Launching

Launching

Minggu, 15 Februari 2009

SISTEM KEPEMIMPINAN PRIA BERWIBAWA ORANG MAYBRAT






BILA INGIN MENGETAHUI LEBIH BANYAK LAGI
HUBUNGI SAYA DI
+62 85228949383 panggilan dlm negeri
01017 62 85228949383 panggilan dari luar negeri
e-mail: Plato_ayamaru@yahoo.com
www.hamah.socialgo.com
www.dada.net/sauf/
http://juanfranklinsagrim.blogspot.com



SISTEM KEPEMIMPINAN PRIA BERWIBAWA ORANG MAYBRAT

A. KONSEP PRIA BERWIBAWA

I.1. asal-usul perkembangan konsep

Konsep pria berwibawa atau Big Man yang di gunakan oleh para ahli antropologi untuk menamakan para pemimpin politik tradisional di daerah – daerah kebudayaan Oseania, khususnya di Melanesia, sesungguhnya berasal dari terjemahan bebas terhadap istilah-istilah lokal yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menamakan orang-orang penting dalam masyarakatnya sendiri. Karangan yang membahas sejarah pemakaian konsep tersebut, di tulis oleh L. Lindstrom (1981:900-905), menunjukkan bahwa sejarah perkembangan kata Big Man dari vokabuleri sehari-hari menjadi konsep ilmiah mengalami suatu peoses yang lama. Selama abad ke-19 dan sampai pertengahan abad ke-20, para peneliti di daerah kepulauan Melanesia selalu menggunakan konsep chief, penghulu atau kepala suku, untuk menamakan para pemimpin pada masyarakat yang mereka deskripsikan.

Konsep chief itu kemudian tidak digunakan lagi oleh karena makna yang terkandung di dalam konsep tersebut tidak tercermin dalam system kepemimpinan banyak masyarakat di Melanesia dan di gantikan dengan berbagai konsep lain, misalnya influential man (Powdermarker 1944:41), Head Man (Williams 1936:236; Hogbin 1952: Index; 1964:62; Belshaw 1954: 108; Pospisil 1963:48), Center Man (Hogbin 1939:62), strong Man (Bendt 1969:335; Du Toit 1975:385), manager (Burridge 1969:38, 1975; Scheffler 1965:22), magnate (Chowing and Goodenough 1965-66:454), Direktor atau executive (Salisbury 1964:236), dan tentusaja big man. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, terjadi persaingan antara istilah-istilah tersebut untuk mendapat tempat dalam khazanah istilah ahli antropologi dan dalam situasi persaingan itulah lambat laun muncul istilah big man sebagai konsep tipikal antropologi yang diterima secara luas untuk menandakan suatu tipe atau system kepemimpinan yang cirri-ciri dasarnya berlawanan dengan cirri-ciri dasar pada system kepemimpinan chief.

Konsep big man sendiri sebenarnya sudah digunakan lama sebelumnya, misalnya oleh M. Mead, dalam karyanya, sex and Temperament in Three Primitive Societies (1935:326), namun peralihannya dari bahasa umum (common parlance) menjadi bahasa antropologi sangat lamban. Konsep tersebut baru menjadi konsep resmi dan dimuat dalam lexikon antropologi melalui karya M.D. Sahlins, yang terkenal dan selalu dikutip itu, “Por Man, Rich Man, Big Man, Chief” (1963) dan kemudian diperkuat oleh K. Burridge, melalui karyanya, “The Melanesian Manager”, yang dipersembahkan untuk mengenang seorang tokoh antropologi politik E.E. Evans-Pritchard (1975:86-104).

I.2. Ciri-ciri Pria Berwibawa

Konsep Big Man atau pria berwibawa, digunakan untuk satu bentuk tipe kepemimpinan politik yang diciri oleh kewibawaan (authority) atas dasar kemampuan pribadi seseorang untuk mengalokasi dan merealokasi sumber – sumber daya yang penting untuk umum (Sahlins 1963; Claessen 1984 dalam Van Bakel et al; 1986:1). Sifat pencapaian demikian menyebabkan adanya pendapat bahwa ciri terpenting dari seseorang yang menjadi Big Man adalah seseorang yang dengan kecakapannya memanipulasi orang-orang dengan sifat pencapaian (achievement) system ini merupakan ciri ketidak stabilannya, seperti yang selalu dikhawatirkan apakah berasal dari dalam atau luar (Van Bakel et al. 1986:3). Implikasi ketidak stabilan system yang didasarkan pada prinsip pencapaian ini yang dikemukakan oleh Van Bakel et al. ialah terbukanya kesempatan yang samabagi setiap anggota masyarakat, terutama kaum pria yang sudah dewasa menurut ukuran masyarakat yang bersangkutan, untuk bersaing merebut kedudukan pemimpin. Pria berwibawa merupakan mikrokosmos dari masyarakatnya dan oleh karena itu status pria berwibawa menjadi pokok perhatian dari setiap orang dalam masyarakat.

Menurut A. stratheren (1979:214) ada dua arena yang digunakan untuk merebut kedudukan pria berwibawa. Dua arena itu adalah hubungan intern dan hubungan eksteren. Hal yang dimaksudkan dengan hubungan interen adalah usaha seseorang untuk memperoleh dan meningkatkan pengaruh serta keunggulannya di dalam klen sendiri. Sedangkan hubungan eksteren diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk menjalani hubungan dengan pihak-pihak luar yang terdiri dari sekutu,bekas musuh dan hubungan antara pria berwibawa. Pada umumnya individu – individu yang berhasil di dua arena tersebut diakui sebagai pria berwibawa utama dan yang dapt menduduki posisi superior untuk bertahun-tahun lamanya.

Cirri umum lain yang biasanya digunakan untuk membedakan system politik pria berwibawa dari system-sistem politik yang lain adalah bahwa pada system pria berwibawa tidak terdapat organisasi kerja dengan pembagian tugas di antara para pembantu pemimpin. Bahwa penduduk di Melanesia terbentuk dari kesatuan-kesatuan social itu secara politik maupun ekonomi berdiri sendiri-sendiri. Kondisi semacam itu, menurut K.E. Read (1959:425), rupanya tidak memberikan peluang bagi tumbuhnya prinsip birokrasi pada system pria berwibawa di Melanesia.

Ciri – ciri kepemimpinan pada system pria berwibawa seperti tersebut diatas menyebabkan S. Epstein, menamakan orang yang berhasil untuk masuk dan berperan sebagai pemimpin dalam arena kepemimpinan pria berwibawa, “a well-rounded political expertise man” atau ahli politik sejati (1972:42) dan D. Riesman, (1950) serta K.E. Read (1959:425), menamakan orang demikian autonomous leader atau pemimpin tunggal.

Telah dikemukakan di atas bahwa prinsip dasar dari system pria berwibawa adalah achievement berdasarkan kwalitas kemampuan perorangan. Studi – studi etnografi tentang pria berwibawa menunjukkan bahwa atribut-atribut yang digunakan sebagai tolok ukur untuk mengukur kemampuan seseorang agar menjadi pemimpin, menurut kebanyakan penulis dan seperti yang disimpulkan oleh A. Chowing (1979:71), adalah kekayaan, suatu wujud nyata kemampuan di bidang ekonomi. Sungguhpun kekayaan merupakan atribut yang sangat penting, namun kedudukan pemimpin tidak dapat dicapai melalui kekayaan saja. Atribut lain yang harus dimiliki pula ialah sikap bermurah hati. Sikap tersebut harus dinyatakan melalui tindakan nyata, seperti misalnya membagi-bagi kekayaan kepada orang lain (redisitribusi), lewat sumbangan-sumbangan dan hadiah-hadiah pada saat adanya pesta perkawinan, upacara ritual atau pesta adat lainnya.

Perbuatan memberikan sumbangan atau hadiah kepada orang lain disebut oleh M. Mauss, adalah gift. Gift atau pemberian itu secara tidak langsung membentuk suatu ikatan antara dua pihak, ialah pihak peberi dan pihak penerima. Mauss, selanjutnya berpendapat bahwa pemberian itu mengandung apa yang disebut olehnya sendiri total prestation (1924:227). Hal yang dimaksud Mauss, dengan total ptestation, adalah bahwa selain bentuk nyata dari benda (objek) yang diberikan, terkandung pula di dalamnya unsure-unsur lain berupa unsur ekonomi, unsur religi, unsur hokum, unsur keindahan dan unsur politik. Secara keseluruhan semuanya itu membentuk kekuatan pengikat dan sekaligus merupakan kekuatan pendorong bagi pihak penerima untuk melakukan sesuatu kembali secara langsing atau tidak langsung dalam bentuk benda atau jasa kepada pihak pemberi.

Dilihat dari segi politik, pemberian dalam bentuk apapun merupakan modal bagi pihak pemberi untuk meningkatkan pendukung, supporters, guna mencapai tujuan politiknya. Makin banyak orang yang diberikan hadiah dan makin banyak yang mendapat bantuan, semakin kuat pula kedudukan politik pihak pemberi. Pemberian yang digunakan untuk kepentingan politik tertentu itulah yang menyebabkan F.G. Bailey (1971) menamakan pemberian sebagai “racun” bagi pihak penerima dan J. Van Baal, mengkontatir pemberian sebagai sesuatu yang kadang-kadang berbahaya bagi masyarakat (1975:23).

Perbuatan memberikan terus menerus hadiah atau sumbangan secara sepihak dapat menyebabkan terbentuknya suatu hubungan ketergantungan yang bersifat asymetrik, menyerupai hubungan patron-klien, dimana pihak pemberi berperan sebagai patron, sedangkan pihak penerima adalah kliennya.

Dalam system kepemimpinan pria berwibawa, hubungan semacam ini sangat penting, sebab seorang pria berwibawa dapat memanipulai kekayaan dan keunggulan-keunggulan lain yang dimilikinya untuk memperoleh dukungan dan simpati dari para peneima bantuan. Kekayaan dalam system kepemimpinan pria berwibawa sekaligus mempunyai nilai sibolik dan nilai nyata. Nilai sibolik melambangkan kekuasaan yang terkandung di dalamnya dan nilai nyata mengacu pada benda atau harta itu sendiri. Itulah sebabnya kekayaan digunakan sebagai alat pengabsahan kekuasaan (Cohrance 1970:5).

Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin pria berwibawa agar para pendukung setia kepadanya menurut Sahlins (1968:164), ialah bahwa ia harus menunjukkan kecakapan-kecakapan tertentu, misalnya pandai bertani, panda berburu, pandai berdiplomasi dan panda berpidato, memiliki kekuatan magis, panda memimpin upacara-upacara ritual dan berani memimpin perang.

Berbagai atribut yang diberikan kepada seorang pria berwibawa seperti tersebut diatas seringkali menyebabkan adanya kesamaan umum, seolah-oalah seorang big man harus memiliki semua atribut tersebut. Banyak contoh etnografi menunjukkan pula bahwa tidak mutlak semua atribut tersebut harus dimiliki oleh seseorang agar menjadi pemimpin di dalam system pria berwibawa. Di samping itu, data etnografi menunjukkan pula bahwa ada perbedaan penekanan pada atribut-atribut tertentu yang dianggap penting antara masyarakat satu dan masyarakat yang lain. Dengan perkataan lain ada perbedaan dalam tata urut hierarkis dari atribut-atribut tersebut, misalnya dalam masyarakat A atribut X menduduki tempat pertama dalam urutan hierarkis sedangkan dalam masyarakat B bukan atribut X tetapi atribut Y yang paling penting.

Demikian secara empiris, unsur-unsur yang merupakan atribut bagi pemimpin pria berwibawa itu berkaitan sangat erat satu sama lain sehingga sulit untuk dipisah-pisahkan, namun secara analisis pembagian berdasarkan urutan pentingnya atribut-atribut itu dapat dilakukan. Menurut hemat kami, pembagian tersebut penting, sebab memberikan pengertian yang lebih tajan tentang corak-corak khas dalam system kepemimpinan pria berwibawa. Sepanjang pengetahuan penulis, hal ini belum perna dilakukan oleh para ahli antropologi sehingga timbul pendapat bahwa tipe kepemimpinan pria berwibawa itu sama dalam masyarakat yang berbeda-beda. Pendapat demikian tentu saja selain mengaburkan pengetahuan kita tentang system kepemimpinan tersebut, juga menyebabkan tumbuhnya sikap “sudah tahu” pada diri kita dan menyebabkan kita tidak berminat untuk mencari lebih jauh tentang mekanisme-mekanisme yang mendasarinya. Sebaliknya jika kita membuat suatu para digma tentang sifat-sifat yang merupakan sifat pokok pada masyarakat-masyarakat yang berbeda, maka akan terbukalah perspektif baru bagi kita untuk bertanya apa yang menjadi dasar persamaan atau perbedaan itu dan sekaligus kita berusaha untuk mncari jawabannya.

I.3. Tipe-tipe Pemimpin Pria Berwibawa.

Betolak dari dasar pemikiran tersebut diatas dan atas dasar pengamatan penulis sendri di lapangan maupun kajian-kajian sendii mengena studi tentang kerangan-karangan etnografi yang membicarakan sistem kepemimpinan pria berwibawa di Wes Papua, maka sistem kepemimpinan ini dapat dibagi menurut dua bentuk. Bentuk pertama adalah pemimpin yang di dasarkan atas kekayaan harta, pemimpinnya disebut pemimpin pandai berwiraswasta, dan bentuk kedua adalah kepemimpinan yang didasarkan atas keberanian memimpin perang, pemimpinnya disebut pemimpin perang.

I.3.1. Pemimpin Pria Berwibawa berdasarkan kemampuan berwiraswasta.

Sub-bab ini diberi judul demikian berdasarkan dua alasan. Alasan pertama ialah alasan yang didasarkan atas pendapat sejumlah ahli antropologi, sedangkan alasan kedua didasarkan atas pendangan pendukung sistem kepemimpinan tersebut itu sendiri.

Alasan pertama, pendapat dari pihak ahli antropologi, contohnya, berasal dari F. Barth (1963:6) yang berpendapat, bahwa tindakan-tindakan seorang pemimpin pria berwibawa dapat disamakan dengan seorang enterpreneur atau sorang wiraswasta. Seorang pria berwibawa dapat mengakumulasi sumber-sumber daya tertentu dan memanipulasi orang-orang utnuk mencapai tujuannya. Menurut Barth, tujuan di sini dapat berupa kekayaan, kedudukan, dan prestise. Pendapat lain berasal dari Thoden Van Velsen. Menurut ahli ini, sifat interaksi antara para pemimpin pria berwibawa adalah sama dengan interaksi antara para pengusaha, sebab sering terjadi tawar-menawar antara mereka bahkan kadang-kadang mereka sengaja untuk saling mengalahkan atau menghancurkan midal pihak lawannya. Interaksi tersebut menentukan struktur dari pollitical field (Thoden van Velsen 1973:597). Pollitical field di sini adalah para pemeran yang secara langsung terlibat di dalam proses politik.

Kecuali dua pendapat tersebut, terdapat pula beberapa pendapat lain yang berasal dari ahli-ahli antropologi yang secara langsung melakukan penelitian di derah kebudayaan Melanesia. Tempat terdapatnya sistem pemimpin pria berwibawa. Pada umumnya para peneliti itu menyamakan seorang pria berwibawa dengan seorang pengusaha wiraswasta (lihatlah misalnya karangan-karangan dari strathern 1974:255; Burrigde, 1975:86; Sheffler 1965:22; Elmberg 1968; Pouwer 1957).

Selanjutnya dibawah ini saya muat dua buah contoh alasan berdasarkan pendapat masyarakat pendukung sistem itu sendiri. Contoh pertama berasal dari orang Me (Kapauku).¹ dalam studinya tentang orang Me (Kapauku), L. Pospisil mencatat kata-kata yang diucapkan oleh para informannya terhadap seorang warganya yang mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin pria berwibawa, tetapi tidak berhasil, sebagai berikut: ”dia adalah salah satu dari orang-orang bodoh yang tidak mengerti urusan dagang, sebab ia dapat menjadi tonowoi, pemimpin, tetapi karena ketolololannya ia tidak meningkatkan kekayaannya melainkan ia memboroskannya” (1958:79).

Contoh kedua berasal dari orang Maybrat. Seorang informan dari J. Pouwer mengatakan bahwa seorang yang dapat menjadi pemimpin politik pada orang maybrat adalah orang yang pandai berdagang. Ucapan di atas ini kemudian dilukiskan dengan contoh berikut: ”dia menjual sauger (tuak)-nya dengan harga setalen, uang setalen itu diberikan kepada ipar-ipar-nya. Ia menerima kembali dari ipar-nya dua talen (50 sen). Uang 50 sen itu diberikan kepada ipar-nya yang lain. Darinya ia menerima ”

__________________________________________

¹Nama Me adalah nama yang sekarang di pakai untuk menggantikan nama kapauku yang digunakan oleh Leopold Pospisil, untuk menamakan golongan etnik yang mendiami di sekitar danau Paniai. Nama kapauku yang telah di kenal secara luas di kalangan ilmuwan lewat karangan Pospisil itu tidak di sukai oleh penduduk Me sendiri. Perasaan tidak suka pada nama Kapauku dinyatakan secara langsung dan tidak langsung melalui berbagai media dan kesempatan antara lain dalam seminar pemerintahan Desa di West Papua, yang diselenggarakan pada tahun 1986 di holandia (sekarang Jayapura). Penduduk sekitar danau paniai lebih senang menggunakan nama Me yang berarti manusia sejati untuk menamakan golongan etnik mereka. Itulah sebabnya dalam karangan ini penulis menggunakan nama Me sebagai pengganti nama Kapauku (lihat makalah sdr. R. Gobay, 1986). Penjelasan lebih lanjut lihat butir 3 bab III di bawah. ²istilah ipar adalah sebutan saudara laki2 isteri. Pemakaian istilah tersebut kadang digunakan juga untuk semua kerabat dari pihak isteri pada generasi Ego.


Kembali satu rupiah. Demikian uang setalen itu berdar terus sampai mencapai 25 rupiah. Jika ada orang yang berhasil seperti ini, maka ia dapat di sebut bobot, ”pemimpin” (Pouwer 1957:312).

Lebih lanjut sikap mencari keuntungan yang biasanya terdapat pada seorang pengusaha pada umumnya, dikenal juga oleh orang maybrat seperti yang terungkap di dalam kata-kata berikut: ”seorang pemimpin adalah orang yang pandai memperlakukan barang dagangan, dalam hal ini kain timur jenis ru-ra, seperti burung yang terbang dai dahan ke dahan untuk membawa keuntungan” (Elmberg 1968; Kamma 1970; Schoorl 1979:178, 208; Miedema 1986:31).

Contoh-contoh diatas kiranya cukup memberikan penjelasan mengapa saya menyamakan seorang pemimpin politik pria berwibawa ata big man dengan seorang yang mempunyai keterampilan berwiraswasta.

Deskripsi-deskripsi tentang orang Maybrat, orang Me dan orang Muyu di bawah memberikan penjelasan yang lebih terinci tentang seorang pemimpin yang menggunakan kekayaan sebagai sumber kekuasaannya.

I.3.2. pemimpin pria berwibawa berdasarkan kemampuan memimpin perang

Sub-sub ini diberi judul demikian karena pada kelompok-kelompok etnik tertentu di west Papua yang mendukung sistem politik pria berwibawa aktivitas perang³ meupakan fokus kebudayaannya sehingga selalu dibutuhkan orang-orang tertentu yang memiliki keberanian untuk menjadi pemimpin masyarakat. Sifat berani ini mengandung dua unsur agresif dan unsur orator. Kedua unsur tersebut berkaitan erat satu dengan yang lain.

Unsur agresif terwujud dalam bentuk pernah membunuh orang lain, biasanya dari pihak musuh pada waktu perang, atau pada waktu ekspedisi pengayauan kepala manusia. Kadang-kadang terjadi juga bahwa tindakan membunuh terjadi di dalam kelompok sendiri. Kecuali unsur agresif, unsur orator atau pandai berpidato adalah juga merupakan syarat penting.

Seorang pemimpin pada masyarakat yang berkebudayaan perang, harus memiliki pengetahuan dalam berbagai hal yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk disampaikan dalam pidato-
______________________________________
³
. Istilah perang disini diartikan menurut definisi yang dikemukakan oleh R. Berndt (1962:232), yang berarti tindakan kekerasan berencana yang dilakukan oleh anggota-anggota dari suatu kelompok sosial tertentu atas nama kelompok sosialnya terhadap anggota-anggota dari kelompok sosial yang lain. Fokus kebudayaan adalah aspek tertentu di dalam suatu kebudayaan yang lebih jauh berkembang dari aspek-aspek lainnya dan yang banyak mempengaruhi pola kebudayaan atau struktur kebudayaan itu (Herskovits, 1948:542). Sifat agresif dapat ditunjukkan juga pada tindakan membunuh isteri atau saudara kandung sendiri seperti yang pernah terjadi pada orang Asmat (Mansoben, 1974:32).

Politik serta kadang-kadang sebagai pemimpin upacara-upacara keagamaan dibahas secara lebih luas pada sub-sub bab dibawah yang berjudul ”sistem kepemimpinan bobot”.

Orang-orang Eropa pertama mengunjungi daerah Maybrat, terdiri dari suatu tim ekspedisi pemetaan Belanda pada tahun 1908. walaupun sudah ada kontak pada waktu itu, namun Pemerintahan Belanda baru melaksanakan pemerintahan administratifnya atas daerah itu pada tahun 1924. sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1934, terbentuklah kampung-kampung pertama yang secara permanen didiami oleh orang Maybrat atas usaha Pemerintahan Belanda. Sebelumnya itu, orang Maybrat hidup secara terpencar dalam kelompok-kelompok kekerabatan kecil dan sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya mengikuti pola perladangan mereka yang berpindah-pindah.

Pada tahun 1935, dibuka pusat pemerintahan Belanda yang pertama di Aitinyo dan di sekitar pusat pemerintahan tersebut, dibentuk beberapa kampung. Pembentukkan kampung-kampung di sekitar danau, terjadi pada tahun 1950, dan tiga tahun kemudian (1953) kampung-kampung terbesar diantara kampung-kampung yang telah dibentuk itu mendapat guru dan sekolah.





Tidak ada komentar: