawan sendiri punya pemikiran yang berbeda-beda mengenai keterlibatan mereka sebagai pemikir dan pejabat agama dalam hal keterlibatan dalam suatu gerakan politik.

Di satu pihak, ada yang beranggapan bahwa urusan keagamaan adalah urusan yang berkaitan dengan wilayah-wilayah pribadi (private) semata. Bagi mereka, yang penting adalah bagaimana seseorang memelihara batin dan jiwa sendiri menghadapi dunia luar yang sering kali tidak berketuhanan. Yang penting adalah memelihara kemurnian dan kesucian diri seperti teratai berkembang indah di tengah kolam berlumpur. Mereka hanya ingin teratai tetap suci murni; tidak tertarik dalam usaha membersihkan kolam itu dari lumpur. Bagi mereka, menekuni doa pribadi mereka sendiri lebih penting daripada melawan peningkatan kebobrokan pemerintahan dan birokrasi sehari-hari. Argumen mereka adalah, "politik itu kotor", tidak pantas dilakoni orang-orang beragama yang (seharusnya) suci. Konsekuensinya, aktivitas politik, yang seharusnya menjadi instrumen utama kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat, lantas dikuasai orang-orang kotor yang menghinakan rakyat.

Sikap tertutup ini dikuatkan oleh indoktrinasi masa Orba yang menyerukan para intelektual dan pemimpin agama serta orang banyak pada umumnya untuk tidak terlibat dalam apa yang disebut "politik praktis". Semangat yang dipompakan adalah "biarkanlah para ahli yang mengurus negara". Dan siapakah para ahli itu? Ya, para penguasa Orba itu sendiri dengan segenap mesin politik dan birokratnya yang adalah pegawai negeri, bukan pegawai rakyat. Hasilnya? Bangkrut total setelah memerah negeri ini dengan impunity selama lebih dari satu generasi. Para propagandis Orba itu menyembunyikan kenyataan bahwa politik selalu praktis. Teori-teori politik yang dikembangkan para pakar di universitas-universitas dan lembaga- lembaga riset pun memiliki landasan praktis dan mempunyai potensi implementasi praktis. Justru dalam suatu negara demokrasi, makin banyak persentase rakyat yang menaruh perhatian dan berpartisipasi pada politik yang selalu praktis itu, makin besar kemungkinan negara itu mewujudkan cita-cita demokrasinya yang tidak akan pernah tercapai sempurna itu. Suatu demokrasi hanya demokratis sejauh rakyat dan pemimpinnya mewujudkan demokrasi itu lewat interaksi politik yang sehat setiap saat.

Di pihak lain, ada yang beranggapan bahwa urusan keagamaan mencakup segala bidang kehidupan, universal absolut. Tidak ada urusan yang terlalu kecil atau terlalu besar, terlalu dekat atau terlalu jauh, terlalu sederhana atau terlalu rumit, terlalu umum atau terlalu spesialis. Lebih ekstrem lagi, agama di sini bukan agama pada umumnya atau prinsip-prinsip yang diterima dalam sebagian besar agama yang dianut masyarakat, tapi agama mereka sendiri saja. Akibatnya, yang menjadi tujuan mereka adalah pengawasan, pengaturan, dan pemerintahan dalam segala bidang, baik yang bersifat pribadi maupun publik, oleh pemimpin-pemimpin agama mereka sendiri. Mereka ingin mengatur segala hal, mulai dari kapan orang harus berdoa dan makan, pakaian mana yang layak mana yang tidak, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang per orang siang dan malam, bahkan di dalam kamarnya sendiri, sampai siapa yang harus jadi penguasa negeri dan kebijakan besar kecil apa yang harus diambil untuk urusan dalam dan luar negeri.

Kecenderungan pemaksaan kehendak ini sayangnya sedang dikuatkan oleh gerakan-gerakan massa (atau lebih tepat kuasi-massa, seolah- olah gerakan massa) yang memperjuangkan (memaksakan) aspirasi mereka (kehendak egois mereka) melalui demonstrasi (kekuatan otot kolektif) yang tidak ditujukan untuk memperkuat suara publik, melainkan justru untuk melumpuhkan elemen-elemen dan institusi-institusi layanan publik (seperti polisi dan pers) yang memang sudah lemah itu. Misalnya, persatuan preman berdemonstrasi-di bawah pandangan mata polisi yang tanpa daya, atau disuruh tak berdaya-memaksa pengelola mal mempekerjakan mereka sebagai petugas keamanan, untuk melindungi mal itu dari gangguan mereka sendiri, tentu. Kelompok pengojek berdemonstrasi melarang angkot masuk perumahan, secara tidak langsung memaksa penghuni perumahan yang termasuk golongan ekonomi lemah (tidak punya mobil atau motor pribadi dan tidak punya suara) mengeluarkan ongkos lebih besar untuk transportasi sehari-hari. Kelompok tukang pukul mengepung atau menyerbu kantor media massa untuk melemahkan independensi editorialnya, atau menghantam kantor lembaga swadaya masyarakat untuk melemahkan semangat pembelaannya, sementara petugas keamanan hanya bisa berjanji akan meneliti perkara itu tanpa akhir.

Namun, di luar sikap menyingkirkan diri dari dunia umum dan sikap totalitarian mau mengatur segala sesuatu dengan paksa, masih ada pendekatan keagamaan dan pendekatan sosial yang memerhatikan bagaimana urusan publik dijalankan dengan prinsip-prinsip etis yang baik tanpa pemaksaan kepentingan sepihak. Di satu sisi, wilayah publik tetap terbuka sebagai ajang kompetisi orang banyak, tidak dikuasai total satu golongan atau agama tertentu. Di sisi lain, orang-orang beragama tidak hanya mewujudkan ajaran agama mereka dalam wilayah pribadi saja, tapi ikut memperjuangkan terciptanya kehidupan publik yang berpihak pada keadilan dan kemakmuran rakyat banyak. Pendekatan itu adalah pendekatan etis yang menilai dan menguji praktik-praktik kegiatan publik berdasarkan pelajaran yang dipetik dari prinsip-prinsip etis keagamaan dan bukan dari ajaran-ajaran ritual atau dogmatis. Genderang perang yang ditabuh para pemimpin agama- agama melawan korupsi itu adalah satu contoh pendekatan ini. Selanjutnya yang tidak boleh terlupakan adalah petunjuk nyata bagaimana perang itu dapat dimenangi.

TENTU ada banyak strategi dan senjata yang bisa dipakai. Pembenahan struktural lewat reformasi hukum yang sedang diusahakan, misalnya, walaupun dengan tersendat-sendat. Bukan hanya undang-undang antikorupsi yang perlu diperhatikan, tapi juga praktik dan kebiasaan lain yang memungkinkan merajalelanya korupsi. Misalnya, hampir tidak ada jalur resmi yang memungkinkan orang banyak menuntut pertanggungjawaban seorang pemimpin politik atau birokrat, baik selama maupun sesudah masa jabatannya. Sekarang ini bahkan seorang terdakwa korupsi bisa tetap terpilih atau diangkat kembali dan seorang terhukum korupsi tetap langgeng bertahan di kursi jabatannya. Yang heboh cuma demonstrasi tak habis-habis dan jarang efektif manakala seorang pejabat atau mantan pejabat berlindung pada atasannya atau pada hukum yang tidak adil.

Senjata lain yang penting adalah pendidikan umum terhadap rakyat secara keseluruhan akan kebiasaan-kebiasaan yang dalam dunia tradisional bersifat positif tapi dalam dunia pemerintahan modern bersifat negatif. Misalnya, sifat tolong-menolong dan gotong-royong adalah sifat mulia. Seorang kaya di desa yang tidak pernah menolak mempekerjakan orang sekampungnya, walaupun untuk itu dia harus menambah pengeluarannya, adalah budiman yang menaruh belas kasihan pada sesamanya. Namun, seorang camat yang menggunakan kekuasaannya untuk menempatkan sepupunya menjadi lurah telah berkhianat terhadap masyarakat. Ada kesenjangan persepsi di sini yang membuat si camat menghadapi dilema moral. Sebagai seorang camat, dia dinilai berhasil. Namun, itu belum cukup. Dia baru akan sungguh-sungguh dihormati di kampung asalnya apabila dia menolong keluarganya dan penduduk kampung yang tidak seberhasil dia secara ekonomis. Namun, bagaimana seorang camat dengan gaji terbatas bisa menolong orang sekampung? Untuk benar-benar "jadi orang" di kampung halamannya, dia akan terpaksa menyingkirkan tujuan mulia melayani publik demi kepentingan publik itu sendiri dan sebaliknya memperbanyak dana untuk menolong orang sekampungnya lewat korupsi atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk dengan curang memanfaatkan aset negara demi mereka.

Pembahasan terbuka mengenai perbenturan nilai-nilai tradisional dan modern semacam itu pada akhirnya akan lebih bermanfaat bagi rakyat banyak. Bayangkan apa yang akan terjadi apabila rakyat pada umumnya merendahkan, bukan memuja-muja, seorang pejabat yang hanya memerhatikan pembangunan di rumahnya atau di kampungnya sendiri. Secara membabi buta mengagungkan nilai-nilai luhur nenek moyang dikontraskan dengan nilai-nilai yang dianggap baru datang dari luar tidaklah efektif. Sebaliknya, hanya mengutip ajaran-ajaran moral atau tata pemerintahan dari luar juga tidak akan efektif menggugah masyarakat yang sudah berabad-abad hidup dalam dunia yang berbeda, walaupun sebagian besar nilai-nilai yang dianggap berasal dari nenek moyang itu tadinya datang dari luar juga. Nilai-nilai yang universal sering kali mengambil wujud yang bertolak belakang dalam konteks yang berbeda. Sayang anak, misalnya, bisa berwujud sebagai dorongan atau kekangan tergantung apa yang dilakukan si anak. Kesetiakawanan bisa ditunjukkan dengan kerelaan meminjamkan uang untuk teman yang baru dipecat, atau menolak untuk teman yang mencandu dadah. Kesetiaan kepada sumpah pegawai negeri bisa berarti melakukan tugas-tugas yang dibebankan kantor yang bermanfaat bagi orang banyak, atau membangkang perintah kongkalikong mencuri uang proyek. Cinta tanah air seorang prajurit dapat muncul sebagai kesediaan mengorbankan nyawa ikut perintah komandan angkat senjata melawan penyerbu, atau kesediaan mengorbankan nyawa melawan perintah tembak penduduk tak bersenjata yang sedang demonstrasi tuntut keadilan.

Salah satu nilai luhur yang terus diagung- agungkan dalam keluarga dan sekolah kita ialah bahwa seorang anak harus patuh kepada orang tua, guru, dan pemegang otoritas pada umumnya. Dosa terbesar yang bisa dilakukan seorang anak adalah durhaka, yaitu tidak taat kepada orangtua. Tidak penting apa yang ditaatkan, yang penting harus taat. Dalam dunia sempit perdesaan dan kelompok-kelompok primordial kecil, nilai ini bisa menentukan kelangsungan eksistensi bersama sehingga sangat berharga dan wajib dipertahankan. Namun, dalam sistem kemasyarakatan modern, internalisasi sikap taat buta pada orang yang lebih berkuasa-entah lantaran usia, pengetahuan, jabatan, senjata, atau apa pun-bisa menghasilkan kengerian dan bencana raksasa.

Ketaatan membuta kepada pemerintah, pejabat, bahkan kepada guru dan agamawan bisa berujung pada terciptanya kekejaman dan perendahan martabat yang luar biasa. Ini bisa terjadi di mana saja, baik di Indonesia maupun di negeri-negeri lain. Lihat saja, di bidang politik dan pemerintahan, bagaimana bawahan yang jujur tutup mulut untuk melindungi atasannya yang korup dan bejat, asal bapak senang walau layanan terhadap orang banyak terbengkalai.

Di bidang keamanan, pasukan Nazi, polisi rahasia, dan apparatchik komunis, tentara dan polisi di negara-negara militeristik, membunuhi dan menyengsarakan korban-korban mereka dalam jumlah jutaan, bahkan puluhan juta, hanya dengan satu alasan: taat pada perintah. Tentu ada tentara dan polisi baik di antara mereka-tapi diam seribu basa karena tabu membangkang dan menimbulkan kesulitan pada pemimpin.

Di bidang agama, pengikut-pengikut fanatik yang mengikuti ajaran guru-guru agama yang menyesatkan-baik itu Protestan, Katolik, Islam, atau Hindu-atas nama Tuhan dan agama menyebar teror dan kematian; dan merasa bangga dan berjasa pula, yakin masuk surga menikmati pahala ilahi. Mereka taat total pada pemimpin agama mereka yang mengajarkan bahwa mati demi tuhan palsu mereka yang kejam itu lebih mulia daripada hidup demi Tuhan sejati yang maha pengasih, maha pengampun, dan maha penyayang.

Di bidang tenaga kerja, tenaga kerja perempuan kita, yang sejak dari gendongan sudah diajari untuk mengikuti hukum wajib melayani ayah, saudara lelaki, dan suami tanpa keluh, sangat mudah dimanfaatkan luar dalam oleh para majikan yang melihat mereka sebagai budak belian tak bermartabat tak pernah bisa bilang tidak.

Di bidang ilmu, nilai tertinggi diberikan kepada anak yang paling pandai menghafal dan membeo; sedangkan anak yang rajin mempertanyakan, yang di negeri lain dikenali sebagai ciri potensi otak cemerlang, di sini dibungkam dan dianggap pengganggu ketenangan belajar. Jauh dari sekolah kita sistem pendidikan modern yang mendorong anak mandiri dan berkemampuan mengambil pilihan sesuai dengan hati nurani, kalau perlu membela orang lemah menentang orang kuat. Namun, anak kita diajar untuk selalu memihak pada orang yang lebih berkuasa. Siapa saja yang pada saat dan situasi tertentu de facto paling kuat.

Samuel dihargai, dijunjung, dan ditaati. Namun, dia tidak menuntut kepatuhan membabi buta. Sebaliknya malah, dia menantang orang banyak untuk mencari kesalahannya, untuk menuntutnya atas kerugian yang mungkin telah ditimbulkannya, untuk mendakwanya apabila dia telah melakukan ketidakadilan. Beranikah seorang ayah bersikap demikian terhadap anaknya? Sanggupkah seorang guru mengundang muridnya menunjukkan kesalahannya? Kapankah seorang pemimpin agama berkata, "Aku tidak tahu?" Di mana ada pejabat yang berani berkata, "Tuntutlah aku?" Hanya bila kepatuhan terhadap nilai-nilai kebenaran dan keadilan dijunjung lebih tinggi daripada kepatuhan terhadap penguasa, mulai dari penguasa di rumah, sekolah sampai penguasa negeri, dapatlah bangsa kita berharap bisa berhenti jadi bangsa pengekor di segala bidang.

Menuruti penguasa itu aman. Namun, sikap cari aman sudah demikian mendarah daging dan merajalela dalam kehidupan politik dan sosial kita sehingga nilai keadilan dan kebenaran dengan mudah dilanggar untuk mengejar keamanan dan kesejahteraan pribadi, keluarga, lingkungan sendiri, biarpun akibatnya masyarakat luas terugikan. Apabila anda seorang pegawai negeri yang jujur, dan anda tahu atasan dan rekan kerja anda melahap uang rakyat lewat korupsi, kolusi, manipulasi, dan pemerasan, beranikah anda membeberkannya kepada umum? Apabila anda seorang hakim, jaksa, pengacara, atau petugas pengadilan yang berhati nurani, dan anda punya bukti suap-menyuap yang menyebabkan keadilan diputarbalikkan, akankah anda mengungkapkannya kepada orang banyak? Apabila anda seorang polisi atau tentara yang saleh, dan anda tahu atasan atau rekan anda menyiksa atau membunuh, atau memerintahkan perbuatan sewenang-wenang terhadap rakyat sipil, beranikah anda bersaksi di hadapan komisi hak-hak asasi manusia? Itulah antara lain makna belajar dari Samuel yang "tidak memeras, tidak memperlakukan orang dengan kekerasan, dan tidak menerima apa-apa dari tangan siapa pun".

Para pemimpin agama perlu secara langsung mendidik penganut-penganutnya dalam hal pertanggungjawaban seorang pejabat atau pemimpin politik. Seperti apakah pemimpin teladan itu dalam kenyataan? Kasus Samuel adalah bukti bahwa ada ajaran agama yang sangat jelas dan eksplisit mengenai prinsip-prinsip etis dalam kehidupan publik. Nah, apabila dalam ibadah-ibadah, khotbah-khotbah yang berintikan tindak-tanduk etis dan konkret seorang pemimpin partai atau pegawai negeri diserukan- bukan sekadar menyuruh jujur atau rajin berdoa, juga bukan menyerukan dominasi satu agama atas kehidupan publik-bukankah ada harapan bahwa satu dua akan bertobat secara nyata dan pada ujungnya akan membantu negeri ini menjadi negeri yang lebih bersih, adil, dan makmur?

SAMSUDIN BERLIAN Magister Etika Sosial dari Princeton Theological Seminary


Search :


Berita Lainnya :

·
Protestanisme Islam dan Reformasi Protestan

·
Sosok Pemimpin Demokratis dan Antikorupsi

·
Bioetika dan Globalisasinya

·
Insinyur Pembentuk Bangsa







Etika Dalam Kepemimpinan
Sara A. Boatman

1. Apakah "Etika" itu?
Pada pengertian yang paling dasar, etika adalah sistem nilai pribadi yang digunakan memutuskan apa yang benar, atau apa yang paling tepat, dalam suatu situasi tertentu; memutuskan apa yang konsisten dengan sistem nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi.

2. Apakah "Kepemimpinan yang Etis" itu

Kepemimpinan yang etik menggabungkan antara pengambilan keputusan etik dan perilaku etik; dan ini tampak dalam konteks individu dan organisasi. Tanggung jawab utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan etik dan berperilaku secara etik pula, serta mengupayakan agar organisasi memahami dan menerapkannya dalam kode-kode etik.

3. Saran-saran untuk perilaku secara etik

Bila pemimpin etik memiliki nilai-nilai etika pribadi yang jelas dan nilai-nilai etika organisasi, maka perilaku etik adalah apa yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Ada beberapa saran yang diadaptasi dari Blanchard dan Peale (1998) berikut ini:

a. berperilakulah sedemikian rupa sehingga sejalan dengan tujuan anda (Blanchard dan Peale mendefinisikannya sebagai jalan yang ingin anda lalui dalam hidup ini; jalan yang memberikan makna dan arti hidup anda.) Sebuah tujuan pribadi yang jelas merupakan dasar bagi perilaku etik. Sebuah tujuan organisasi yang jelas juga akan memperkuat perilaku organisasi yang etik.

b. berperilakulah sedemikian rupa sehingga anda secara pribadi merasa bangga akan perilaku anda. Kepercayaan diri merupakan seperangkat peralatan yang kuat bagi perilaku etik. Bukankah kepercayaan diri merupakan rasa bangga (pride) yang diramu dengan kerendahan hati secara seimbang yang akan menumbuhkan keyakinan kuat saat anda harus menghadapi sebuah dilema dalam menentukan sikap yang etik.

c. berperilakulah dengan sabar dan penuh keyakinan akan keputusan anda dan diri anda sendiri. Kesabaran, kata Blanchard dan Peale, menolong kita untuk bisa tetap memilih perilaku yang terbaik dalam jangka panjang, serta menghindarkan kita dari jebakan hal-hal yang terjadi secara tiba-tiba.

d. berperilakulah dengan teguh. Ini berarti berperilaku secara etik sepanjang waktu, bukan hanya bila kita merasa nyaman untuk melakukannya. Seorang pemimpin etik, menurut Blanchard dan Peale, memiliki ketangguhan untuk tetap pada tujuan dan mencapai apa yang dicita-citakannya.

e. berperilakulah secara konsisten dengan apa yang benar-benar penting. Ini berarti anda harus menjaga perspektif. Perspektif mengajak kita untuk melakukan refleksi dan melihat hal-hal lebh jernih sehingga kita bisa melihat apa yang benar-benar penting untuk menuntun perilaku kita sendiri. (310101)




Integritas, Bukan Karisma!


Integritas adalah modal utama seorang pemimpin, namun sekaligus modal yang paling langka dimiliki oleh pemimpin. Inilah ironi terbesar dalam area kepemimpinan.

Integritas adalah modal utama seorang pemimpin. James Kouzes dan Barry Posner dalam buku mereka berjudul Credibility: How leaders gain and lose it, why people demand it melaporkan hasil riset mereka selama hampir 20 tahun dari hasil survey terhadap ribuan professionals dari empat benua dan ratusan studi kasus bahwa faktor nomor satu yang paling kritikal bagi seorang pemimpin adalah integritas.

Warren Bennis dalam bukunya Leaders: Strategies for taking charge menulis bahwa integritas adalah fondasi untuk membangun rasa percaya (trust). Trust ini berkaitan erat dengan predictability. Seorang pemimpin yang memiliki integritas membangun trust dengan menunjukkan kepada orang lain bahwa apabila diperhadapkan dengan tantangan moral, segala keputusan dan aksinya dapat diprediksi

Namun integritas adalah sebuah komoditas kepemimpinan yang sangat langka, bahkan hampir punah hari ini. Pengakuan Pendeta Jesse Jackson di depan publik pada tanggal 18 Januari 2001 kembali memperkuat premis tersebut. Siapa tidak kaget dia punya anak berusia 20 bulan di luar nikah? Siapa tidak kaget mengetahui bahwa Pdt. Jesse Jackson yang dipersepsikan publik sebagai salah satu spiritual compass masyarakat Amerika ternyata berselingkuh sejak 1998?

Skandal Jesse seakan menjadi sequel kedua dari skandal Clinton yang juga menimbulkan kekagetan publik Amerika dan dunia, namun jauh lebih dashyat. Mengapa? Karena Jesse adalah seorang tokoh spiritual yang sekaligus pendeta, politikus, dan pejuang HAM Kristen yang saat berselingkuh juga menjadi menjadi konselor bagi Clinton.

Kekagetan publik yang dipersonifikasikan melalui para professional press via media bergengsi spt CNN, CNBC, dan Time, lalu berubah menjadi polemik klasik tentang integritas: Apakah di jaman sekarang ini masih diperlukan konsistensi antara private and public life? Lebih konkrit lagi, masih relevankah konsistensi antara perkataan dan perbuatan khususnya bagi seorang pemimpin. Pertanyaan sentral yang kembali di-entertain adalah: "Does it matter?"

Di balik pertanyaan tersebut, terbersit sebuah kefrustasian. Dunia tampak semakin putus asa mencari seorang role model yang riil untuk diteladani publik. Dan sejarah membuktikan bahwa gereja (tubuh Kristus) yang seharusnya ditetapkan Allah untuk menjadi teladan hidup sebagai garam dan terang telah berkali-kali gagal.

Dunia terus mencari orang yang mampu berkata seperti rasul Paulus, "Ikutlah aku, sama seperti aku mengikut Kristus" (I Kor 11:1)

Karakteristik utama seorang yang berintegritas terletak pada keutuhan hidupnya, yaitu konsistensi dalam perbuatan dan perkataan

Integritas didefinisikan oleh kamus sebagai "wholeness, completeness, entirety, unified". Keutuhan yang dimaksud adalah keutuhan dalam seluruh aspek hidup, khususnya antara perkataan dan perbuatan. Integritas berarti, "the condition of having no part taken away" atau "the character of uncorrupted virtue."

Yakobus memberi definisi yang senada dgn ini: orang yang ber-integritas adalah orang yang "mature and complete, not lacking anything" (Yak 1:4). Imannya dan perbuatannya menyatu. Bahkan dari perbuatannya, orang melihat imannya (Yak 2:8).

Integritas berbeda dengan image. Image adalah apa orang pikir tentang siapa kita. Image adalah persepsi. Integritas adalah siapa kita sesungguhnya. Saat seorang memfokuskan perhatian dan upayanya untuk memproyeksikan sebuah image yang palsu tentang dirinya kepada orang lain, orang tersebut memiliki resiko yang tinggi untuk kehilangan kredibilitasnya.

Dalam bahasa IT, konsistensi perkataan-perbuatan tersebut disebut sebagai prinsip WYSIWYG (what-you-see-is-what-you-get). Saat orang melihat adanya inkonsistensi kedua hal tersebut pada seorang pemimpin, yang mereka lihat tidak lain adalah seorang munafik. Serigala berbulu domba.

Seringkali kita menggunakan kata 'integritas', 'etika', dan 'moralitas' secara bergantian untuk me-refer ke maksud yang sama. Adakah perbedaan antara ketiga hal tersebut? Tentu ada.

Secara sederhana, etika adalah standar tentang mana yang benar dan salah, baik dan jahat. Apa yang kita pikir benar dan baik, itulah etika kita. Pakar management Chris Argyris menyebutnya sebagai 'espoused theory'. Sedangkan moralitas adalah tindakan aktual tentang hal yang benar dan salah, baik dan jahat. Oleh Chris disebut juga sebagai 'theory-in-use'. Jadi kalau etika ada di level teoretika, maka moralitas ada di level praktika. Integritas sendiri adalah integrasi antara etika dan moralitas. Semakin terintegrasi, semakin tinggi level integritas yang ada.

Jika seorang pemimpin menganggap bahwa memanipulasi orang itu itu sah-sah saja, lalu dia mengeksploitasi orang-orang yang bekerja dan melayani bersamanya, berarti pemimpin tersebut tidak etis dan imoral. Namun paling tidak, dia masih memiliki integritas, meskipun dalam konotasi negatif. Karena konsep dan aksinya selaras.

Jika pemimpin kedua berkata bahwa memanipulasi orang itu salah, tapi dia lalu mengeksploitasi orang disekitarnya, pemimpin ini jelas tidak memiliki integritas. Ada gap antara konsep dan aksinya.

Mana yang lebih baik, pemimpin pertama atau kedua? Barangkali pemimpin pertama, paling tidak secara teoritis. Sebagaimana sejarah membuktikan, orang seperti Hitler dan Stalin yang etikanya amburadul pun (missal, genocide terhadap umat yang lebih inferior itu sah) memiliki banyak pengikut setia. Karena mereka konsisten, mereka berintegritas.

Yesus secara aktif mengutuk orang Farisi, karena mereka memiliki gap yang sangat besar antara etika dan moralitas. Kata 'munafik' dipakai sebanyak 6 kali dalam cercaan Yesus kepada mereka (Mat 23:13,15,23,25,27,29), setiap kali diawali dengan kalimat "Celakalah kamu!"

Orang Farisi hidupnya seperti perpetual fashion shows, penuh topeng dan sangat superficial. Yesus dengan keras memberitahukan murid-muridNya untuk selalu bersiaga terhadap para pemimpin palsu, bahkan memperingatkan mereka sendiri untuk tidak menjadi pemimpin palsu: "Don't be impressed with charisma; look for character. Who preachers are is the main thing, not what they say" (Mat 7:15; The Message).

Kita dapat memiliki integritas tanpa menjadi pemimpin. Namun kita tidak mungkin dapat menjadi pemimpin tanpa integritas. Apalagi menjadi pemimpin Kristen.

Sendjaya
Melbourne, 13 November 2002


KARAKTER KEPEMIMPINAN NASIONAL
( Seri : Pendidikan Politik Rakyat )
Oleh : Drs. Abdul Rahman Kadir, MM
“ Dengan emosinya yang buruk, setiap pemimpin menguras energi banyak orang lain dengan membuat mereka cemas, tertekan, atau marah “. Birgitta Wistrand.
“ Pemimpin positif, yang bisa menularkan suasana hati positif kepada kelompok “, J.M. George dan K. Bettenhausen.


I.PENDAHULUAN

Berbagai literatur dalam dan luar negeri, yang kuno maupun yang mutakhir, yang tradisional maupun modern, yang sederhana maupun yang canggih, mengajarkan kepada kita bahwa seorang pemimpin harus selalu memiliki kelebihan dan keunggulan dari pada rakyatnya. Berikut ini petikan pendapat para pakar negara kepemimpinan :
1.“ Pemimpin adalah pengaruh “. John Maxwell deskripsi satu kata, singkat dan sederhana, yang menempatkan kepemimpinan dalam jangkauan setiap orang. Kepemimpinan bukan jabatan, posisi, atau bagan alir ( Flowchart ). Kepemimpinan adalah suatu kehidupan yang mempengaruhi kehidupan lain.
2.“ Karakter adalah kekuasaan “. Booker T. Washington, yang harus dipelajari dalam pelajaran pertama adalah kepemimpinan berwawasan luas dibangun dari karakter yang hakiki. Infrastruktur karakter yang baik sangat penting untuk mendukung tingkah laku ( behavior ) yang baik. Kepercayaan dan keterlibatan pengikut akan parallel dengan level karakter kita ( pemimpin ).
3.“ Karakter adalah hasil pembiasaan dari sebuah gagasan dan perbuatan, Stephen R. Covey: “. Taburlah gagasan, tuailah perbuatan. Taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan. Taburlah kebiasaan, tuailah KARAKTER. Taburlah karakter, tuailah nasib “. The Seven Habits of Highly Effective People.
4.“ NASIB merupakan sisa dari rancangan”, Branch Rickey selanjutnya menyatakan : “Orang banyak membicarakan nasib bagus dan nasib jelek, jarang sekali keberhasilan ditentukan oleh PELUANG. Orang bilang; “ Nasib baik terjadi ketika peluang sesuai dengan persiapan “.
5.“ Gunakan kekuasaan untuk membantu orang. Kita diberi kekuasaan tidak untuk meraih tujuan pribadi, atau membuat pertunjukan terbesar di dunia, dan bukan untuk mendapatkan nama. Hanya ada satu kegunaan kekuasaan yakni membantu orang.” George Bush.




6.“ Sebagai aturan, ia yang punya INFORMASI terbanyak akan sukses paling gemilang dalam hidup “. Disraeli.
7.Pengembangan kepemimpinan adalah perjalanan sepanjang hidup, bukan kepergian singkat “. John Maxwell.
8.“ Jika pemimpin menunjukkan kecakapan, perhatian kepada orang lain secara TULUS, dan karakter yang terpuji, maka rakyat akan mengikuti.” T. Richard Chase.

II.KONDISI KEPEMIMPINAN NASIONAL SAAT INI

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan siapapun yang memainkan peran kekuasaan saat ini, melainkan sebagai sarana mawas diri guna perbaikan perilaku kepemimpinan nasional agar mampu membawa bangsa Indonesia kejaman baru yang penuh persaingan. Di bawah ini fenomena yang dapat ditangkap, dirasakan, dilihat dan didengar :
1.Terjadi degradasi perilaku kepemimpinan nasional, yang ditandai dengan maraknya ; saling hujat, saling fitnah, provokasi, agitasi para pengikutnya, pengingkaran kebenaran, saling jegal, menjadi pengadu domba, menjadikan massa pengikutnya setia sampai mati tanpa peduli kebenaran, keadilan dan budaya, pokoknya membalas lawan tanpa etika, menjadi pemimpin kharismatik yang memiliki pengikut fanatik.
2.Para pemimpin sebagian besar tidak mencegah pengikutnya melakukan pelanggaran : konstitusi, norma agama, adat, sosial dan etika profesi. Bahkan norma dan tata pergaulan dunia/keprotokolan diterjang tanpa malu.
3.Tidak peka ( sensitive ) terhadap aspirasi masyarakat, bahwa rakyat memerlukan ketenteraman, kenyamanan dan keadilan bukan wacana politik yang terus meruncing.
4.Tidak melakukan pendidikan politik bagi para pengikutnya, dibuktikan dengan pemahaman yang sempit terhadap keputusan politik seperti ; memorandum, penyelesaian GAM, OPM dll.
5.Setelah duduk diberbagai jabatan negara ternyata masih memposisikan diri sebagai utusan golongan, parpol dan kelompoknya, sehingga kepekaan rasa nasionalisme-nya tipis. Bahkan cenderung primodial, etnosentris dan tidak berusaha menjadi politikus maupun negarawan multicultural atau kosmopolitan.
6.Paradigma dan mind-set yang kolusif, nepotis dan koruptif semakin menjadi. Konon melebihi tindak penyimpangan di jaman ORBA yang dikecam dan dijadikan agenda reformasi untuk diberantas,
7.Keteladanan berperilaku ; ucapan, pernyataan, diplomasi dan penyelesaian masalah mendasar yang dihadapi bangsa kurang. Sense-of crisis hampir-hampir punah karena dominasi kepentingan ( interest ) pribadi, kelompok, partai dan golongan, bisnis dan rasis.
8.Tidak dapat membedakan tindakan tegas terhadap pelanggaran kedaulatan negara dengan tindakan pelanggaran HAM, adanya pro dan kontra penindakan terhadap pemberontak dan kaum separatis. Para pemimpin yang bertanggung jawab seolah tak perduli, tapi justru mengomentari bidang tugas pemimpin lain yang tak ada sangkut paut dengan kepemimpinannya.

9.Para pemimpin partai-partai, orsospol, LSM dan OKP, membungkus aktifitas politik dengan nuansa keagamaan yang cenderung memicu pertikaian antar etnik, antar sesama warga masyarakat, bahkan sesama penganut agama namun berbeda aliran politik. Dengan demikian rakyat awam sulit membedakan dengan akal rasionya mana kegiatan agama atau politik.
10.Keberagaman tingkat pendidikan formal, jurusan / profesionalisme dan legalisasi kerancuan profesionalitas dalam kepemimpinan negara ditingkat atas / Kabinet dengan mendudukkan menteri yang tak sesuai dengan bidang keahlian dan keprofesionalan. Ingat konstitusi mengharuskan berdirinya Kabinet Ahli bukan koalisi, aliansi ataupun pelangi, indikator kualitas perilaku kepemimpinan diatas membawa bangsa dan negara dalam krisis kepercayaan dan perangkap dunia ( global trap ) yang sangat parah, konon mendudukkan Indonesia diperingkat 130-an kualitas SDM di dunia.


III.AKTUALISASI KARAKTER KEPEMIMPINAN

1.Seraya menjalankan peranannya sebagai negarawan yang dipercaya oleh Rakyat melalui pemilu era reformasi yang semua pihak mengakui sebagai pemilu yang paling demokratis selama Indonesia merdeka, maka para negarawan harus dapat mengimplementasikan “Karakter kepemimpinan KONSTITUSIONAL“. Yakni suatu karakter kepemimpinan yang berdisiplin, demokratis, memiliki sifat hangat dalam bergaul tanpa meninggalkan etika berkomunikasi antarpersona. Suatu karakter kepemimpinan yang memiliki daya dorong bangkitnya INSPIRASI membentuk kerangka kerja pemerintahan yang memahami bahwa undang-undang harus jelas dan cukup spesifik untuk membantu terciptanya bentuk masyarakat yang ideal.
2.Dengan penuh keterbukaan pemimpin berprestasi menyalin komunikasi dua arah antar sesama pemimpin maupun dengan pengikutnya. Saat inilah pendidikan politik dapat diberikan kepada para pengikut. Seni dasar demokrasi dipersemaikan sejak dini oleh para pemimpin kepada para pengikutnya.
3.Pemimpin berkarakter tegas dalam menjalankan kewajiban kepemimpinannya., melakukan persuasi dalam membangun konsensus dengan seni mempengaruhi ( persuasif ). Mereka harus mampu memimpin orang untuk bekerja dengan cara yang tepat dan melakukan hal yang tepat.
4.Efek riak kepemimpinan merembet dan menular ke strata kepemimpinan yang dibawahnya, maka tidak heran bila para elite telah berhenti bertikai kata dan bersilaturahmi, ternyata dibawah dan daerah yang jauh dari rentang kendali organisasi pertikaian baru dimulai. Ini harus dicegah melalui pendidikan politik dengan keteladanan pemimpin yang bijak, mengendalikan lidah dan mulutnya.
5.Pemimpin berkarakter memiliki gaya emosi yang istimewa, senang bergaul, secara emosi lebih ekspresif dan dramatis, lebih hangat dan lebih sosial, bebas dari prasangka buruk terhadap lawan politik, lebih kooperatif, lebih menyenangkan, lebih apresiatif dan dapat dipercaya, bahkan lebih lembutdaripada pemimpin biasa.
6.Pemimpin yang berkarakter menonjol positif memiliki kemampuan visioner yang komprehensif terhadap pola-pola yang mencolok ditengah-tengah informasi yang Chaos (kacau dan membingungkan ), chaos yang tercipta secara otomatis akibat perbuatan buruk pemimpin dapat menimbulkan chaos baru yang lebih vandal dan vulgar.
7.Pemimpin berkarakter mampu memadukan realitas emosi dengan apa yang mereka lihat, sehingga dapat menghasilkan pengaruh yang mendalam bagi pengikutnya dan menjadikan visi yang mampu membangkitkan inspirasi (Bill Newman ; The Ten Laws of Leadership).
8.Pemimpin berkarakter terbaik memiliki ; “ Kecakapan yang dapat membangkitkan daya cipta orang lain, dan mengilhami mereka untuk bergerak kearah yang dikehendaki “, seperti dikatakan oleh Robert E. Kaplan dari Center for Creative Leadership.
9.Pemimpin berkarakter terbaik mampu mengalirkan Energi. Seperti Ronald Reagan yang dikenal sebagai, “ Komunikator Ulung “ selama masa kepresidenannya, ia adalah aktor professional. Daya emosi dalam karismanya menonjolkan kemampuan mempengaruhi pendengarnya dalam debat terbuka melawan Walter Mondale.
10.Sisi negatif pemimpin berkarakter kharismatik adalah mudahnya tersebar emosi kepada kelompok pengikut fanatiknya. Disini berlaku pepatah “ Ikan membusuk dari kepalanya dulu “. Perangai kasar, angkuh dan sembarangan akan mampu menjatuhkan moral kelompoknya. Birgitta Wistrand menyebutnya sebagai ; “ Ketidak mampuan menahan emosi “, ( emotional incontinence ), untuk menularnya emosi merusak yang datangnya dari atas kebawah.


CIRI – CIRI PEMIMPIN BERKARAKTER

Aktualisasi karakter kepemimpinan yang diharapkan bangsa dan negara adalah yang mampu mengantarkan anak bangsa dari ketergantungan (dependency) menuju kemerdekaan ( independency ), selanjutnya menuju kontinum maturasi diri yang komplit ke saling tergantungan
(interdependency), memerlukan pembiasaan melalui contoh keteladanan perilaku para elite politik yang bergerak di eksekutif, yudikatif dan legislatif dalam taman sari demokrasi yang kondusif. Habitat yang dapat dijadikan persemaian karakter pemimpin itu antara lain harus dapat menumbuh suburkan dan mengembangkan perilaku dan sifat-sifat seperti :

11.Kesadaran diri sendiri (self awareness) jujur terhadap diri sendiri dan terhadap oranglain, jujur terhadap kekuatan diri, kelemahan dan usaha yang tulus untuk memperbaikinya.
12.Dasarnya seseorang pemimpin cenderung memperlakukan orang lain dalam organisasi atas dasar persamaan derajad, tanpa harus menjilat keatas menyikut kesamping dan menindas ke bawah. Diingatkan oleh Deepak Sethi agar pemimpin berempati terhadap bawahannya secara tulus.
13.Memiliki rasa ingin tahu dan dapat didekati sehingga orang lain merasa aman dalam menyampaikan umpan balik dan gagasan-gagasan baru secara jujur, lugas dan penuh rasa hormat kepada pemimpinnya.
14.Bersikap transparan dan mampu menghormati pesaing ( lawan politik ) atau musuh, dan belajar dari mereka dalam situasi kepemimpinan ataupun kondisi bisnis pada umumnya.
15.Memiliki kecerdasan, cermat dan tangguh sehingga mampu bekerja secara professional keilmuan dalam jabatannya. Hasil pekerjaanya berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
16.Memiliki rasa kehormatan diri ( a sense of personal honour and personal dignity ) dan berdisiplin pribadi, sehingga mampu dan mempunyai rasa tanggungjawab pribadi atas perilaku pribadinya. Tidak seperti saat ini para pemimpin saling lempar ucapan pedas terhadap rekan sejawatnya yang berbeda aliran politiknya.
17.Memiliki kemampuan berkomunikasi, semangat “ team work “, kreatif, percaya diri, inovatif dan mobilitas.

PENUTUP

18.Kepemimpinan berkarakter ataupun karakter kepemimpinan merupakan hasil karya pendidikan, pelatihan, talentscouting dan pembiasaan, yang dipadukan dengan sinergi pembelajaran sepanjang hayat, diperkuat oleh daya nalar dan kecerdasan akal budi serta kecerdasan spritual, seraya menyelaraskan dengan irama kehidupan yang sedang berkembang dan berubah cepat tak menentu.
19.Dengan pemahaman sederhana sesungguhnya pembentukan karakter seseorang menjadi tanggung jawab semua pihak. Karenanya pemerintah, legislatif dan yudikatif bersama rakyat wajib menyediakan persemaan yang subur untuk pengembangan “ Karakter kepemimpinan – pemimpin yang berkarakter “.
20.Tulisan ini diilhami nasehat bijak Lee Iacocca ; “ Anda punya gagasan cemerlang. Namun jika anda tidak dapat menyampaikan gagasan, gagasan anda tidak akan beranjak kemana pun “. Semoga gagasan sederhana diatas mendapat tempat dihati para pembaca, manakala juga merasa perihatin yang mendalam terhadap segala peristiwa kemasyarakatan, ekonomi, keamanan dan kesejahteraan yang tak kunjung selesai di negara kita. Mari introspeksi dan bangkit maju.
21.Bersama Pauline H. Peters marilah kita berdoa : “Ya Tuhan, ketika aku salah, beri aku KEKUATAN untuk untuk mengubah; ketika aku benar, permudahlah hidup dengan kebenaran itu. Perteguhlah aku bahwa KEKUASAAN yang ditunjukkan dengan CONTOH PERILAKU akan jauh berdampak lebih mengesankan daripada OTORITAS JABATAN, Amin! “


Medan, 30 Maret 2001



Drs. A.R. Kadir, MM
Alamat : Pemerhati Komunikasi Politik
Jl. Adinegoro No. 14 dan Irama Kehidupan
Medan ( 20235 ) Mantan Ka.Kanwil Deppen SU
E. mail: ark_infokom @ plasa.com