Launching

Launching

Selasa, 28 April 2009

DISKRIMINATION AND CHASE OF PAPUA REALITY

SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL DI PAPUA
“Menguak Tabir Diskriminasi Rasial dan Impunity di Papua”

REALITAS POLITIK DISKRIMINASI RASIAL TERHADAP ORANG PAPUA
MATERI KONFERENSI ASIA AFRIKA

DI SAMPAIKAN PADA TANGGAL 30 APRIL 2009
DALAM KONFERENSI ASIA AFRIKA DI UII JAKARTA

OLEH
SAGRIM FRANK HAMAH
(Peneliti Lepas)

Tematik issu :
1) Kerangka Hukum
2) Impunity, yaitu kasus Peristiwa konflik antar suku dan etnis
3) Diskriminasi terhadap etnis papua, dalam hal ini tentang KTP, terutama mengurus KTP di Jogjakarta, tidak diberikan.
4) Diskriminasi terhadap etnis Papua, dalam hal ini tentang SDM, dianggap ketinggalan.
5) Diskriminasi terhadap Masyarakat Adat.
6) Tindakan Pembatasan terhadap etnis; Religius Etnik.
7) Pengabaian hak-hak Idps korban konflik etnis
8) Diskriminasi rasial di Papua

A. Diskriminasi secara kultural merupakan fenomena sosial yang terjadi di belahan bumi manapun di dunia, namun kemudian suatu negara melakukan diskriminasi terhadap warga negaranya/individu di wilayahanya berdasarkan kebijakan-kebijakan merupakan pengingkaran atas harkat-harkat kemanusiaan yang sulit untuk ditolerir. Apalagi dalam konteks Indonesia yang konstitusinya mendasarkan diri kepada negara hukum (rechtstaat).

B. Diskriminasi rasial merupakan politik diskriminasi yang sudah berlangsung sejak lama di Papua, bahkan jauh lebih tua dari umur masuknya Papua kedalam NKRI. Politik diskriminasi rasial berakar dan mulai diterapkan sejak jaman penjajahan Belanda dengan kebijakan segregasi rasialnya sebagai salah satu contohnya adalah pembatasan terhadap kelompok untuk mendapat pendidikan.

C. Diskriminasi rasial di Indonesia juga dilegitimasi oleh adanya konflik hukum (conflict of laws), yaitu berbagai pertentangan di dalam konstitusi (pertentangan antar pasal), pertentangan antar Undang-undang, dan pertentangan di dalam hirarki pertauran hukum dan perundang-undangan yang lain. Konflik hukum justru menjadi celah bagi terobosan berbagai kepentingan untuk melakukan tindakan diskriminatif secara lebih luas.

D. Kebijakan politik rasial tersebut yang kemudian dieskalasi dengan kegagalan negara untuk membangun kesejahteraan sosial, yang pada akhirnya banyak mengakibatkan berbagai tindak-tindak rasialisme yang bermuara kepada kekerasan terhadap kelompok etnis Papua yang dilakukan secara sistematis, seperti Represifitas Militer terhadap rakyat Papua, pembunuhan pembunuhan secara brutal, Negara tidak mampu memberikan perlindungan bahkan keadilan/pemulihan kepada korban-korban di Papua.

E. Tidak saja dalam konteks etnis Papua, kebijakan diskriminasi juga dialami oleh masyarakat adat yang selama ini terampas hak-hak adatnya, antara lain hak atas tanah ulayatnya, hak atas pengelolaan sumberdaya alam, dan hak mereka untuk mendapatkan hak-hak sipil dan politik.

F. Pembatasan terhadap kebebasan berkeyakinan mengakibatkan pengingkaran atas hak-hak sipil mereka sebagai warga negara, misalnya hak untuk membentuk keluarga dan mempunyai keturunan lebih banyak seperti yang dialami oleh masyarakat atau komunitas etnik yang dibatasi dengan keberhasilan pemerintah dalam menerapkan penggunaan KB.
G. Selama periode sebelum 1998, tidak ada upaya negara untuk melakukan penghapusan diskriminasi rasial, bahkan tidak jarang fakta-fakta diskriminasi tersebut tidak diakui sebagai diskriminasi. Kemudian baru pada tahun 1999, setelah terjadi reformasi dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, negara Republik Indonesia meratifikasi International Convention on Elimination of All Forms Racial Discrimination pada tahun 1999, karena desakan komunitas Internasional.

E. Sampai saat ini kebijakan penghapusan rasial belum sepenuhnya dilaksanakan. Misalnya berbagai kasus diskriminasi rasial masih terjadi di Papua, dan negara belum melakukan perlindungan yang efektif atau pemidanaan atas diskriminasi rasial tersebut sekalipun itu dilakukan oleh aparat negara. Bahkan upaya hukum tersebut belum tercermin dengan masih berlakunya berbagai peraturan perundangan lainnya yang diskriminatif.



ISU TEMATIK

A. KERANGKA HUKUM
1. Di Indonesia, masih terdapat hukum yang diskriminatif dan bertentangan dengan konvensi ICERD. Hal ini disebabkan oleh adanya konflik hukum (conflict of laws), yaitu pertentangan di dalam konstitusi (UUD 1945), pertentangan antar Undang-undang (UU), dan pertentangan di dalam hierarki peraturan hukum dan perundang-undangan, seperti antara Peraturan Daerah (Perda) dengan UU di atasnya atau UU dengan konstitusi. Misalnya seperti UU Pornografi yang bertentangan dengan BHINEKA TUNGGAL IKA, bahkan merupakan undang-undang diskriminasi terhadap budaya, dan adat istiadat daerah lain yang memiliki budaya bebas.

2 Konflik hukum terjadi disebabkan oleh adanya kepentingan para pembuat kebijakan, perspektif yang bias rasial (pengutamaan dan pembatasan), dan kepentingan dari kelompok modal.

3. Konflik hukum di dalam konstitusi muncul karena terjadi pertentangan antara pasal yang satu dengan pasal yang lain. Misalnya, Pasal 28i Ayat 2 UUD 1945 mengatakan: setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Pasal ini bertentangan dengan pasal 18b ayat 2 yang berbunyi negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Kalimat sepanjang………dan seterusnya dalam pasal 18b Ayat 2 tersebut justru mengancam eksistensi masyarakat adat yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan jaman.

5. Di tingkat daerah Papua muncul Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang disusun oleh Majelis Rakyat Papua, namun harus mendapat persetujuan Jakarta dengan syarat bahwa setiap pasal yang tidak sesuai harus dicoret. Hal ini mengakibatkan kewenangan daerah khusus dibatasi.


B. IMPUNITY DALAM KASUS DISKRIMINASI RASIAL DI PAPUA

1. Konflik Etnis di Sorong 2000 Konflik yang terjadi di sorong melibatkan etnis Papua dan Bugis makasar, dan sampai saat ini tidak tertangani dengan baik.
2. Penembakan secara brutal pada 31 desember 2008 di kabupaten sorong Selatan oleh aparat keamanan (TNI Polri), menewaskan Isak Lemauk, belum tertangani secara tuntas.
3. konflik etnis di Jayapura 1982, dengan kerugian sangat tinggi dalam sejarah pembangunan kota Jayapura, belum ditangani secara tuntas.
4. Konflik antara warga dan TNI polri di jayapura mengakibatkan Kampus Uncen dibongkar oleh aparat kepolisian pada 2009.

Penutup
Impunitas terjadi diakibatkan oleh beberapa hal, di antaranya: a) tidakadanya mekanisme yudisial maupun ekstra yudisial yang memadai untuk menghukum pelaku dan menghadirkan keadilan bagi korban; b) tidakadanya mekanisme truth seeking dan pembangunan rekonsiliasi dalam konflik etnis; c) tidakadanya mekanisme reparasi bagi korban; d) bahkan kejahatan yang berbasis rasial hanya dianggap sebagai kejahatan umum/biasa.

C. DISKRIMINASI NEGARA TERHADAP ETNIS PAPUA
Walaupun keberadaan etnis Papua di Indonesia sudah lama sejak pepera 1969, namun keberadaan mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia masih menyisakan banyak permasalahan diskriminasi rasial antara lain dalam hal perlakuan status derajat di Negara Republik Indonesia. Permasalahan sebagian etnis Papua yang diperlakukan sebagai yang terkebelakang (tanpa memberi kesamaan derajat).

Permasalahan Etnis Papua Yang Diperlakukan Sebagai Warga yang terkebelakang (tak berderajat)
Selain permasalahan ketidak samaan derajat, praktek diskriminasi rasial terhadap kelompok etnis Papua di Indonesia adalah permasalahan masih adanya kelompok etnis Papua yang diperlakukan sebagai orang takberderajat
D. DISKRIMINASI TERHADAP MASYARAKAT ADAT
General Recommendation No. 23: Indigenous Peoples : 18/08/97. Point 1 menyatakan bahwa “ In the practice of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination, in particular in the examination of reports of States parties under article 9 of the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, the situation of indigenous peoples has always been a matter of close attention and concern. In this respect, the Committee has consistently affirmed that discrimination against indigenous peoples falls under the scope of the Convention and that all appropriate means must be taken to combat and eliminate such discrimination”.
Dalam general recommnendation point 1 tersebut jelas menyatakan bahwa ‘...the situation of indigenous peoples has always been a matter of close attention and concern. In this respect, the Committee has consistently affirmed that discrimination against indigenous peoples falls under the scope of the Convention and that all appropriate means must be taken to combat and eliminate such discrimination”. Point ini mendasari bahwa persolan diskriminasi terhadap Masyarakat Adat juga dapat masuk dalam ruang lingkup ICERD.
Sebuah pertemuan di Tanah Toraja pada tahun 1993, mendefenisikan masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, budaya, sosial dan budaya sendiri. Kingsbury (1995:33) memberikan ciri kelompok-kelompok yang disebut sebagai kelompok masyarakat adat.
Salah satu ciri yang disebut adalah adanya keterkaitan yang panjang (lama) dengan wilayahnya. Selain ciri tersebut, kelompok-kelompok masyarakat adat dapat dikenali dari ciri-ciri seperti: adanya pertalian budaya yang dekat dengan suatu areal pertanahan atau teritori tertentu, keberlanjutan sejarah dengan penghuni-penghuni tanah sebelumnya, perbedaan-perbedaan sosio ekonomi dan sosio kultural dengan penduduk di sekitarnya, karakteristik bahasa, ras, kebudayaan materiil dan spiritual dan sebagainya yang berbeda, dan dianggap sebagai “indigenous” oleh penduduk sekitarnya.

Bentuk Diskriminasi Terhadap Masyarakat Adat di Papua
Dalam hal ini, bentuk diskriminasi rasial yang terjadi di Indonesia terjadi dalam 4 (empat) hal yaitu dalam kasus Perampasan Tanah/sumber daya alam, Kebijakan Pembangunan, Politik Pencitraan dan Diskriminasi akibat Regulasi Negara

• Perampasan Tanah dan Sumber Daya Alam: Awal Bencana bagi Masyarakat Adat di Papua
Secara umum, hak-hak masyarakat adat yang mendapat perlakuan diskriminastif adalah hak-hak yang berhubungan dengan tanah dan sumber daya alam yang merupakan wilayah adat. Sumbernya adalah penaifan keberadaan mereka yang menimbulkan pembatasan, dan pengecualian sehingga menimbulkan dampak pada rusaknya hak–hak mereka terutama berbasiskan pada identitas.
Dari ciri-ciri masyarakat adat di Papua, hubungan mereka dengan tanah dan wilayah adat merupakan kunci dari keutuhan mereka sebagai masyarakat adat. Hal itu dikarenakan tanah merupakan satu-satunya ruang yang merupakan tempat bagi masyarakat adat untuk mengekspresikan dirinya. Tanah bagi masyarakat adat selain merupakan ruang ekspresi yang menghubungkan mereka dengan keyakinan, sejarah, budaya dan bahasa, tanah juga merupakan satu-satunnya ruang yang dapat mereka pergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Secara umum juga, praktek yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak sesuai dengan General Recommendation point 5, “ The Committee especially calls upon States parties to recognize and protect the rights of indigenous peoples to own, develop, control and use their communal lands, territories and resources and, where they have been deprived of their lands and territories traditionally owned or otherwise inhabited or used without their free and informed consent, to take steps to return those lands and territories. Only when this is for factual reasons not possible, the right to restitution should be substituted by the right to just, fair and prompt compensation. Such compensation should as far as possible take the form of lands and territories.
Selanjutnya problematika yang dihadapi oleh masyarakat adat di Papua khususnya perampasan tanah dan sumber daya alam yang menimbulkan efek terancamnya identitas mereka. Hal ini juga bagian dari diskriminasi. Dalam konteks ini laporan merupakan alternatif memuat yang bagaimana kondisi masyarakat adat Papua yang mengalami tindakan diskriminasi yang pada akhirnya menimbulkan dampak terancamnya identitas mereka, terutama berbasiskan masalah perampasan tanah baik oleh negara mapun oleh perusahaan. Contohnya seperti penebangan hutan sagu di merauke yang dialihfungsikan menjadi sawah padi disertai dengan pengiriman transmigrasi dari pulau jawa.
Fakta yang dialami oleh masyarakat adat di Papua sangat memprihatinkan. Mereka secara sistematis terus menerus mengalami diskriminasi, terutama hilangnya akses mereka terhadap tanah dan sumber daya alam, yang berarti pembatasan dan pengrusakan terhadap ekspresi identitas masyarakat adat. Ini terjadi karena paradigma pengelolaan tanah dan sumber daya alam yang dikembangkan didasarkan pada konsep developmentalisme. Developmentalisme mensayaratkan adanya ketersediaan sumber daya alam. Untuk keperluan itu, negara mencaplok kepemilikan masyarakat adat atas Tanah Ulayat (pada umumnya, kepemilikan masyarakat adat didasarkan pada klaim historis). Hak Menguasai Negara (HMN) terhadap bumi, air, dan sumber daya alam lainnya, dimana pengelolaannya diserahkan pada sektor privat yang tentu saja mengutamakan keuntungan ekonomi pribadinya daripada kesejahteraan masyarakat. Dengan tafsir yang keliru tersebut, Negara menjadikan tanah-tanah ulayat masyarakat adat sebagai perkebunan skala besar yang kepemilikannya diserahkan pada kolaborasi pengusaha dan penguasa (pemerintah). Bahkan tanah ulayat masyarakat adat, yang beberapa diantaranya merupakan Hutan Lindung kemudian diberikan kepada sektor pertambangan swasta. Pengelolaan tanah dan sumber daya alam yang didasarkan pada paradigma developmentalisme di Indonesia, tak dapat dipungkiri telah mendiskriminasi masyarakat adat Papua dari hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam.

Stereotype
Yang dimaksud dengan stereotip di sini adalah sudut pandang yang di(re)produksi secara terus menerus untuk melihat dan mengkategori komunitas lain sebagai komunitas yang serba negatif, seperti tidak beradab, terbelakang, bandel, malas, pembangkang, tidak modern, dan sebagainya. Paska 1965, stereotip seperti ini semakin menguat, khususnya melalui berbagai sosialisasi pengetahuan tentang komunitas-komunitas yang dianggap membahayakan eksistensi kelompok mayoritas dan stabilitas nasional.

PENUTUP
Diskriminasi terhadap masyarakat adat di Papua timbul akibat kebijakan Negara maupun oleh perusahaan, terutama terkait pengusaan tanah dan sumber daya alam yang juga berimplikasi terhadap terlanggarnya hak – hak lain.


DISKRIMINASI RASIAL TERHADAP ETNIK Dan PENGABAIAN RELIGI ETNIK DI PAPUA

Selama ini kepercayaan-kepercayaan lokal yang biasanya dianut oleh kelompok etnis atau sub-etnis tertentu tidak pernah diakui keberadaannya oleh negara. Padahal jumlah mereka sangat besar, tersebar hampir di seluruh pelosok Nusantara, dengan aneka ragam kepercayaan dan praktik-praktik ritual yang mereka anut dan lakukan.
Apa yang disajikan dalam ringkasan laporan ini barulah sketsa beberapa kelompok yang cukup menonjol dalam memperjuangkan hak-hak mereka terhadap tindakan diskriminatif negara. Masih sangat banyak kelompok kepercayaan lokal yang berbasiskan etnis atau sub-etnis lainnya di Papua yang, sayangnya, belum memperoleh perhatian. Diharapkan dengan paparan ringkas dari beberapa kelompok di bawah ini dapat ditengarai pola-pola kebijakan diskriminatif yang telah menafikan hak-hak sipil dan politik mereka.

1. Pola Kebijakan Diskriminatif
Ada tiga pola kebijakan diskriminatif yang selama ini diderita oleh etnis Papua, khususnya menyangkut penafian kepercayaan lokal mereka oleh negara. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kebijakan diskriminatif yang dilakukan negara bersifat sistemik, menyeluruh dan konsisten diterapkan sejak zaman Orde Lama sampai sekarang, yaitu ;

1. Pola pemilahan antara agama yang diakui dengan yang tidak diakui.
2. Pola penafian hak-hak sipil.
3. Pola dimasukannya kepercayaan lokal sebagai bagian dari agama yang diakui negara.

2. Pola Pemilahan Antara Agama yang Diakui Dengan yang tidak Diakui Negara.
Sekalipun selama ini tidak ada perundang-undangan atau peraturan tentang pemilahan antara agama yang "diakui" dengan yang "tidak diakui" negara, akan tetapi pada praktiknya apa yang disebut sebagai “agama” hanyalah enam agama yang disebut Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu

G. Diskriminasi Rasial di Papua

Gambaran Umum
Tanah Papua luasnya mencapai 422.000 Km hampir mencapai seperempat luas wilayah daratan Indonesia (sekitar 1,9 Km2) dan kaya sumber daya alam, seperti minyak, gas, emas, tembaga, kayu, uranium dan ikan..
Penduduk Papua tergolong ras Negroit Melanesia berkulit hitam dan berambut keriting. Etnik Papua terbagi lagi dalam sub-sub budaya, masing-masing yang bahasanya mencakup 250 bahasa suku menurut catatan etnografi Koenjaraningrat, namun sebenarnya 264 bahasa suku fersi penelitian kami 2007.
Dahulu pulau Papua adalah sebuah daerah koloni dari kerajaan Belanda, yang kemudian diserahkan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui transfer administrasi dari kerajaan Belanda kepada Indonesia pada 1 Mei 1963, dan dipertegas lagi dalam sebuah jajak pendapat yang diprakarsai oleh PBB 1969 yang oleh rakyat Papua dianggap tidak adil dan tidak demokratis.
Catatan sejarah diskriminasi rasial di Papua sudah berlangsung lama bahkan sebelum Papua masuk kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Pemerintah Belanda dan Jepang telah mempraktekan diskriminasi kepada masyarakat Papua. Sebagai contohnya adalah Belanda membatasi orang Papua untuk mengenyam pendidikan. Belanda hanya memberikan kesempatan kepada rakyat Papua yang orang tuanya memegang peranan penting atau yang membantu pemerintah kolonial Belanda. Setelah masuknya Papua kedalam NKRI, diskriminasi rasial masih di praktekan hingga saat ini.
Menanggapi situasi yang terjadi di Papua, Rodolfo Stevenhagen, Pelapor (Rapporteur) Khusus PBB untuk Indigenous People, dalam laporannya di sidang ke-61 tahun 2005 mengatakan, “Masyarakat adat Papua menderita karena diskriminasi yang meluas yang (Hermien Rumrar dan DR. Theodor Rathgeber., “Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Papua Barat”. Halaman 148) @2007, mencegah mereka, dalam hal tertentu, untuk memperoleh akses ke dalam institusi-intitusi di masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan sendiri, seperti dalam hal pendidikan, perawatan, kesehatan, kesamaan pendapatan/penghasilan, pandangan masyarakat umum tentang perempuan, dan harga diri,10 walaupun sudah ada Dewan Adat Papua dan Majelis Rakyat Papua.

Diskriminasi yang terjadi di Papua bisa dilihat dalam 2 (dua) hal;
1. Kebijakan Pembangunan
Kebijakan pembangunan Pemerintah Pusat yang memprogramkan pembangunan untuk Indonesia di wilayah Timur ternasuk Papua, merupakan kebijakan pembangunan yang bersifat umum tanpa ada program khusus yang berbasis penghargaan terhadap nilai – nilai lokal. Bahkan dalam konteks Papua pembangunan masih diliputi bias rasial dan stereotipe terhadap masyarakat Papua. Dalam konteks inilah kebijakan pembanguann menjadi sumber pelanggaran terhadap ICERD.
Tidak ada afirmatif action dalam kebijakan ekonomi sehingga mayarakat asli Papua sangat sulit bersaing dengan orang dari luar Papua. yang memiliki pengalaman dan naluri bisnis yang kuat. Faktor lain adalah Orang Papua sendiri masih dalam budaya transisi dari budaya meramu harus diperhadapkan pada sistem ekonomi modern. Selain itu pemerintah juga memberi peluang yang sangat kecil bagi orang asli Papua untuk mengembangkan ekonominya. Perbankan juga sangat sedikit memberikan Kredit bagi orang Papua untuk meningkatkan ekonominya. Di pasar-pasar orang asli Papua berjualan di trotoar jalan, mereka tidak menikmati faslitas perumahan pasar yang dikuasai oleh non Papua.
Belum adanya tindakan Affirmatif action ini menjadikan masyarakat Papua termarjinalkan dan kondisi inilah yang membuat masyarakat papua sangat rentan mendapat perlakukan yang diskriminatif.

2. Stereotip dan Diskriminasi Pekerjaan Terhadap Masyarakat Papua.
Masyarakat Papua sering distereotipekan kurang terpelajar, berpenampilan kurang menarik, dan malas. Sehingga sangat menyulitkan mereka untuk mendapatkan perkerjaan di bidang-bidang tertentu. Banyak supermarket di Papua yang tidak mempekerjakan orang Papua. Contoh lain adalah di perusahaan swasta seperti Freeport dan British Petroleum. Di Freeport misalnya karyawan asli Papua tidak pernah dipromosikan untuk menduduki tempat-tempat strategis walaupun mereka juga memiliki kemampuan dan kualifikasi yang tidak jauh berbeda dengan yang lain. Akibat dari tindakan diskriminasi ini, karyawan Papua membentuk wadah penampung aspirasi dengan nama “Tongoi Papua.” Mereka kemudian melakukan demo besar-besaran bulan April lalu menuntut pemberdayaan karyawan Papua dan peningkatan upah kerja. Sedangkan di perusahaan British Petroleum, masyarakat setempat dipekerjakan sebagai tenaga security perusahaan
Bentuk diskriminasi rasial lain adalah sebutan rasialis kepada masyarakat Papua paska penyerangan Markas Polisi Sektor Abepura tahun 2000 oleh kelompok tidak dikenal yang menyebabkan aparat polisi melakukan penyisiran. Dalam laporan KPP Komnas HAM untuk kasus Abepura Berdarah ditemukan ungkapan rasialis terhadap para tahanan pada saat dilakukan interogasi. Seperti, “kamu orang Papua hanya tau makan Babi, makanya otaknya sama seperti babi”. “Kamu harus makan daging biri-biri biar pintar sama dengan orang Makasar, Jawa dan Jakarta, “Kamu orang Papua rambut keriting, hitam dan lau-lau ( tidak tahu apa-apa / goblok).

Masyarakat Adat dan Perampasan Tanah Adat di Papua
Perampasan hak-hak masyarakat adat sering tejadi di Papua. Tanah-tanah adat dirampas untuk pembangunan transmigrasi, basis militer dan untuk kepentingan investor tanpa memberikan ganti rugi yang layak. Perampasan tanah-tanah adat ini tidak saja merusak ekonomi masyarakat yang mana mereka mengantungkan hidup dari tanah tersebut tapi juga merusak nila-nilai tradisi yang lama dipegang. Masyarakat Papua selalu menganggap tanah sebagai “IBU’ yang mana tanah itu memberikan perlindungan / memberikan makan dan menganggap “Sungai” sebagai “air susu” yang mengalirkan air kehidupan. Ketika masyarakat melawan, ingin mempertahankan hak dan nilai tradisi mereka, maka dituduh menghambat pembangunan dan menjadi bagian dari separatis. Alasan tersebut dipakai sebagai pembenaran untuk menindak keras atau menciptkan mata rantai kekerasan baru. Contoh kasus adalah perlawan suku Amungme terhadap kehadiran PT Freeport, yang merusak tanah dan lingkungan serta pencemaran sungai. Banyak orang terbunuh karena mencoba mempertahankan hak-hak SDA mereka seperti kasus di daerah-daerah pertambangan seperti Hoya, Agandi, dll. Kasus ini telah dilaporkan oleh Gereja dan diselidiki oleh Komnas HAM tahun 1995.

Masalah Transmigrasi di Papua
Papua merupakan daerah tujuan utama transmigrasi. Dengan adanya program transmigrasi, lahan-lahan subur dan tanah hak ulayat adat di ambil. Sebagai akibatnya masyarakat adat / penduduk asli terpaksa tergeser. Banyak masyarakat terpaksa memilih tinggal di pegunungan. Implikasi lainnya adalah terjadi pengelembungan dalam perbedaan populasi masyarakt asli dan pendatang. Contoh kasus adalah tahun 1970 di Arso salah satu distrik pusat transmigrasi memiliki jumlah penduduk kurang lebih 1000 orang. Namun setelah tahun 2000 jumlah penduduk di Arso menjadi 20.000 orang menjadikan penduduk asli sebagai minoritas. Selain itu, pelayanan kesehatan, pendidikan dan perumahan di daerah-daerah transmigran lebih lengkap daripada di kampung-kampung orang asli Papua. Misalnya di daerah Arso kita bisa melihat bahwa di desa-desa transmigran ada SMA dan SMP serta Puskesamas dari pemerintah, sedangkan di desa-desa orang asli Papua pemerintah tidak membangun pelayananan tersebut tetapi Gereja yang bertanggungjawab.2

Stigmatisasi Papua Merdeka OPM
Salah satu bentuk diskiriminasi yang dihadapi masyarakat Papua adalah stigmatisasi OPM. Pemerintah dan aparatus Negara membangun stigma bahwa orang Papua, khususnya masyarakat adat yang terdapat di pinggiran kota dan di dalam hutan diidentikkan dengan OPM dan pemberontak. Sehingga ada justifikasi membasmi mereka. Contoh kasus adalah rekayasa pembobolan gudang senjata di Wamena tahun 2003 yang di lakukan kelompok tidak dikenal. Aparat menuduh bahwa yang melalukan pembobolan itu adalah OPM. Aparat kemudian melakukan penyisiran dan menangkap dan melakukan pembunuhan. Banyak masyarakat yang tidak tahu menahu dan sebagain besar adalah warga sipil / petani menjadi korban dan dituduh kaki tangan OPM. Kasus ini dipakai sebagai justifikasi dibukanya satu batalyon baru di Wamena. Kasus hangat lain adalah pengungsian sekitar 10.000 masyarakat sipil di distrik Yamo Kabupaten Puncak Jaya pasca pembunuhan dua aparat TNI AD yang di lakukan kelompok milisi. Contoh kasus lain adalah kasus Mariedi kabupaten Bintuni. Masyarakat menuntut ganti rugi yang layak atas kayu-kayu yang di ambil oleh PT. DJayanti Group tetapi kemudian Brimob sebagai penjaga perusahaan menembak mati 5 warga karena dituduh terlibat gerakan OPM. Contoh lain adalah operasi ketupat dimana 11 masyarakat sipil dituduh sebagai anggota TPN/OPM di tangkap tanggal 22 November 2003.
Selain itu Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Yang menjadi target dari operasi Militer adalah rakyat Papua yang dituduh membangkang terhadap pemerintah Indonesia. Operasi ini hampir mencakup seluruh wilayah tanah Papua. Banyak rakyat Papua yang terbunuh selama diberlakukanya DOM karena dalam operasi militer tidak memakai sistim tebang pilih, yang ada adalah sistem sapu rata. Fakta kasus seperti yang terjadi di Wasior kabupaten Manokwari dimana aparat tidak membedakan orang yang bersalah atau tidak, namun hanya bertindak dengan melihat dari warna kulit dan rambut.

KESIMPULAN
Di Indonesia diskriminasi rasial masih terjadi, walupun ada kebijakan hukum yang menunjukkan perubahan yang baik. Hal ini disebabkan karena perubahan kebijakan hukum yang ada tidak komperhensif dan bahkan lahirnya kebijakan hukum yang baik tersebut juga disertai lahirnya hukum baru yang masih tetap memberlakukan diskriminasi. Dalam konteks ini terjadilah konflik hukum, bahkan konflik hukum ini terjadi di dalam konstitusi, pasal satu dengan pasal yang lainnya saling kontradiksi.
Selain terjadi kontradiksi di dalam kebijakan hukum yang mengatur diskriminasi rasial, diskriminasi yang terjadi juga diakibatkan oleh kelakuan aparat negara yang dalam menjalankan kewajibannya untuk melayani setiap individu maupun warga negara tetap menerapkan kebijakan/perlakuan diskrinimasi. Perilaku aparatur negara ini mencerminkan bagaimana fenomena diskriminasi telah terjadi secara sistematis dan meluas.
Dalam konteks ini tidak ada tindakan konkrit yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Tidak hanya pembiaran atas fakta tersebut namun juga dapat dirasakan keterlibatan aktif para aparatur negara itu.
Diskriminasi rasial di Papua terjadi dalam berbagai bentuk. Korban yang paling banyak adalah etnis Papua dan Tionghoa dan Masyarakat Suku Bangsa/Etnik terutama berkaitan dengan identitas kepercayaan dan keyakinan mereka.
Dalam konteks Papua pelanggaran terhadap ICERD juga terjadi, bahkan problem mendasar pelanggaran tersebut sampai saat ini tidak diselesaikan. Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa diskriminasi rasial di Indonesia masih terjadi dan tidak ada penyelesaian efektif baik melalui kebijakan pembangunan, kebijakan hukum, maupun melalui pengadilan.

MELIHAT PAPUA DARI SEGALA SISI


MELIHAT PAPUA DARI SEGALA SISI

(Sebuah kajian kritis yang sedang dilakukan oleh kelompok peneliti lepas Papua)

Oleh

plato ayamaru



H A M


APAKAH

POLA PELANGGARAN HAM DI PAPUA

BERCORAK POLA GENOSIDE

? ? ? ?

Dua aspek kunci pada ‘pola genoside’

Istilah “genoside” sebenarnya sangat berat, maka perlu dipakai dengan teliti. Dalam “Convention on the prevention and punishment of the crime of genocide” genoside dirumuskan sebagai any of a proscribed set of acts “committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial, or religious group, as such” (sejumlah tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memusnahkan, sebagian atau secara menyeluruh, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau religius, sebagai kelompok). Maka, secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam hal menentukan adanya sifat genoside, diperlukan dua unsur kunci: [1] tindakan-tindakan nyata, dan [2] maksud yang jelas bahwa tindakan-tindakan tadi diadakan untuk memusnahkan sebagian atau seluruh kelompok orang tertentu.

Dalam laporan studi kelompok kerja ALIHRC disajikan suatu gambaran mengenai tindakan-tindakan (set of acts) selama ini (dari tahun 60an sampai dengan 2003); kemudian hubungan antara tindakan dengan maksud/motifnya (committed with intent) diuraikan/diperiksa. Secara kasar kelompok kerja ini menyimpulkan bahwa tidak terlalu sulit untuk membenarkan bila ada ‘tindakan-tindakan’, namun lebih sulit untuk memperjelaskan atau untuk mengetahui ‘motif di belakang tindakan’ itu. Sehingga suatu tindakan hanya dapat diberikan nilai/bobot sepanjang ada efek pada pemusnahan kelompok etnis tertentu (sebagian atau secara menyeluruh), dan motif tetap menjadi suatu bahan diskusi tersendiri.

Selanjutnya kami akan merefleksikan secara singkat tentang unsur “tindakan / kebijakan” maupun “maksud/motif”.

I. TINDAKAN / KEBIJAKAN

Dokumentasi tindakan / peristiwa

Membaca semua data tindakan/peristiwa yang dikemukakan dalam laporan studi kelompok kerja ALIHRC, perlu kami simpulkan bahwa memang banyak fakta disebutkan, namun sekaligus dokumentasi fakta-fakta itu sering kurang tajam atau kurang teliti karena ternyata bukti-bukti kurang tersedia. Maka, bila kami mau menjawab pertanyaan mengenai kesamaan antara pola pelanggaran Ham di Papua dengan adanya pola genoside, pertama-tama kam perlu melengkapi data tindakan / peristiwa menjadi ‘bahan yang terukur dan jelas’. Dalam dokumentasi itu mungkin juga baik kalau dibedakan antara sejumlah jenis tindakan/peristiwa kekerasan. Berikut ini dapat kami usulkan sejumlah kategori tindakan/peristiwa yang hanya bersifat tawaran sehingga terbuka untuk diganti dengan rumusan yang lebih tepat:

1. tindak kekerasan terhadap individu

2. tindak kekerasan terhadap sekelompok / penduduk sewilayah

3. tindakan intimidasi

4. kegiatan ekonomis yang berpeluang melanggar HAM

5. kebijakan negara yang berpeluang melanggar HAM

[1] Tindak kekerasan terhadap individu

Dibawah kategori ini kami menggolongkan segala tindakan yang diarahkan kepada seorang pribadi tertentu; bisa menyangkut tokoh-tokoh OPM (terutama selama tahun 60an dan 70an); bisa menyangkut pribadi orang yang tidak disenangi karena mengangkat harkat bangsa Papua (orang seperti Arnold Ap –1984- , Black Brothers dan elite intelektual); menyangkut pemimpin populer seperti Wanggai –1998-, Willem Onde –2001-, atau Theys Eluay –2001; bisa menyangkut kekerasan psikis terhadap tokoh-tokoh politik yang diisyukan (Jaap Salossa dan John Ibo sebagai ‘pejuang Papua merdeka’). Bila seluruh sejarah penderitaan diperiksa secara teliti pastilah dapat menghasilkan suatu daftar panjang, dan dokumentasi seperti itu sangat kita butuhkan (sampai saat ini tidak tersedia untuk umum).

[2] Tindak kekerasan terhadap sekelompok / penduduk sewilayah

Tindakan semacam ini ada sejak protes masyarakat Papua terhadap segala bentuk penindasan - termasuk penjajahan oleh pihak manapun - mulai terungkap. Lebih-lebih setelah OPM mulai aktif dan merangkul banyak masyarakat. Tindakan terhadap sekelompok/penduduk sewilayah mulai dilakukan oleh aparat keamanan seperti di wilayah suku bangsa Arfak (60an dan 70an) yang dinilai sebagai pusat perlawanan terhadap pemerintah Indonesia. Di Biak juga terdapat operasi-operasi sejenis, apalagi segala operasi militer yang dilakukan antara 1977 dan 1984 di wilayah Pegunungan Tengah dan wilayah suku bangsa Amungme; bukan individu yang menjadi sasaran operasi, namun seluruh penduduk di wilayah tersebut karena dicap / diberikan stigma OPM/TPN atau GPK. Tindakan sejenis ini juga dijalankan setelah peristiwa di Mapnduma (1996), Abepura (2000), Wamena (2000), Wasior (2001), Ilaga (2001), Wamena (2003). Operasi-operasi semacam ini dikenal sebagai ‘operasi penyisiran’ yang dilegitimasi dengan adanya salah satu peristiwa khusus dan terbatas (entah pelakunya siapa) dan dengan adanya stigmatisasi seperti “orang Pegunungan Tengah semua pengacau”. Dalam tindakan-tindakan dengan kategori ini tidak dibedakan lagi antara mereka yang langsung terlibat dalam salah satu peristiwa dan yang tidak, tetapi siapa saja yang dapat ditemukan menjadi sasaran operasi. Yang juga cukup khas berkaitan dengan kategori tindakan ini adalah terjadinya pengungsian massal guna melarikan diri dari tempat yang menjadi sasaran tindak kekerasan. Sekali lagi, suatu dokumentasi kategori tindakan ini sangat dibutuhkan, dengan mencari tahu berapa banyak korbannya (sampai sekarang tidak ada angka-angka yang betul dapat dipegang) dan dengan membedakan berapa banyak yang menjadi korban secara langsung, dan berapa banyak menjadi korban susulan (karena kelaparan/kesakitan selama mengungsi dsbnya).

[3] Tindakan intimidasi

Kategori ini tidak begitu nyata dalam tindakan-tindakan yang menonjol atau tindakan yang langsung menimbulkan korban. Tindakan dibawah kategori ini menyangkut “gerak-gerik pihak keamanan saat bertugas ditengah masyarakat”. Menurut banyak laporan yang tidak pernah diterbitkan namun tersedia dalam arsip lembaga kegerejaan, perilaku para unsur keamanan di daerah (apalagi yang jauh dari mata instansi pengawasan) sering ditandai arogansi, pemaksaan, perintah sewenang-wenang, ancaman dll. Sehingga masyarakat tidak bebas bergerak, merasa dicurigai, atau de facto mengalami pemukulan serta bermacam-macam siksaan. Suasana demikian yang berlangsung cukup lama – apalagi selama status DOM diberlakukan - di pelbagai bagian provinsi Papua telah menghasilkan suatu masyarakat yang makin hari makin bisu dan ketakutan. Adanya dampak dari tindakan semacam ini dapat dibaca dalam laporan situasional yang disusun oleh SKP mengenai suasana di Pegunungan Bintang (1998) dan di sekitar tiga danau di Paniai (1999). Laporan-laporan sejenis pasti dapat disusun untuk seluruh wilayah perbatasan dan Pegunungan Tengah jikalau kita mempelajari suasana kemasyarakatan selama 40 tahun terakhir ini. Dokumentasi tindakan kategori ini sangat membantu untuk memperoleh suatu gambaran menyeluruh mengenai gaya serta dampak kehadiran aparat keamanan, dan mungkin dapat membantu untuk menjawab pertanyaan: apa sebenarnya maksud (intent) pemerintah RI dengan bangsa Papua selama empat puluh tahun terakhir?

[4] Kegiatan ekonomis yang berpeluang melanggar HAM

Dibawah kategori ini dapat kami golongkan segala bentuk kegiatan ekonomis yang merugikan kepentingan atau mengabaikan hak-hak masyarakat. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa diadakannya kegiatan pertambangan oleh PT Freeport membawaserta cukup banyak akibat yang sangat merugikan masyarakat lokal: dapat berupa pencemaran lingkungan, memindahkan penduduk, peniadaan peluang ekonomis bagi penduduk setempat, tindakan pengamanan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, kehadiran aparat keamanan di luar proporsi dengan segala akibatnya, merusak kebudayaan setempat, mengabaikan hak ulayat, membatasi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang penting/berdampak besar dst. Suatu gambaran sejenis dapat ditemukan dalam proyek BP, konsesi HPH, konsesi penangkapan ikan, program PIR, program Kapet, kegiatan eksplorasi dsb. Setiap kegiatan ekonomis dapat dinilai dari segi sejauh mana membantu pertumbuhan suatu ekonomi lokal (ekonomi kerakyatan) atau sepanjang tidak memperdulikan dampaknya terhadap masyarakat setempat. Dalam penilaian itu kami dapat menemukan tersiratnya motif dibelakang setiap tindakan ekonomis, apalagi berupa aktivitas besar-besaran.

Yang dikatakan mengenai program ekonomis yang terbuka berlaku juga (malahan mungkin dengan lebih hebat lagi) mengenai tindakan-tindakan ekonomis yang tersembunyi atau malahan ilegal (seperti penyeludupan kayu dst.); pertanyaan serta penilaian sekitar kegiatan yang tersembunyi menjadi lebih penting lagi ketika kegiatan-kegiatan ekonomis demikian melibatkan aparat keamanan. Sekali lagi suatu dokumentasi mengenai tindakan-tindakan ekonomis sangat kita butuhkan untuk menilai dampaknya dan kaitannya dengan “terancamnya eksistensi bangsa Papua”.

[5] kebijakan negara yang berpeluang melanggar HAM

Judul kategori ini mungkin sedikit mengherankan, namun kami berpendapat bahwa sebaiknya kami membuka lingkup perhatian seluas mungkin, dengan mencantumkan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang berpeluang mengakibatkan pelanggaran HAM. Dibawah kategori ini secara tentatif kami menggolongkan kebijakan seperti pelaksanaan Pepera (1969), pemberlakuan DOM (sampai akhir 1998) termasuk penempatan personil keamanan, pemekaran paksaan (Inpres No. 1/2003), program transmigrasi (tahun 70an ke atas) sejauh menjadi program pemerintah atau sejauh dibiarkan tanpa peraturan yang nyata, penolakan pemerintah pusat untuk menyelesaikan pembentukan MRP sebagai sarana kunci dalam pelaksanaan isi Otonomi Khusus Papua, segala promosi ‘kebudayaan korupsi dan proyek’, dan akhirnya – bukan yang paling ringan – ketidaktegasan dalam penegakan hukum (bdk tindakan terhadap para tahanan di Wamena berkaitan dengan peristiwa tahun 2000, atau saja vonis terhadap para terdakwa sipil dalam kasus Wamena 2003, atau penyelesaian pembunuhan Theys secara hukum tahun 2003). Kami berpendapat bahwa suatu dokumentasi yang teliti mengenai kebijakan pemerintah yang sebenarnya de facto merugikan pembangunan masyarakat di Papua akan sangat membantu untuk menilai motif politik atau motif apa saja di belakang tindakan-tindakan pemerintah RI terhadap Papua.

Dokumentasi : suatu keharusan

Dari sejumlah catatan diatas, dapat disimpulkan bahwa suatu dokumentasi kelima kategori tindakan/kegiatan tadi sangat penting untuk memperoleh suatu gambaran yang menyeluruh dan supaya terdapat suatu dasar yang kuat untuk menilai kebijakan Pemerintah Indonesia berhubungan dengan Papua. Dokumentasi mengenai kebijakan/tindakan (termasuk dokumen-dokumen resmi) dapat membantu juga untuk mengetahui motif yang ada dibelakang setiap tindakan/kebijakan. Tanpa dokumentasi demikian menurut kami sebenarnya tidak ada pegangan yang layak untuk menjawab pertanyaan pokok makalah ini, yakni: hubungan antara sejumlah tindakan dengan adanya genoside di Papua. Mengingat bahwa dokumentasi pelanggaran HAM di Papua masih sangat miskin dan dalam banyak hal tidak ada sama sekali, maka langkah pertama yang perlu diadakan oleh lembaga-lembaga yang peduli HAM adalah menyediakan dokumentasi. Kalau dokumentasi ini tidak tersedia atau tidak dapat disediakan segala penilaian apalagi menyangkut sifatnya termasuk genoside menjadi spekulasi melulu dan terbuka untuk ditolak atau diterima sepanjang sesuai selera pembicara atau pendengar saja.

Tabulasi Pelanggaran HAM di Papua

Peristiwa di Papua

Tanggal Peristiwa

Total


1

2

3

4

5

6

7


Penghilangan paksa

0

0

0

0

0

0

0

0

Pembunuhan di luar proses hukum

2

8

0

0

0

0

6

16

Penahanan semena-mena

0

0

47

0

0

0

80

127

Penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya

1

2

0

0

0

0

0

3

Total

3

10

47

0

0

0

86

146










TNI/POLRI

3

9

0

0

0

0

84

96

TNI

0

0

0

0

0

0

0

0

POLRI

0

0

47

0

0

0

0

47

GBPK

0

1

0

0

0

0

2

3

Tak diketahui

0

0

0

0

0

0

0

0

Total

3

10

47

0

0

0

86

146

Catatan :

Data di atas dihitung berdasarkan korban bukan peristiwa.
Data di atas diambil dari hasil invetigasi Kontras Kontras Papua

II. PERSOALAN MOTIF DASAR (INTENT)

1. Kaburnya “intent” (motif dasar)

Unsur yang kedua adalah: motif (intent). Sebagaimana dicatat pada awal refleksi kami dalam rumusan ‘genoside’ ada unsur ‘tindakan nyata’ dan ‘motif tindakan’ (laterbelakang perencanaan tindakan/kebijakan) yang nyata-nyata mesti bersifat “menghancurkan sekelompok orang sebagai kelompok entah sebagian atau menyeluruh”. Sudah tentu bahwa motif jahat semacam ini lazimnya tidak dibanggakan pelakunya sehingga tidak dapat dinantikan bahwa motif itu begitu saja diperjelaskan oleh para pelaku. Hanya orang seperti Hitler merasa bangga dan sangat terbuka dalam maksud dan tujuannya sewaktu mau menghabisi bangsa Yahudi. Maka, bisa diamati jika tujuan dan motif di belakang tindakan pelanggaran HAM secara besar-besaran seringkali hanya ditebak saja. Mungkin dari ruang lingkup akibatnya yang timbul dari tindakan tersebutlah yang mendorong kita untuk dapat menyimpulkan sesuatu mengenai motif sebenarnya, namun bisa juga tidak.

2. Sering membingungkan

Keraguan ini juga dengan jelas terungkap dalam uraian yang ditulis oleh kelompok kerja ALIHRC. Setiap jenis tindakan kekerasan dikaitkan oleh kelompok studi ini dengan salah satu aspek penghancuran sekelompok orang, namun keterkaitannya masih begitu sumir, belum pasti; kebanyakan tergantung dari tafsiran, baik mengenai dampak dari tindak kekerasan maupun mengenai makna dari “menghancurkan sekelompok orang”. Sewaktu membaca laporan studi kelompok kerja ALIHRC, kesan yang muncul bahwa kelompok kerja berupaya untuk mengaitkan setiap tindakan kekerasan di Papua dengan fenomena genoside, betapapun tipisnya keterkaitan dimaksud. Upaya itu hanya dapat kami terima sebagai suatu upaya untuk membuat setiap pembaca menjadi lebih peka tentang dampak dari pola pelanggaran HAM di Papua, dan sekaligus mengajak kami untuk bersikap kritis dan turut mencari jawaban atas pertanyaan : betulkah pola pelanggaran HAM di Papua bercorak genoside?

3. Motif resmi dan dampaknya yang nyata

Dalam laporan studi kelompok kerja ditonjolkan dengan sangat jelas bahwa sering menjadi sulit untuk membedakan antara “tujuan dan motif resmi” dan “akibat kebijakan atau pola tindakan”. Apakah segala jenis kegiatan ekonomis dapat kita terima saja dengan alasan/motif ekonomis atau perlu dinilainya dari segi dampak yang menimbulkan kerugian bagi sekelompok orang? Atau perlukah menilai apa yang menjadi tujuan awal dari aktivitas tersebut? Pertanyaan ini sangat penting karena dalam rumusan ‘genoside’ dicatat bahwa mesti jelas ‘kehancuran kelompok orang’ betul terencana matang melalui suatu tindakan atau kebijakan yang hendak dipersoalkan. Seandainya ada motif demikian, pastilah tujuan itu kurang bahkan sama sekali tidak terungkap secara resmi. Misalnya, konsesi kepada PT Freeport akan dibela oleh pemerintah dengan alasan ekonomis, apalagi karena konsesi diberikan sewaktu Indonesia dalam krisis ekonomis berat. Walau kenyataannya dampak dari kegiatan ekonomis ini sangat berat bagi suku-bangsa Amungme, sampai merusak tata budaya mereka, merusak lingkungan hidupnya, mempermainkan hak ulayatnya, menuntut korban manusia, memaksa orang pindah keluar dari tanah nenek moyangnya, dst. Apakah semua akibat ini memberikan dasar untuk menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah merencanakan dengan matang ingin menghancurkan suku-bangsa Amungme melalui konsesi Freeport?? Atau perlu disimpulkan bahwa pemerintah Indonesia begitu buta mengejar keuntungan ekonomis semata (entah buat siapa?) sampai tidak memikirkan tentang biaya sosialnya (dalam hal ini kehancuran suatu kelompok etnis)? Pertanyaan semacam itu dapat muncul dalam hampir setiap kategori tindakan / kebijakan yang coba kami angkat sebelumnya. Nampak jawabannya tidak begitu mudah, sehingga perlu dijaga agar tidak tergesa-gesa mengambil suatu kesimpulan dalam analisa demikian.

4. Dasar penilaian : tiga segi

Untuk mengetahui motif dibelakang tindakan/kebijakan yang dibuat pemerintah, kita dapat mempelajari sekurang-kurangnya tiga hal:

1 motif yang dibeberkan dalam dokumen atau pernyataan resmi,

2 dampak tindakan di lapangan yang diperoleh melalui investigasi yang teliti, dan

3 perbandingan dengan tindakan/kebijakan sejenis di wilayah lain di Indonesia.

Dua unsur pertama telah ditonjolkan dalam uraian terdahulu sebagai pintu masuk untuk mengetahui motif dibelakang setiap tindakan. Unsur ketiga, kami tambahkan agar dapat membantu membedakan antara salah satu tindakan (beserta dampaknya) yang hanya merupakan bagian dari penerapan suatu kebijakan umum di tingkat negara, dengan kebijakan yang secara khusus diterapkan di Papua. Seandainya suatu tindakan memang merupakan ungkapan dari sautu kebijakan yang diterapkan secara umum di seluruh Indonesia, maka tindakan tersebut sulit untuk dinilai sebagai ‘tindakan terencana yang secara khusus bertujuan menghancurkan salah satu atau seluruh kelompok etnis di Papua’. Dengan kata lain, untuk menyimpulkan bahwa tindakan/kebijakan tertentu direncanakan secara khusus untuk menghancurkan suku-bangsa Papua (atau sekelompok etnis di antaranya), maka dalam tindakan /kebijakan tersebut mesti merupakan bagian yang hanya diterapkan di Papua (kecuali kalau masih ada daerah lain dimana pemerintah bertindak sesuai pola genoside, maka ada kesamaan dengan daerah itu).

Refleksi singkat atas ‘unsur motif’ (intent) tadi mengantar kami kepada kesimpulan bahwa laporan studi dari kelompok ALIHRC sekali lagi mengajak kita untuk melengkapi pekerjaan awal kelompok studi ini dengan menyusun bahan pegangan yang lebih lengkap dan terinci. Menjadi jelas juga bagi kami bahwa suatu lembaga yang peduli pada penghormatan terhadap HAM dan yang berniat untuk menganalisa ‘pola pelanggaran yang ada’, perlu dibantu oleh orang/lembaga lain yang berkompeten dibidang hukum dan politik guna mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap yang pada akhirnya melahirkan suatu kesimpulan yang akurat.

KESIMPULAN SEMENTARA

Dari uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa kami tidak siap untuk menilai pola pelanggaran HAM di Papua sebagai suatu ‘pola genoside’. Untuk sampai pada penilaian demikian, penelitian lebih mendalam mutlak dibutuhkan. Menurut kami kesimpulan ini cukup sejajar juga dengan nada dasar laporan studi kelompok kerja ALIHRC, walaupun kelompok kerja ini sesekali menunjukkan kecenderungannya untuk menonjolkan secara khusus sifat genoside dalam pola pelanggaran HAM di Papua. Tentunya itu merupakan tanggungjawab mereka, dan kami dapat menerimanya sebagai sebuah pendapat.

Terlepas dari penilaian apakah pola pelanggaran HAM di Papua dapat digolongkan sebagai ‘pola genoside’ atau tidak, sambil berefleksi atas pola pelanggaran HAM di Papua yang begitu bervariasi dan meluas, apalagi bersifat sistematis, keyakinan kami diperkuat bahwa memang pola pelanggaran HAM yang ada sudah membuat bangsa Papua menderita secara luarbiasa, dan kenyataan demikian tetap perlu diangkat dan upaya demi ‘pembebasan dari segala bentuk penindasan’ tetap sangat mendesak dan perlu dijadikan inti perjuangan kita bersama secara damai.



2


KEADAAN SOSIAL BUDAYA PAPUA

Penduduk Papua barat tidak memiliki suatu kebudayaan yang seragam, melainkan memiliki beraneka ragam kebudayaan. Para ahli membagi daerah itu kedalam 16 daerah kebudayaan yang berbeda-beda menurut unsur-unsur organisasi social, kesenian, dan religinya.

Besarnya keberagaman kebudayaan dan bahasa di Papua Barat mempersulit setiap orang untuk menemukan cirri-ciri umum pada masyarakat (kelompok-kelompok etnik) dan kebudayaan Papua Barat. Cirri umum tentang sikap dan pandangan hidup setiap suku bangsa di Papua Barat adalah :

1. mereka cenderung pada kehidupan yang komunual di dalam kelompok dan hubungan yang erat antar individu dalam masyarakat (ingroup feelling) cukup tinggi serta bersaing dengan kelompok-kelompok lain.

2. sifat serba bebas terhadap semua orang dan dalih, namun yang ingin berjuang bagi survivalnya dengan kepercayaan diri dan kemauan yang keras.

3. Pemecahan masalah yang menegangkan dengan jalan melarikan diri atau escape, atau memberontak atau musyawarah utnuk mufakat.

4. Sadar akan keterbatasan manusia, rela mengakui kesalahan sendiri, peka bagi humor, gemar akan sensasi/keramaian.

5. kebanyakan pasrah terhadap situasi yang ada.

· Pengaruh Lingkungan Nasional

Usaha Otonomi khusus dan pemekaran wilayah profinsi dan kabupaten hingga kecamatan yang berlangsung selama beberapa tahun ini telah menimbulkan kegelisahan terhadap warga papua. Serentak dengan ini, sebagaiman telah tampak saat ini dengan hasil OTSUS telah melahirkan masalah-masalah baru.

1. Diperkirakan jumlah penduduk yang cukup besar sehingga pemenuhan kebutuhan fisik dan material yang ditimbulkannya perlu dipenuhi. Implikasinya adalah bahwa sector pertanian perlu terus dikembangkan sejalan dengan perombakan struktur ekonomi yang berimbang antara industri dengan pertanian.

2. kebutuhan pokok fisik-material yang sudah dipenuhi, terutama sandang dan pangan, menyebabkan menggesernya kebutuhan hidup manusia ke jurusan non fisik dan non material, seperti pendidikan, keterampilan, kebudayaan, keagamaan, keadilan, kebebasan dan kemandirian yang terangkum dalam harga diri orang Papua.

3. masuknya ilmu dan teknologi mendorong kebutuhan melarutkannya dalam struktur kehidupan masyarakat

4. peningkatan mobilitas horizontal penduduk dari pedesaan keperkotaan dan dari daerah yang satu ke daerah lain, serta peningkatan mobilitas vertical dari jenjang social rendah ke jenjang social yang lebih tinggi. Mobilitas ini membuka friksi dan konflik antara individu dan antara kelompok.

5. perombakan social ekonomi masyarakat dihasilkan pembangunan merobah system nilai yang belum termantapkan sehingga membuka peluang lagi bagi aturan permainan.

· Pengaruh Lingkungan daerah

a. terjadinya pergeseran penduduk papua dalam persaingan potensi diri SDM

b. lingkungan geografi factor medan wilayah yang membatasi gerak cepat orang papua dalam pembangunan infrastruktur (terisolasi) sehingga orang papua terkebelakangkan.

c. Kurang lengkapnya sarana dan prasarana teknologi dan ilmu pengetahuan yang membuat pengetahuan orang papua terbatas.


Mengacu pada perbedaan topografi dan adat istiadat, penduduk Papua dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, masing-masing:

1. Penduduk daerah pantai dan kepulauan dengan ciri-ciri umum rumah di atas tiang (rumah panggung) dengan mata pencaharian menokok sagu dan menangkap ikan);

2. Penduduk daerah pedalaman yang hidup di daerah sungai, rawa danau dan lembah serta kaki gunung. Umumnya mereka bermata pencaharian menangkap ikan, berburu dan mengumpulkan hasil hutan;

3. Penduduk daerah dataran tinggi dengan mata pencaharian berkebun dan berternak secara sederhana.

Kelompok asli di Papua terdiri atas 193 suku dengan 193 bahasa yang masing-masing berbeda. Tribal arts yang indah dan telah terkenal di dunia dibuat oleh suku Asmat, Ka moro, Dani, dan Sentani. Sumber berbagai kearifan lokal untuk kemanusiaan dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik diantaranya dapat ditemukan di suku Aitinyo, Arfak, Asmat, Agast, Aya maru, Mandacan, Biak, Arni, Sentani, dan lain-lain.

Umumnya masyarakat Papua hidup dalam sistem kekerabatan dengan menganut garis keturunan ayah (patrilinea). Budaya setempat berasal dari Melanesia. Masyarakat berpenduduk asli Papua cenderung menggunakan bahasa daerah yang sangat dipengaruhi oleh alam laut, hutan dan pegunungan.

Dalam perilaku sosial terdapat suatu falsafah masyarakat yang sangat unik, misalnya seperti yang ditunjukan oleh budaya suku Komoro di Kabupaten Mimika, yang membuat genderang dengan menggunakan darah. Suku Dani di Kabupaten Jayawijaya yang gemar melakukan perang-perangan, yang dalam bahasa Dani disebut Win. Budaya ini merupakan warisan turun-temurun dan di jadikan festival budaya lembah Baliem. Ada juga rumah tradisional Honai, yang didalamnya terdapat mummy yang di awetkan dengan ramuan tradisional. Terdapat tiga mummy di Wamena; Mummy Aikima berusia 350 tahun, mummy Jiwika 300 tahun, dan mummy Pumo berusia 250 tahun.

Di suku Marin, Kabupaten Merauke, terdapat upacara Tanam Sasi, sejenis kayu yang dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian upacara kematian. Sasi ditanam 40 hari setelah hari kematian seseorang dan akan dicabut kembali setelah 1.000 hari. Budaya suku Asmat dengan ukiran dan souvenir dari Asmat terkenal hingga ke mancanegara. Ukiran asmat mempunyai empat makna dan fungsi, masing-masing:

1. Melambangkan kehadiran roh nenek moyang;

2. Untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia;

3. Sebagai suatu lambang kepercayaan dengan motif manusia, hewan, tetumbuhan dan benda-benda lain;

4. Sebagai lambang keindahan dan gambaran ingatan kepada nenek moyang.

Budaya suku Imeko di kabupaten Sorong Selatan menampilkan tarian adat Imeko dengan budaya suku Maybrat dengan tarian adat memperingati hari tertentu seperti panen tebu, memasuki rumah baru dan lainnya.

Keagamaan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Papua dan dalam hal kerukunan antar umat beragama di sana dapat dijadikan contoh bagi daerah lain, mayoritas penduduknya beragama Kristen, namun demikian sejalan dengan semakin lancarnya transportasi dari dan ke Papua, jumlah orang dengan agama lain termasuk Islam juga semakin berkembang. Banyak misionaris yang melakukan misi keagamaan di pedalaman-pedalaman Papua. Mereka memainkan peran penting dalam membantu masyarakat, baik melalui sekolah misionaris, balai pengobatan maupun pendidikan langsung dalam bidang pertanian, pengajaran bahasa Indonesia maupun pengetahuan praktis lainnya. Misionaris juga merupakan pelopor dalam membuka jalur penerbangan ke daerah-daerah pedalaman yang belum terjangkau oleh penerbangan reguler.

Mengenai kebudayaan penduduk atau kultur masyarakat di Papua Barat dapat dikatakan beraneka ragam, beberapa suku mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi dan mengagumkan yaitu suku-suku di Pantai Selatan papua yang kini lebih dikenal dengan suku "ASMAT" kelompok suku ini terkenal karena memiliki kehebatan dari segi ukir dan tari. Budaya penduduk Irian yang beraneka ragam itu dapat ditandai oleh jumlah bahasa lokal khususnya di Papua Barat. Berdasarkan hasil penelitian dari suami-isteri Barr dari Summer Institute of Linguistics (SIL) pada tahun 1978 ada 264 bahasa lokal di Papua Barat. Bahasa di Papua Barat digolongkan kedalam kelompok bahasa Melanesia dan diklasifikasikan dalam 31 kelompok bahasa yaitu:
Tobati, Kuime, Sewan, Kauwerawet, Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, Roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Waoisiran, Mimika, Kapauku, Moni, Ingkipulu, Pesechem, Teliformin, Awin, Mandobo, Auyu, Sohur, Boazi, Klader, Komoron, Jap, Marind-Anim, Jenan, dan Serki. Jumlah pemakai bahasa tersebut diatas sangat bervariasi mulai dari puluhan orang sampai puluhan ribu orang.

Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Papua Barat dapat dibagi kedalam 4 kelompok dimana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya tersendiri.

1. Penduduk pesisir pantai;

Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka.

2. Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah;

Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan disungai, berburu dihuta disekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru.

3. Penduduk pegunungan yang mendiami lembah;

Mereka bercocok tanam, dan memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah bila dibandingkan dengan penduduk tipe kedua (2). Adat istiadat dijalankan secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga tehadap orang asing ada tetapi tidak seketat penduduk tipe 2 (kedua).

4. Penduduk pegunungan yang mendiami lereng-lereng gunung;

Melihat kepada tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, memberi kesan bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh dimana sedini mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih "KANIBAL" hingga kini, dan bunuh diri merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat karena akan menghindarkan bencana dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang suku merupakan aktivitas untuk pencari keseimbangan sosial, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga.

Dalam berbagai kebudayaan dari penduduk Irian ada suatu gerakan kebatinan yang dengan suatu istilah populer sering disebut cargo cults. Ada suatu peristiwa gerakan cargo yang paling tua di Irian Jaya pada tahun 1861 dan terjadi di Biak yang bernama "KORERI". Peristiwa atau gerakan cargo terakhir itu pada tahun 1959 sampai tahun 1962 di Gakokebo-Enarotali (kabupaten Paniai) yang disebut " WERE/WEGE" sebagaimana telah dikemukakan bahwa gerakan ini yang semula bermotif politik.

Pada waktu Belanda meniggalkan Irian Barat, posisi-posisi baik dibidang pemerintahan, pembangunan (dinas-jawatan) baik sebagai pimpinan maupun pimpinan menengah diserahterimakan kepada putra daerah (orang Papua/Irian Barat) sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Juga seluruh rumah dan harta termasuk gedung dan tanah milik orang Belanda itu diserahkan kepada kenalan mereka orang Papua (pembantu dan teman sekerja) untuk dimiliki, karena mereka tidak bisa menjualnya dan juga tidak ada pembeli pada masa itu.

Belanda juga meninggalkan ekses konflik antara suku-suku besar sebagai akibat dari aktivitas politik yaitu pertentangan antara "Elite Pro-Papua" dan "Elite Pro-Indonesia" yang ditandai dengan pertentangan antara "Suku Biak lawan Suku Serui, Suku tanah Merah-Jayapura lawan Suku Serui", sekalipun dalam hal ini tidak semua orang Biak itu pro-Papua, tidak semua orang Serui itu pro-Indonesia dan tidak semua orang Tanah Merah-Jayapura itu pro-Papua dan pro-Indonesia.

Tabel 2. Angka kumulatif penderita HIV dan AIDS per kabupaten Kabupaten

HIV

AIDS

Jumlah

Jayapura

15

22

37

Biak

6

0

6

Serui

1

0

1

Nabire

12

25

37

Manokwari

3

0

3

Fak-fak/Kaimana

30

1

31

Mimika

223

41

264

Sorong

52

1

53

Merauke

150

177

327

Jayawijaya

8

0

8

Kota Jayapura

25

30

55

Total

525

293

822

Data-data di atas hanyalah sebagian cermin dari kenyataan yang lebih luas daripada yang bisa dijangkau oleh instansi kesehatan pemda. Tetapi lebih dari itu, data-data tersebut menjadi mercu suar mutu hidup, penghayatan nilai, dan daya tahan keluarga-keluarga kita di Papua ini.

1 kesadaran hukum merosot:

Dalam empat tahun terakhir seiring dengan era reformasi, kesadaran hukum tampaknya merosot dengan indikasi meningkatnya kasus-kasus kriminalitas yang dilaporkan dalam mass media seperti perkosaan yang dilakukan oleh sekelompok pelajar10. Kemabukan yang dengan mudah ditemukan di berbagai tempat di kawasan perkotaan dan tidak jarang melibatkan oknum pejabat pemerintah, polisi, atau TNI. Sengketa-sengketa atas tanah makin rumit seperti kasus bekas gedung DPRD Kabupaten Jayapura dan cara ‘pemalangan’ makin biasa dilakukan11. Juga masalah narkoba yang melanda kelompok muda usia Papua.

2 mutu pendidikan merosot:

Bukan rahasia lagi bahwa pendidikan dasar kita semakin merosot karena sejumlah faktor: [1] kekerasan sosial-politik seperti terjadi di Wamena, 6 Oktober 2000, di Wasior Juni 2001, atau di Ilaga 28 September 2001 yang mengakibatkan lumpuhnya pendidikan di wilayah tersebut, [2] mutu dan dedikasi guru-guru menurun khususnya di luar perkotaan, [3] fasilitas pendidikan kurang memadai, [4] kesadaran orang tua murid terhadap pendidikan anak menurun yang berdampak pada kemerosotan keinginan belajar pada anak-anak.

BKESIMPULAN

Berdasarkan pengalaman Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam kemerdekaan tahun 1945, maka Belanda didalam menjajah Irian Barat sangat hati-hati sekali dalam meningkatkan kehidupan Masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda sengaja memperlambat perkembangan di Irian Barat/Nieuw Guinea sesuai dengan permintahaan dan kebutuhan orang-orang Irian Barat. Katakanlah bahwa ini suatu bentuk "Etis-Politik Gaya Baru". Termasuk didalamnya usaha untuk membentuk "Nasionalisme Papua". Cara Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Irian Jaya tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah sebab mereka hidup dalam suatu keadaan perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan tekanan dari Belanda.

Selamat melestarikan budaya baik yang ada dan s

elamat juga atas dibuangnya budaya yang buruk.



3


PERAN GEREJA DITENGAH-TENGAH MASYARAKAT PAPUA

Gereja-gereja di Tanah papua yang telah ditempatkan didaerah Papua merasa terpanggil untuk mewujudkan tanda kerajaan Allah yaitu : keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan dalam kehidupan berjemaat, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itulah sebabnya Gereja harus menjadi terang dan garam dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung, untuk mewujudkan tugas dan panggilannya sehingga muncul pertanyaan bagi gereja-gereja di Tanah Papua sekarang ini yaitu “APA PERAN GEREJA DITENGAH-TENGAH MASYARAKAT PAPUA PADA MASA KINI MAUPUN MASA YANG AKAN DATANG”?

A. faktor pendukung

Peran gereja ditengah-tengah masyarakat Papua memiliki beberapa hal penting yang merupakan keberhasilan yang dicapai, yaitu:

  1. Gereja telah ikut berpartisipasi dalam proses integritas Papua dengan menggunakan ideologi Theologi Pembebasan
  2. Kebanyakan masyarakat Papua mengenal perkembangan dunia lebih awal melalui sentuhan Gereja melalui bidang pendidikan (membangun sekolah dan mengajar di pedalaman sebagai bagian pelayanan dan panggilan), jalur perhubungan dengan membuka lapangan – lapangan terbang swasta (milik gereja).
  3. Melalui pelayanan/penginjilan telah tercipta kondisi yang memungkinkan terselenggaranya pendiedikan formal di tengah-tengah keterbelakangan orang Papua.
  4. Gereja mampu mengubah kehidupan orang papua yang dulunya tidak mengenal kebenaran menjadi manusia yang hidup didalam teran.

B. Faktor – Faktro Penghambat

Selain faktor pendukung seperti tersebut diatas, GKI dalam tugas dan panggilannya untuk berperan secara aktif ditengah-tengah masyarakat mengalami berbagai hambatan, antara lain:

  1. Daya

· Terbatasnya tenaga pendeta

· Terbatasnya tenaga guru

· Terbatasnya tenaga perawat

· Terbatasnya tenaga ekonomi

· Terbatasnya tenaga sosial

· Terbatasnya tenaga ahli hukum

· Krisisnya manajemen

· Krisisnya personalia

· Krisisnya keuangan

· Krisisnya administrasi

  1. Dana

· Terbatasnya Dana dan Fasilitas bagi program gereja

· Tingkat ekonomi warga masyarakat ditengah jemaat yang relatif rendah

  1. theologia

· banyaknya aliran gereja

· kurangnya kesiapan mental para petugas gereja yang ditempatkan pada tempat-tempat terpencil

· adanya nilai-nilai adat yang kurang menguntungkan

· adanya kekerasan dan larangan terhadap petugas gereja untuk menyuarakan kebenaran yang terjadi

· terlibatnya tenaga gereja kedalam dunia politik mengakibatkan staknasi gereja yang menjadi mandeg.

C. shalom dan sikap anti-kekerasan: sebuah refleksi teologis

Jika kenyataan yang digambarkan secara singkat di atas dikonfrontasikan dengan nilai-nilai alkitabiah, maka dapat ditarik suatu refleksi teologis. Saya mengambil titik pijakan pada kisah Penciptaan (Kej 1,1-2,4) yang akan dilanjutkan dengan kisah nabi-nabi dan akhirnya hidup dan karya Yesus sendiri 12.

Dalam penciptaan terdapat keadaan asali, yakni damai/ shalom yang dinyatakan dalam hubungan antar semua makhluk yang rukun, bersahabat, dan semua makan tumbuhan (ay. 30). Berkali-kali ditegaskan bahwa yang diciptakan itu baik dan khusus untuk manusia dikatakan sungguh amat baik (Kej 1,4.10.12.18.25. 31). Dengan demikian digambarkan apa arti ‘shalom' itu, yakni kepenuhan hidup, kesejahteraan dalam hidup.

Misalnya kasus perkosaan yang dilaporkan oleh Papua Pos, tgl. 26 Maret 2002, Dalam kasus sengketa tanah, harus dibedakan secara tajam antara hak atas tanah (adat) dan hak milik atas bangunan, perabot, dsb. Boleh jadi tanah dimiliki oleh seseorang atau suatu instansi secara tidak sah, tetapi hal ini tidak dapat membenarkan perampasan atas hak milik dengan cara pemalangan. Lihat misalnya, pasal 36 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Refleksi ini berinspirasi pada karangan Tisera, G., Komunitas Basis Pembawa Damai, Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, 2001. 6

Kesejahteraan hidup harian, hidup bersahabat dengan seluruh makhluk dan alam ciptaan, hubungan yang baik antar manusia dan Sang Pencipta13. Keadaan damai/ shalom itu berciri integral, rohani dan jasmani, berdimensi pribadi, sosial dan kosmis.

Keadaan yang damai tersebut selain merupakan pemberian gratis dari Allah tetapi juga diserahkan oleh Allah kepada manusia untuk ditangani dan dipelihara lebih lanjut. Allah memberikan dua syarat: [1] mengusahakan dan memelihara taman (Kej. 2,15) dan [2] mewujudkan situasi ideal itu berdasarkan perangkat nilai Allah sendiri janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati (ay. 16-17). Jelas ditegaskan oleh Allah bahwa manusia hanya dapat bertahan dalam keadaan damai jika mengikuti cara hidup dan pedoman yang ditetapkan oleh Allah. Jika tidak, risikonya amat nyata dan hebat: kematian.

Ternyata manusia tidak mampu memenuhi syarat kedua yang berisiko amat besar itu. Manusia menolak untuk taat kepada Allah. Manusia memilih untuk mengikuti kehendaknya sendiri. Oleh penulis kitab kejadian, tindakan ini dikategorikan sebagai akar kejahatan manusia yang menjadi sumber segala kekerasan. Kitab kejadian bab 3 melukiskan bagaimana keadaan damai berubah total dan seketika, yang dalam bahasa alkitab disebut dengan ‘dosa’. Dengan berdosa, manusia menghindari hubungan dengan Allah (ay. 8-10), mengkambing hitamkan Allah dan sesamanya (ay. 12-13), menginjak makhluk lain (ay. 16.20) dan dikecewakan oleh bumi yang digarap dengan kekerasan (ay. 17-19). Pada akhirnya manusia bertemu kembali dengan dirinya yang sendirian, kesepian, dan miskin. Inilah titik balik sejarah manusia menjadi sejarah meluasnya kekerasan14.

Sejak itu kekerasan melanda umat manusia: membunuh adik sendiri, Habel, (kej 4,1-8). Dalam diri Lamekh, kekerasan menjadi liar dan membabi buta (Kej 7,17-24). Kekerasan, akhirnya mencapai dimensi universal dan merusak bumi yang diciptakan Allah (Kej 6,11). Akar kekerasan manusia adalah hati manusia dan segela kecenderungannya yang membuahkan kejahatan (raah) belaka (Kej 6,5). Penulis kitab kejadian merumuskan kekerasan (hamas) sebagai pelanggaran atas hak sesama, penghilangan hak hidup secara paksa, setiap tingkah laku asosial yang melawan HAM dan keadilan. Hamas praktis mencakup segala unsur dosa. Situasi ini tidak bisa dibiarkan oleh Allah sehingga didatangkannya air bah untuk mengubah wajah dunia yang jahat (Kej 7,11). Dunia dikembalikan ke situasi shalom.

Paham damai dalam penciptaan tersebut menjadi titik acuan para nabi saat mereka berhadapan dengan bangsa Israel yang terbelah dua, mengalami krisis sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan, bahkan pengasingan. Para nabi, terutama Yesaya, menghadapi masyarakat Israel yang telah menjadi ‘sisa kecil’ yang tidak hanya dalam arti jumlah tetapi juga kadar jatidiri. Karena itulah Yesaya mewartakan jalan damai, rekonsiliasi dan peacebuilding. Visi damai para nabi tersebut dirangkum oleh Guido Tisera sbb:

Damai berarti harmoni manusia dengan Allah, dengan manusia, dengan ciptaan, atau kembali ke situasi awal (motif penciptaan). Hal ini berarti pembebasan dari perbudakan atau penjajahan (motif eksodus). Dasar kokoh bagi damai ialah keadilan dan kebenaran (sedaqah), khususnya bagi kaum tertindas atau tersisih. Damai juga bersifat ekumenis dan universal, persatuan dan kebersamaan bangsa-bangsa di Sion, Yerusalem baru. Damai perlu dibayar mahal dengan korban tulus. Damai adalah pemberian Allah yang mengadikan keterlibatan manusia. Mentalitas perang dan kekerasan, cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah harus segera diakhiri. Gaya hidup konsumtif dan kapitalistis, digantikan gaya hidup ugahari, solidaritas antarmanusia dan belas kasih terhadap alam.

Para nabi mewartakan damai dalam situasi serba krisis, dimana-mana kejahatan menguasai masyarakat, kemiskinan menjerat mayoritas masyarakat. Pengalaman iman orang Yahudi kemudian menghasilkan refleksi mengenai sosok Hamba Yahweh (Yes 52,13 – 53,12). Sosok manusia tak dikenal yang dengan sadar, berani, dan rela menanggung segala derita akibat kejahatan dan kekerasan manusia demi pemulihan hubungan manusia dengan Allah. Refleksi ini kemudian dikenakan pada diri Yesus, orang Nazaret.

Yesus lahir dalam suasana masyarakat Yahudi yang sedang dijajah. Sejak lahir dia sudah diancam oleh kejahatan dan kekerasan dalam diri Herodes (Mat 2,16). Dia harus ikut mengungsi ke Mesir bersama Yusuf dan Maria. Dalam masa penampilannya di muka umum, dia mengalami banyak pertentangan dengan kaum Saduki, Farisi, imam-imam kepala, bahkan rakyatnya sendiri (Luk 4, 22.24). Yesus dikorbankan oleh muridnya sendiri, Yudas Iskariot, dengan ciumannya (Mat 26,48-49, Mrk 14,44-45). Yesus ditinggalkan oleh kelompok inti yang telah lama dikaderkan. Ditolak oleh seluruh bangsa-nya di hadapan Pilatus yang lebih memilih Barabas, residivis kelas kakap. Berhadapan dengan itu semua Yesus buat apa? Apakah ia melawan dengan kekerasan? Apakah ia mengutuki bangsanya atau orang yang mengkhianati dia? Apakah ia memimpin gerakan perlawanan bawah tanah? Marilah kita lihat dalam perjalanan hidup Yesus.

Yesus juga menolak penggunaan kekerasan untuk mendatangkan Kerajaan Allah. “Pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu” (Mat 20,25-26). Pada saat mengutus murid-muridnya pergi berdua-dua untuk mewartakan kerajaan Allah, Yesus menginstruksikan dengan amat terperinci bahwa para murid tidak boleh membawa beka apa-apa dalam perjalanan, “Jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju” (Luk 9,3 bdk. Mat 10,10 yang menambahkan ‘kasut’). Kita tahu bahwa dalam konteks Palestina zaman itu, tongkat tidak hanya berarti penyangga badan tetapi juga alat bela diri terhadap musuh atau binatang buas. Berjalan tanpa kasut memustahilkan orang menghindari bahaya secara cepat. Karena itu tanpa tongkat dan kasut, seseorang tidak akan dapat membela diri, menggunakan kekerasan. Dengan kata lain, para murid diutus dengan cara dan membawa gaya hidup non-violence.

Puncak dari sikap damai, anti-kekerasan, berpegang pada kebenaran demi kerajaan Allah tampak dalam hari-hari penderitaan Yesus yang dicatat dengan amat rinci oleh keempat Injil. Saat Petrus hendak melawan prajurit-prajurit Imam Agung dengan pedang, Yesus mengatakan, “Sarungkanlah pedangmu. Barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang”. Saat Yesus ditolak oleh seluruh bangsa di hadapan Pilatus dan dinilai lebih rendah daripada Barabas, residivis kelas kakap, dia diam seribu bahasa (Mat 27,21-25). Saat orang menghujat Yesus di kayu salib, dia justru memohon kepada Bapa, “Ya, Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23,34). Pada saat-saat kritisnya, dia juga mengampuni perampok yang disalibkan bersamanya (Luk 23,43). Nada damai (shaμloΔm) tersebut tetap bergema dan menjadi sapaan khas yang diucapkan Yesus sesudah bangkit, “Damai sejahtera bagimu” (Luk 24,36), “Salam bagimu” (Mat 28,9), “Damai sejahtera bagi kamu” (Yoh 20,19.21).

Jelaslah bahwa seluruh hidup, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus membawa gaya hidup baru yang bercirikan damai, anti-kekerasan, kebenaran, dan keterarahan radikal kepada Allah. Hamba Yahweh telah digenapi dalam diri Yesus secara sempurna. Karena itu, Yesus memulihkan hubungan manusia dengan Allah yang sudah rusak karena sejarah kekerasaan akibat dosa manusia. Yesus menjadi lambang rekonsiliasi sejati yang melingkupi seluruh semesta alam (Kol 1,19-20).

D. Menjadi nabi di tanah sendiri

Setelah menganalisis kenyataan sosial, politik, budaya di Papua ini dan mengkonfrontasikannya dengan pesan alkitab, jelaslah bahwa terdapat sejumlah kesimpulan yang penting digarisbawahi. Pertama, Papua makin jauh dari suasana shalom karena warisan sejarah penginjilan kita sendiri, ketidakadilan struktural, politisasi agama, kemerosotan mutu hidup manusia. Kedua, kekerasan makin dihalalkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Ketiga, panggilan alkitabiah untuk mewartakan shaμloΔm tetap menjadi panggilan gereja-gereja.
tantangan terbesar justru datang dari dalam diri kita sendiri: sejarah masa lampau, gaya hidup yang tidak kristen, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, selain tantangan dari luar yang tidak kalah sulit.

Untuk mewujudkan gaya hidup Yesus damai, anti kekerasan, menegakkan keadilan, kami tawarkan sejumlah pikiran berikut sekaligus menutup uraian ini.

a. Membangun ‘budaya damai’ dan ‘anti kekerasan’:

Pentinglah bagi kita untuk betul memahami secara menyeluruh gaya hidup damai dan anti kekerasan yang sudah diteladankan oleh Yesus sendiri18. Pengertian itu perlu digali, diresapkan, dan diaktualisasikan dalam berbagai lapisan masyarakat seperti sekolah-sekolah, lembaga-lembaga adat, kelompok-kelompok profesi, kelompok-kelompok politik agar harkat kemanusiaan kita tidak diperalat demi kepentingan manapun. Penghayatan atas nilai dasar damai dan anti-kekerasan makin mendapat tantangan luarbiasa baik secara global dengan atmosfer perang melawan terorisme maupun secara nasional dengan konflik bersenjata yang makin dianggap lumrah. Bagaimanakah upaya gereja-gereja di Papua menghidupkan dan menyuarakan dengan tegas nilai dasar alkitabiah tersebut sebagai nilai tertinggi di atas segala kepentingan?

b. Mengembangkan dialog antaragama dan antarbudaya:

Dalam upaya membangun budaya damai, amatlah penting kita mengadakan dialog antaragama dan antarbudaya. Langkah ini amat penting untuk memperluas pemahaman kita terhadap ‘yang lain’ sehingga perbedaan tidak lagi dinilai dan dihayati sebagai ancaman melainkan sebagai fakta dunia ciptaan yang perlu saling melengkapi. Dialog tersebut tidak hanya terbatas pada kegiatan ilmiah tetapi dapat dikembangkan dengan program kegiatan berkelanjutan yang menyentuh tingkat akar rumput. Misalnya program live-in di sekolah-sekolah menengah untuk pertukaran pelajar Papua dengan non-Papua agar masing-masing pihak mengalami seluruh dimensi hidup masing-masing. Program kuliah hubungan antaragama di STT/STFT yang diselenggarakan bersama antar berbagai agama, khususnya agama Islam, Budha, Hindu, agar pemahaman para pelayan umat cukup lengkap dan mampu memahami perbedaan teologis maupun praktis secara sehat, dewasa, dan manusiawi. Apakah kita sudah berani mengambil langkah terobosan untuk melewati batas-batas budaya, agama, warisan sejarah dengan semangat rekonsiliasi alkitabiah?

c. Menegakkan keadilan dan kebenaran:

Berdasarkan teladan dan ajaran Yesus Kristus, penegakan keadilan dan kebenaran merupakan panggilan hakiki dari gereja-gereja. Karenanya, panggilan itu tidak bisa diserahkan kepada kalangan LSM. Kalangan LSM –yang tentu amat berjasa dalam upaya penegakan keadilan—merupakan pihak yang menangani aspek teknis sedangkan perjuangan yang bersifat visioner tidak dapat dialihkan pada pihak manapun jika gereja masih hendak mengklaim sebagai pembawa warta Kristus. Inilah salah satu segi fundamental dalam profetisme gereja. Karena itu tidak mengherankan jika gereja-gereja di Papua kerapkali mengeluarkan laporan atau surat terbuka untuk menanggapi situasi sosio-politik di Papua; bahkan mendirikan badan pelayanan umat yang secara khusus menangani persoalan hak asasi manusia dan rekonsiliasi seperti Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) di Keuskupan Jayapura, Merauke, dan Agats; Biro Keadilan dan Perdamaian dalam Sinode GKII; Biro Hukum dan HAM dalam Sinode GKI di Tanah Papua. Pelayanan khas gerejawi tersebut amat penting guna menyuarakan suara kenabian dalam tingkat praksis sosio-politik. Oleh karenanya kita perlu bertanya sejauh mana pelayanan tersebut telah dibekali dengan SDM yang visioner, profesional, dan purnawaktu? Juga bagaimana badan-badan pelayanan tersebut dapat bekerjasama secara efektif?

d. Mengevaluasi proyek-proyek bersama:

Gereja-gereja sudah memprakarsai sejumlah proyek bersama di sejumlah bidang pelayanan masyarakat: bidang kesehatan dengan Yayasan Bethesda, bidang pendidikan dengan sekolah SMU gabungan, bidang pengembangan masyarakat desa dengan YPMD, bidang pendidikan hukum dengan LBH Jayapura, bidang pendidikan dan perjuangan HAM dengan ELSHAM Papua. Tinggal sebuah pertanyaan sejauh mana proyek-proyek bersama tersebut mewujudkan suara kenabian gereja di berbagai bidang kehidupan nyata dalam masyarakat. Apakah pelayanan-pelayanan tersebut memiliki nilai lebih dibandingkan pelayanan negeri/ pemerintah? Sejauh mana gereja-gereja ambil langkah serius untuk memajukan prakarsa-prakarsa terobosan itu di masa mendatang?

e. Kritis terhadap politisasi agama

Gereja-gereja kiranya perlu tetap dan makin kritis dengan upaya politisasi agama. Ruang untuk itu amat terbuka dengan kecenderungan global dan suasana otonomisasi daerah20, termasuk Otsus. Dengan UU No. 21/2001 tentang Otonomi khusus Papua, kalangan agama-agama mendapat peluang untuk ambil bagian dalam MRP. Peluang ini wajar dalam sistem demokrasi dimana setiap pihak dalam masyarakat memiliki hak untuk ambil bagian dalam pemerintahan. Namun demikian, gereja-gereja perlu waspada karena bidang yang dimasuki adalah murni bidang kekuasaan praktis. Gereja-gereja perlu bertanya bagaimana suara kenabian dapat ditampung dalam kerangka politik praktis? Bagaimana gereja-gereja dapat terhindar dari upaya politisasi agama sekaligus tetap hadir sebagai nabi dalam dunia politik?

f. Meningkatkan mutu hidup

Dari paparan fakta mengenai peningkatan kriminalitas dan penyebaran penyakit HIV/AIDS, kiranya kita perlu bertanya dengan serius bagaimana pastoral terhadap jemaat-jemaat agar menghargai anugerah kehidupan yang diberikan Allah. Gereja-gereja hanya bisa hidup kalau keluarga-keluarga kristen hidup secara kristen. Saat keluarga-keluarga kristen merosot mutu hidupnya, tak bisa dihindari konsekuensi kemerosotan mutu gereja-gereja sendiri. Dengan menyimak data-data terbaru mengenai penyakit AIDS, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, miras dsb. kita perlu berefleksi bagaimana kaitan iman dengan perbuatan? Apakah kebaktian dan ritus keagamaan kita sungguh menjadi cermin iman atau seremoni?

Lampiran 1. Kasus-Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Era Reformasi

Didokumentasikan oleh SKP Keuskupan Jayapura Per Desember 2001 No.

Kasus

Penanganan

secara hukum

Hasil

Keterangan

1.

Peristiwa penembakan Steven Suripatty, 4 Juli 1998

POMDAM VIII/ Trikora

Tidak ada kelanjutan

POMDAM berjanji mengusut tuntas peristiwa penembakan tersebut

2.

Penembakan oleh TNI terhadap pengunjuk rasa di Biak, 6 Juli 1998

Investigasi awal Komnas HAM

Tidak ada kelanjutan

Komnas HAM berjanji mengadakan investigasi menyeluruh

3.

Laporan operasi militer pasca pembebasan sandera di Mapnduma, Mei 1996

DPR-RI dan Komnas HAM berjanji menindaklanjuti laporan

Tidak ada

Laporan disusun oleh Els-HAM Irja

4.

Peristiwa kekerasan di Pegunungan Bintang 1999

Pangdam VIII/Trikora mengirim Tim perwira untuk investigasi

Pergantian personil Polri dan militer,

Permintaan maaf

Perubahan perilaku Polri dan militer

Hasil ini melegakan masyarakat Pegunungan Bintang

5.

Operasi penurunan bendera Bintang Kejora di Timika, 2 Desember 1999

Kapolda Irja

Tidak jelas

Kapolda berjanji menindak anak buahnya yang menggunakan peluru tajam

6.

Operasi penurunan Bendera Bintang Kejora di Merauke, 16 Februari 2000

Tidak ada

Tidak ada

7.

Penyerangan polisi terhadap penduduk sipil di Nabire, 28 Februari – 4 Maret 2000

Tidak ada

Tidak ada

8.

Penembakan polisi dan TNI AL terhadap penduduk sipil di Sorong, 27 Juli 2000

Tidak ada

Tidak ada

9.

Operasi penurunan Bendera Bintang Kejora di Sorong, 22 Agustus 2000

Tidak ada

Tidak ada

10.

Operasi penurunan Bendera Bintang Kejora di Wamena, 6 Oktober 2000

Kunjungan Komnas HAM ke Wamena

Tidak ada kelanjutan

Pemda Kab. Jayawijaya mengisolasi wilayah

11.

Penyerangan polisi terhadap penduduk sipil di Merauke, 4 November 2000

Tidak ada

Tidak ada

12.

Laporan keadaan hak asasi manusia di Paniai, 25 November 2000 kepada Pangdam XVII/ Trikora

Tidak ada

Tidak ada

Laporan ditandatangani oleh Uskup Jayapura, Ketua Sinode GKI, Ketua Sinode GKII

13.

Penangkapan dan penahanan terhadap

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Bebas demi hukum

Empat mahasiswa didampingi oleh tim



4


POLITIK

Papua seperti sedang ditindis beban berat dan ada juga yang merasa seperti sebagai tawanan yang selalu dirantai oleh kebijakan politik pemerintah yang cenderung mempropagandakan masyarakat Papua. Aturan-aturan pemerintah yang telah ditetapkan, bagi rakyat papua hal itu merupakan malapetaka bagi mereka sebuah teofani perpolitikan praktis yang sedang diterapak secara halus ditengah-tengah masyarakat papua. Berangkat dari inilah yang mengakibatkan kemarahan rakyat papua karena mereka merasa dirinya miskin diatas kekayaan dan harta mereka yang telah dianugerahi oleh Tuhan secara utuh kepada mereka, yang dirasa telah banyak dicuri dengan cara menipu (polotocal system lie).

  • Situasi politik local

Maraknya pesta demokrasi Masyarakat Indonesia yang sedang dipersiapkan dengan menjagokan masing-masing kadidat pada tanun 2009, membuat situasi kehidupan masyarakat dipapau begitu gegap gempita. Ada suara yang memberikan dukungan, ada yang memboikot pemilu, dengan alas an mereka sudah tidak percaya kepada pemerintah.

  • Situasi Politik Nasional

Masyarakat Papua semakin tidak mengikuti aturan-aturan nasional sebagaimana yang terjadi, misalnya mereka memberontak tarhadap undang-undang seperti UU Pornografi yang mana dianggap mematikan dan menghilangkan sebagian budaya orang papua. Hal ini dianggap sebagai suatu politik baru yang diterapkan secara nasional oleh pemerintah. Karena hal itu merupakan suatu cara penghapusan jatidiri suatu bangsa yang notabene adalah Papua termasuk didalamnya bali dan yang lain sebagainya.

  • Situasi Politik Internasional

Dari ketakpuasan ini, maka muncullah nasionalisme orang papua yang mengatakan bahwa, daripada mati ditangan penjajah lebih baik mereka memperjuangkan hak dan kebebasan mereka untuk keluar dari NKRI (Merdeka). Karena situasi-situasi dan keputusan-keputusan pemerintah yang bukan saja menganak tirikan orang papua akan tetapi membenci mereka, sebagai suatu tanda bukti perkataan seorang Funding father RI Ali Murtopo yang mengatakan bahwa “saya tidak membutuhkan orang Papua, tetapi saya butuhkan negeri papua”, bahasa senada telah diungkapkan oleh beberapa senior kenegaraan yang tidak kami sebutkan namanya adalah “Jika papua ingin merdeka, maka pergilah mengemis kepada amerika untuk memberikan sebuah pulau di sana bagi kalian hidup, atau kalian orang papua pindah saja ke planet mars”. Suatu ungkapan diskriminasi yang sedang merajalela dan menyakitkan orang papua secara keseluruhan.

Catatan:

Tulisan-tilisan ini merupakan refleksi terhadap situasi orang Papua yang sedang berlangsung saat ini.