Launching
Minggu, 25 Januari 2009
Wanita dalam Mitos Seks!
OLEH HAMAH SAGRIM
Luas beredar anggapan bahwa dorongan seksual wanita jauh lebih rendah daripada pria.
Mitos tentang seks beredar sangat luas di masyarakat. Bahkan begitu kuat pengaruhnya sehingga mempengaruhi pandangan dan perilaku seksual masyarakat.
Tidak jarang perilaku akibat mitos seks menimbulkan akibat buruk bagi yang bersangkutan maupun pasangannya.
Pada umumnya mitos seks tumbuh subur di dalam masyarakat dengan tingkat pengetahuan seksualitas yang rendah. Di masyarakat seperti itu pula mitos seks sangat mudah mempengaruhi perilaku seksual, yang tidak jarang kemudian menimbulkan akibat yang tidak diinginkan.
Semakin bertambah tingkat pengetahuan seksualitas masyarakat, semakin kurang pengaruh mitos di dalam perilaku seksual karena mereka semakin mengerti bahwa informasi seks di dalam mitos itu salah dan menyesatkan.
Berikut ini beberapa contoh mitos tentang wanita dan seks yang beredar luas di masyarakat dan diyakini sebagai suatu informasi yang benar:
Wanita tak butuh hubungan seks
Luas beredar anggapan bahwa dorongan seksual wanita jauh lebih rendah daripada pria. Dengan kata lain wanita tidak memerlukan hubungan seksual unyuk memenuhi dorongan seksual, sedangkan pria sangat memerlukan.
Anggapan ini salah sama sekali. Pada dasarnya dorongan seksual wanita sama dengan pria. Kalau tampak perbedaan, itu hanya dalam mengekspresikannya sebagai akibat nilai sosial dan moral yang lebih menghambat wanita.
Tetapi pada kenyataannya memang banyak wanita yang kemudian kehilangan dorongan seksualnya. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan wanita mencapai orgasme dalam kehidupan seksualnya. Keadaan ini mudah dimengerti karena dorongan seksual dipengaruhi oleh hormon seks khususnya testosteron, rangsangan seksual yang diterima, faktor psikis, dan pengalaman seksual sebelumnya.
Vagina kering
Mitos seks yang lain ialah tentang vagina kering yang katanya lebih memberikan kepuasan seksual daripada yang basah. Lalu gencarlah para wanita berusaha dengan berbagai cara agar vaginanya tidak basah.
Sebenarnya ini adalah usaha yang menentang reaksi seksual yang terjadi secara normal pada wanita. Salah satu reaksi seksual yang terjadi akibat rangsangan seksual pada wanita ialah terjadinya perlendiran pada dinding vagina sehingga vagina menjadi licin. Dengan demikian maka berarti wanita telah siap sehingga hubungan seksual dapat berlangsung dengan normal, tanpa gangguan.
Kalau vagina masih kering karena tidak ada perlendiran yang terjadi, berarti wanita itu tidak cukup mengalami reaksi seksual sehingga belum siap melakukan hubungan seksual. Kalau dalam keadaan demikian hubungan seksual dilakukan juga, maka akan terjadi gangguan seperti terasa sakit baik pada wanita maupun pria. Lebih lanjut dapat terjadi peradangan vagina.
Begitu kuatnya mitos ini mempengaruhi para wanita dan juga pria, sehingga banyak wanita karena dorongan pria pasangannya, berusaha dengan berbagai cara agar vaginanya tetap kering.
Berbagai jamu ditawarkan oleh para pedagang, memanfaatkan kebodohan para wanita dan pria pasangannya karena pengaruh mitos itu. Kalau toh mereka berhasil membuat vaginanya kering, sebenarnya mereka menyiksa dirinya sendiri karena hubungan seksual kemudian berlangsung tidak normal akibat tidak terjadi reaksi fisiologik terhadap rangsangan seksual yang berupa perlendiran vagina.
Kehebatan seks etnis tertentu
Tentang "kehebatan" seksual wanita dari etnik tertentu juga telah beredar luas di masyarakat. Menurut mitos itu, wanita dari etnis tertentu mempunyai kelebihan pada vaginanya sehingga lebih memberikan kepuasan seksual. Mitos ini sungguh tidak berdasar, karena secara fisik tidak ada perbedaan pada vagina berdasarkan etnis.
Kalaupun ada perbedaan antara wanita dan etnis yang berbeda, perbedaan hanyalah dalam pandangan dan perilaku seksual yang disebabkan karena perbedaan nilai sosial dan budaya.
Perbedaan sosial dan budaya memang mempengaruhi pandangan tentang seksualitas, dan pandangan tentang seksualitas inilah yang kemudian mempengaruhi perilaku seksual.
Orgasme pada wanita
Mitos tentang orgasme pada wanita juga beredar luas. Wanita itu dianggap sama dengan pria yang hanya dapat mencapai sekali orgasme pada setiap kali hubungan seksual. Maka wanita yang mampu mencapai orgasme berkali-kali dalam satu kali hubungan seksual, dianggap tidak normal atau mengalami kelainan.
Anggapan ini jelas salah, karena justru itulah salah satu perbedaan antara orgasme pada pria dan wanita. Sebagian wanita memang mampu mengalami orgasme beberapa kali, yang disebut multiple orgasm.
Hubungan seksual saat menstruasi
Sudah sejak lama, barangkali sejak mulainya sejarah umat manusia, mitos tentang menstruasi telah beredar. Peristiwa menstruasi dianggap sesuatu yang kotor bahkan dosa. Maka hubungan seksual yang dilakukan pada saat menstruasi dianggap sangat berbahaya, dapat menimbulkan penyakit pada pria dan wanita.
Sesungguhnya menstruasi adalah suatu peristiwa fisiologik yang dialami oleh wanita normal. Justru wanita tidak normallah yang tidak mengalami menstruasi. Perdarahan yang terjadi waktu menstruasi berasal dari dinding dalam rahim akibat pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil di situ karena pengaruh perubahan keseimbangan hormon. Jadi perdarahan yang terjadi bukan berasal dari vagina, dan darah yang dikeluarkan adalah darah normal bukan darah yang dapat menimbulkan penyakit atau akibat buruk yang lain.
Maka dan sudut kesehatan seksual, sebenarnya tidak ada alasan yang rasional untuk melarang orang melakukan hubungan seksual pada saat menstruasi asal kedua pihak berada dalam keadaan sehat.*
TEORI PEMBANGUNAN DUNIA KETIGA
Persoalan-persoalan yang dimaksud yakni bagaimana mempertahankan hidup atau meletakkan dasar-dasar ekonominya agar dapat bersaing di pasar internasional.
Untuk mengukur pembangunan atau pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari:
1.Kekayaan rata-rata yakni produktifitas masyarakat atau produktifitas negara tersebut melalui produk nasional bruto dan produk domestic bruto.
2.Pemerataan: tidak saja kekayaan atau produktifitas bangsa yang dilihat, tetapi juga pemerataan kekayaan dimana tidak terjadi ketimpangan yang besar antara pendapatan golongan termiskin, menengah dan golongan terkaya. Bangsa yang berhasil dalam pembangunan adalah bangsa yang tinggi produktifitasnya serta penduduknya relatif makmur dan sejahtera secara merata.
3.Kualitas kehidupan dengan tolok ukur PQLI (Physical Quality of Life Index) yakni: rata-rata harapan hidup sesudah umur satu tahun, rata-rata jumlah kematian bayi, dan rata-rata presentasi buta dan melek huruf.
4.Kerusakan lingkungan.
5.Kejadian sosial dan kesinambungan.
Teori Modernisasi: Pembangunan sebagai masalah internal.
Teori ini menjelaskan bahwa kemiskinan lebih disebabkan oleh faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negara yang bersangkutan.
Ada banyak variasi dan teori yang tergabung dalam kelompok teori ini antara lain adalah:
1.Teori yang menekankan bahwa pembangunan hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi. Teori ini biasanya dikembangkan oleh para ekonom. Pelopor teori antara lain Roy Harrod dan Evsay Domar yang secara terpisah berkarya namun menghasilkan kesimpulan sama yakni: pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tabungan dan investasi.
2.Teori yang menekankan aspek psikologi individu. Tokohnya adalah McClelaw dengan konsepnya The Need For Achievment dengan symbol n. ach, yakni kebutuhan atau dorongan berprestasi, dimana mendorong proses pembangunan berarti membentuk manusia wiraswasta dengan n.ach yang tinggi. Cara pembentukanya melalui pendidikan individu ketika seseorang masih kanak-kanak di lingkungan keluarga.
3.Teori yang menekankan nilai-nilai budaya mempersoalkan masalah manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya di sekitarnya, khususnya nilai-nilai agama. Satu masalah pembangunan bagi Max Weber (tokoh teori ini) adalah tentang peranan agaman sebagai faktor penyebab munculnya kapitalisme di Eropa barat dan Amerika Serikat. Bagi Weber penyebab utama dari semua itu adalah etika protestan yang dikembangkan oleh Calvin.
4.Teori yang menekankan adanya lembaga-lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan sebelum lepas landas dimulai. Bagi W.W Rostow, pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus dari masyarakat terbelakang ke masyarakat niaga. Tahap-tahapanya adalah sbb:
a.Masarakat tradisional=belum banyak menguasai ilmu pengetahuan.
b.Pra-kondisi untuk lepas landas= masyarakat tradisional terus bergerak walaupun sangat lambat dan pada suatu titik akan mencapai posisi pra-kondisi untuk lepas landas.
c.Lepas landas : ditandai dengan tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi.
d.Jaman konsumsi massal yang tinggi. Pada titik ini pembangunan merupakan proses berkesinambungan yang bisa menopang kemajuan secara terus-menerus.
5.Teori yang menekankan lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan. Tokohnya Bert E Hoselitz yang membahas faktor-faktor non-ekonomi yang ditinggalkan oleh W.W Rostow. Hoselitz menekankan lembaga-lembaga kongkrit. Baginya, lembaga-lembaga politik dan sosial ini diperlukan untuk menghimpun modal yang besar, serta memasok tenaga teknis, tenaga swasta dan tenaga teknologi.
6.Teori ini menekankan lingkungan material. Dalam hal ini lingkungan pekerjaan sebagai salah satu cara terbaik untuk membentuk manusia modern yang bisa membangun. Tokohnya adalah Alex Inkeler dan David H. Smith.
Teori ketergantungan.
Teori ini pada mulanya adalah teori struktural yang menelaah jawaban yang diberikan oleh teori modernisasi.
Teori struktural berpendapat bahwa kemiskinan yang terjadi di negara dunia ketiga yang mengkhusukan diri pada produksi pertanian adalah akibat dari struktur pertanian adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang eksploitatif dimana yang kuat mengeksploitasi yang lemah.
Teori ini berpangkal pada filsafat materialisme yang dikembangkan Karl Marx. Salah satu kelompok teori yang tergolong teori struktiral ini adalah teori ketergantungan yang lahir dari 2 induk, yakni seorang ahli pemikiran liberal Raul Prebiesch dan teori-teori Marx tentang imperialisme dan kolonialisme serta seorang pemikir marxis yang merevisi pandangan marxis tentang cara produksi Asia yaitu, Paul Baran.
1.Raul Prebisch : industri substitusi import. Menurutnya negara-negara terbelakang harus melakukan industrialisasi yang dimulai dari industri substitusi impor.
2.Perdebatan tentang imperialisme dan kolonialisme. Hal ini muncul untuk menjawab pertanyaan tentang alasan apa bangsa-bangsa Eropa melakukan ekspansi dan menguasai negara-negara lain secara politisi dan ekonomis. Ada tiga teori:
a.Teori God:adanya misi menyebarkan agama.
b.Teori Glory:kehausan akan kekuasaan dan kebesaran.
c.Teori Gospel:motivasi demi keuntungan ekonomi.
3.Paul Baran: sentuhan yang mematikan dan kretinisme. Baginya perkembangan kapitalisme di negara-negara pinggiran beda dengan kapitalisme di negara-negara pusat. Di negara pinggiran, system kapitalisme seperti terkena penyakit kretinisme yang membuat orang tetap kerdil.
Ada 2 tokoh yang membahas dan menjabarkan pemikirannya sebagai kelanjutan dari tokoh-tokoh di atas, yakni:
1.Andre Guner Frank : pembangunan keterbelakangan. Bagi Frank keterbelakangan hanya dapat diatasi dengan revolusi, yakni revolusi yang melahirkan sistem sosialis.
2.Theotonia De Santos : Membantah Frank. Menurutnya ada 3 bentuk ketergantungan, yakni :
a.Ketergantungan Kolonial: hubungan antar penjajah dan penduduk setempat bersifat eksploitatif.
b.Ketergantungan Finansial- Industri: pengendalian dilakukan melalui kekuasaan ekonomi dalam bentuk kekuasaan financial-industri.
c.Ketergantungan Teknologis-Industrial: penguasaan terhadap surplus industri dilakukan melalui monopoli teknologi industri.
Ada 6 inti pembahasan teori ketergantungan:
1.Pendekatan keseluruhan melalui pendekatan kasus.
Gejala ketergantungan dianalisis dengan pendekatan keseluruhan yang memberi tekanan pada sisitem dunia. Ketergantungan adalah akibat proses kapitalisme global, dimana negara pinggiran hanya sebagai pelengkap. Keseluruhan dinamika dan mekanisme kapitalis dunia menjadi perhatian pendekatan ini.
2.Pakar eksternal melawan internal.
Para pengikut teori ketergantungan tidak sependapat dalam penekanan terhadap dua faktor ini, ada yang beranggapan bahwa faktor eksternal lebih ditekankan, seperti Frank Des Santos. Sebaliknya ada yang menekan factor internal yang mempengaruhi/ menyebabkan ketergantungan, seperti Cordosa dan Faletto.
3.Analisis ekonomi melawan analisi sosiopolitik
Raul Plebiech memulainya dengan memakai analisis ekonomi dan penyelesaian yang ditawarkanya juga bersifat ekonomi. AG Frank seorang ekonom, dalam analisisnya memakai disiplin ilmu sosial lainya, terutama sosiologi dan politik. Dengan demikian teori ketergantungan dimulai sebagai masalah ekonomi kemudian berkembang menjadi analisis sosial politik dimana analisis ekonomi hanya merupakan bagian dan pendekatan yang multi dan interdisipliner analisis sosiopolitik menekankan analisa kelas, kelompok sosial dan peran pemerintah di negara pinggiran.
4.Kontradiksi sektoral/regional melawan kontradiksi kelas.
Salah satu kelompok penganut ketergantungan sangat menekankan analisis tentang hubungan negara-negara pusat dengan pinggiran ini merupakan analisis yang memakai kontradiksi regional. Tokohnya adalah AG Frank. Sedangkan kelompok lainya menekankan analisis klas, seperti Cardoso.
5.Keterbelakangan melawan pembangunan.
Teori ketergantungan sering disamakan dengan teori tentang keterbelakangan dunia ketiga. Seperti dinyatakan oleh Frank. Para pemikir teori ketergantungan yang lain seperti Dos Santos, Cardoso, Evans menyatakan bahwa ketergantungan dan pembangunan bisa berjalan seiring. Yang perlu dijelaskan adalah sebab, sifat dan keterbatasan dari pembangunan yang terjadi dalam konteks ketergantungan.
6.Voluntarisme melawan determinisme
Penganut marxis klasik melihat perkembangan sejarah sebagai suatu yang deterministic. Masyarakat akan berkembang sesuai tahapan dari feodalisme ke kapitalisme dan akan kepada sosialisme. Penganut Neo Marxis seperti Frank kemudian mengubahnya melalui teori ketergantungan. Menurutnya kapitalisme negara-negara pusat berbeda dengan kapitalisme negara pinggiran. Kapitalisme negara pinggiran adalah keterbelakangan karena itu perlu di ubah menjadi negara sosialis melalui sebuah revolusi. Dalam hal ini Frank adalah penganut teori voluntaristik. [C 2002)
Data teori rostofarian
Adalah Walt Whitman Rostow, orang yang memperkenalkan teori pertumbuhan ekonomi tahapan linear. Tahapan pertumbuhan ini dikenal sebagai model pembangunan lepas landas Rostow (rostovian take-off model). Mengacu pada teori ini, perubahan dari kondisi terbelakang (underdeveloped) menjadi maju (developed) dapat dicapai oleh semua negara dengan melalui lima tahapan Sebelum suatu negara berkembang menjadi negara maju, harus dilalui suatu tahap yang disebut tahap tinggal landas (take off). Teori ini menyarankan agar negara-negara sedang berkembang (developing country) tinggal mengikuti saja seperangkat aturan pembangunan tertentu untuk tinggal landas, sehingga pada gilirannya akan berkembang menjadi negara maju (julissarwritting.blogspot.com).
Kelima tahapan tersebut yaitu masyarakat tradisional, pra-kondisi untuk lepas landas, lepas landas, menuju kedewasaan, dan zaman konsumsi massa tinggi. Kelima tahap pertumbuhan tersebut berlangsung secara linear. Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi pembangunan yaitu investasi, konsumsi dan tren sosial dalam tingkatan masing-masing.
Tahapan Masyarakat Tradisional
Adalah masyarakat yang memiliki struktur yang berkembang terbatas pada fungsi-fungsi produksi. Berbasis pada pengetahuan dan teknologi pre-newtonian yang percaya bahwa dunia eksternal hanya tunduk pada hukum yang dapat dipelajari. Bahwa produktivitas manusia tergantung pada tersedianya barang-barang produksi bukan pada kemampuan akal atau kecerdikan manusia.
Meskipun konsepsi tentang masyarakat tradisional selalu berubah, namun ada beberapa fakta sentral tentang masyarakat tradisional. Pertama, tingkat kemampuan output per individu terbatas. Keterbatasan itu disebabkan oleh tidak tersedianya teknologi modern untuk mengolah potensi yang ada. Kalaupun tersedia, teknologi modern tersebut tidak diterapkan secara tepat dan sistematis.
Kedua, kondisi masyarakat cenderung kurang stabil. Misalnya luas daerah dan volume perdagangan berfluktuasi seiring dengan tingkat pergolakan sosial politik. Berbagai kegiatan pertanian dan manufaktur berkembang tetapi tingkat produktivitasnya terbatasi oleh tidak tersedianya pengetahuan dan skill penguasaan teknologi modern.
Ketiga, memusatkan perhatian pada pengembangan sektor pertanian. Pemusatan tersebut berakar pada produktivitas mereka yang terbatas. Corak masyarakat tradisional yang agraris ini memunculkan struktur social yang bersifat hierarkis. Hubungan keluarga dan klan memaikan peranan besar dalam organisasi sosial.
Keempat, corak kepemimpinan masih bersifat feodalistik. Pusat kekuatan politik umumnya dibawah kendali para tuan tanah. Untuk mengontrol dan mengendalikan kekuasaan, mereka memiliki pegawai atau antek-antek yang patuh.
Tahapan Pra-Kondisi untuk Lepas Landas
Setelah tahapan tradisional, selanjutnya masyarakat memasuki tahap pra kondisi untuk lepas landas, atau masa transisi. Selama proses ini berlangsung masyarakat mengalami transformasi melalui berbagai cara yang diperlukan masyarakat untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tahapan prakondisi lepas landas mulanya berkembang di Eropa Barat pada awal abad 18. Ketika itu wawasan ilmu pengetahuan modern mulai digunakaan dalam fungsi-fungsi produksi baru di sektor pertanian dan industri. Didukung dengan situasi yang dinamis akibat adanya ekspansi mendatar pasaran dunia dan persaingan internasional. Namun apa yang terjadi pada masa abad pertengahan turut andil dalam pembentukan prasyarat untuk lepas landas di Eropa Barat.
Inggris, sebagai salah satu negara di Eropa Barat, adalah negara pertama yang secara penuh telah membangun prasyarat untuk lepas landas. Hal ini bisa terjadi karena Inggris memiliki beberapa kelebihan antara lain keadaan geografis yang menguntungkan, sumber daya alam, peluang perdagangan, struktur sosial dan politik yang lebih baik dibanding negara tetangganya.
Selain faktor internal, perubahan pada tahap kedua ini juga disebabkan oleh adanya pengaruh dari luar, masyarakat yang lebih maju. Bentuk invasi atau penjajahan yang dilakukan bangsa Eropa terhadap negara dunia ketiga, yang hampir semuanya masyarakat tradisional, telah memacu keruntuhan tradisionalitas itu sendiri. Invasi-invasi bangsa Eropa juga memasukkan dan menggerakkan nilai modernitas di masyarakat tradisional. Bukan saja karena modernitas menjanjikan kemajuan ekonomi, tetapi justru dengan kemajuan ekonomilah beberapa tujuan lainnya bisa dicapai.
Pada tahap ini ditandai dengan diterimanya pendidikan sekuler yang mengajarkan tentang perpindahan modal, khususnya melalui pendirian bank dan mata uang. Munculnya kalangan wirausahawan dengan motode-metode produksi yang baru (en.wikipedia.org).
Tahapan Lepas Landas
Masa lepas landas terjadi ketika pertumbuhan sektor menjadi suatu yang wajar dan masyarakat digerakkan lebih banyak oleh proses ekonomi daripada tradisi. Pada level ini norma pertumbuhan ekonomi terbangun dengan baik.
Di negara-negara kaya, terutama yang penduduk utamanya berasal dari Inggris seperti Amerika Serikat, Kanada, stimulus utama menuju lepas landas adalah teknologi. dalam kasus umum, tahap lepas landas tidak hanya menunggu terbentuknya modal eksploitasi sosial dan perkembangan teknologi di sektor industri dan pertanian, tetapi juga menunggu kemunculan kekuasaan politik dari suatu kelompok.
Selama tahap lepas landas, industri berkembang dengan pesat, banyak industri baru bermunculan. Pada gilirannya merangsang kebutuhan atas layanan jasa yang mendukung para pekerja industri. Pesatnya industri di masa ini memberikan peningkatan pendapatan para pekerja. Tabungan mereka gunakan untuk terlibat dalam kegiatan sektor modern. Dari sini muncul kelas baru pengusaha.
Setelah tahap lepas landas, suatu negara membutuhkan waktu 50 – 100 tahun untuk mencapai tahap kedewasaan.
Menuju Kedewasaan
Sekurangnya dibutuhkan waktu 40 tahun setelah lepas landas, level kedewasaan ekonomi suatu negara dapat tercapai. Fokus perekonomian kini bergeser dari industri dan teknologi menuju proses perluasan yang lebih baik dan secara teknologi seringkali lebih kompleks. Tahap kedewasaan merujuk pada kebutuhan ekonomi untuk melakukan difersifikasi. Ini adalah tahapan di mana suatu perekonomian menunjukkan kapasitas teknologi maupun manajerial untuk memproduksi bukan segalanya, melainkan apa saja yang dikehendaki untuk diproduksi.
Difersifikasi ini pada akhirnya mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan standar hidup, seperti misalnya masyarakat tidak perlu lagi mengorbankan kenyamanannya untuk menguatkan sektor tertentu.
Zaman Konsumsi Massa Tinggi
Zaman konsumsi massa tinggi merupakan periode yang kini dialami oleh banyak warga Negara Barat di mana konsumen cenderung pada barang konsumsi yang tahan lama. Pada tahap sebelumnya, terjadi dua hal penting yaitu pendapatan riil per kapita naik pada titik dimana sebagian besar masyarakat memiliki tingkat konsumsi yang melebihi kebutuhan dasar.
Sebagai kelanjutan dari tahap kedewasaan ekonomi, masyarakat tak lagi berhasrat besar melakukan ekspansi ekonomi. Masyarakat cenderung menggunakan sumber daya yang bertambah untuk kesejahteraan dan tunjangan sosial.
Setelah melewati zaman konsumsi tinggi, perilaku masyarakat bergeser pada perilaku menikmati hasil-hasil pembangunan. Rostow menggunakan dinamika Buddenbrooks sebagai metafor untuk menjelaskan perubahan sikap masyarakat. Masyarakat pasca-konsumsi layaknya cerita dalam Buddenbrooks, novel karya Thomas Mann yang bercerita tentang sebuah keluarga tiga generasi. Generasi pertama memiliki minat pada pengembangan ekonomi, generasi kedua fokus pada penguatan sektor ekonomi dalam struktur sosial. Sementara generasi ketiga lebih condong pada penggunaan uang dan kebutuhan prestise melalui dunia seni dan musik.
Teori Dinamika Produksi
Tahapan pembangunan tidak hanya deskriptif, tidak pula hanya suatu cara untuk menggeneralisir beberapa pengamatan faktual tentang urutan pertumbuhan masyarakat. Tahapan pembangunan memiliki logika tersendiri yang berkesinambungan. Tahapan tersebut mempunyai kerangka analitik yang berakar pada teori dinamika produksi.
Teori klasik pembangunan dirumuskan berdasarkan asumsi dasar yang statis yang membatasi atau hanya mengijinkan variabel yang paling relevan dengan proses pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana upaya ahli ekonomi modern untuk menggabungkan teori produksi klasik dengan analisis pendapatan Keynessian, mereka mengenalkan variabel dinamis seperti populasi, teknologi, kewirausahaan dan lain lain. Tetapi mereka cenderung terlalu kaku dan umum sehingga model yang mereka tawarkan tidak dapat menarik fenomena penting dari pertumbuhan, justru terlihat seperti ahli sejarah ekonomi.
Kita butuh sebuah teori produksi dinamis yang mengisolasi tidak hanya distribusi pendapatan antara konsumsi, menabung dan investasi (dan keseimbangan produksi antara konsumer dan modal barang), tetapi juga yang secara langsung memfokuskan pada komposisi investasi dan pembangunan dalam sektor ekonomi tertentu.
hamah sagrim
Aku hanya ingin berbagi denganmu.
Aku ingin bicarakan sejauh perjalanan yang sendirian kutempuh.
Aku sangat ingin menyusuri langkah ini tanpa sendiri.
Aku ingin kau tahu semua yang ingin ku beri tahu padamu, semuanya,
pun bahwa aku ingin kau tahu.
Aku hanya ingin kau tahu apa yang ku rasa tanpa memaksamu untuk membalas rasaku.
Kamis, 15 Januari 2009
DANAU AYAMARU... AYAMARU LAKE.....hamah sagrim
DANAU Ayamaru terletak di Distrik Ayamaru, Kabupaten Sorong Selatan, 216 kilometer arah barat Kota Sorong. Sejak dulu danau itu menjadi pusat transportasi, wisata, dan sumber penghidupan bagi masyarakat setempat.
Tetapi fungsi tersebut hilang dalam beberapa tahun terakhir ini karena air danau menyurut hingga 50 meter, dan bahkan sebagian telah mengering. Sebagian areal danau sudah menjadi rawa dan ditumbuhi rumput-rumput
Kepala Distrik Ayamaru Ny Petrosina Solossa awal Januari silam mengatakan, Papua memiliki lebih dari 200 danau (kecil dan besar), seperti Danau Paniai, Tigi, Sentani, Yamur, dan Rombebai. Sebagian besar belum diberi nama. Danau-danau tersebut memiliki fungsi strategis bagi masyarakat tradisional.
Danau Ayamaru sudah dikenal sejak zaman Belanda. Ada tiga danau yang merupakan satu kesatuan, yaitu Yahu (bagian atas), Yate (bawah), dan Ikri (penampung air dari sungai). Danau tersebut dimanfaatkan untuk berekreasi. Ada upaya Belanda membangun sistem pengairan dengan menggunakan air danau itu, tetapi konstelasi politik (1962) saat proses integrasi Papua ke RI, rencana tersebut dihentikan.
Sebetulnya secara tradisional danau itu digunakan sebagai lalu lintas penduduk, misalnya dari kawasan danau menuju Teminabuan dan selanjutnya ke Sorong. Ny Petrosina menjelaskan, ketika itu keberadaan danau Ayamaru sangat membantu masyarakat karena belum ada transportasi darat dan udara yang menghubungkan daerah pedalaman Sorong dengan Kota Sorong.
Tetapi kini danau itu telah mengering. Menurut Petrosina, mengeringnya ketiga danau ini antara lain akibat penebangan hutan di sekitar danau, pengeboran minyak dan gas bumi di bagian lereng gunung Ayamaru, serta tumbuhnya sejenis rumput asing dan pemanasan global.
"Ketiga danau ini merupakan satu kesatuan yang disebut danau Ayamaru. Pada zaman dulu, danau ini sebagai sumber hidup satu-satunya bagi masyarakat di sekitar Ayamaru. Ada berbagai jenis ikan di danau ini seperti mas, betik, satar, salamande, udang (jenis udang merah, udang kuning dan biru), gabus, dan ikan lele. Dulu danau ini juga sebagai sarana transportasi andalan bagi kampung-kampung di Distrik Ayamaru, Distrik Aitinyo, dan Distrik Aifak sampai ke Distrik Teminabuan, yang saat ini menjadi ibu kota Kabupaten Sorong Selatan," kata Ny Petrosina.
Bekas air danau yang kering telah ditumbuhi rumput, dan sebagian daerah menjadi rawa. Hanya ditemukan genangan air dengan panjang sekitar 200 meter per danau dan lebar 100 meter di pusat danau dengan debit air yang sangat sedikit.
Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua (1999- 2004) asal Ayamaru, Salmon Kambuaya, mengatakan bahwa pada tahun 2003 tim DPRD Provinsi bersama sejumlah teknisi dari Dinas Pekerjaan Umum meninjau danau itu. Rencana awal, akan dibangun pusat listrik tenaga air di daerah itu untuk menyuplai kebutuhan listrik. Tetapi tim DPRD itu sangat kaget ketika melihat air danau terus menyusut dan terdapat rumput asing.
Diduga datangnya tumbuhan asing ini bersamaan dengan kehadiran burung pelikan dari Australia. Burung itu memiliki kantung makanan dengan berat sampai tiga kilogram, dan sering mengeluarkan makanan (biji-bijian) yang ada di dalam temboloknya. Tumbuhan ini sejenis alang-alang sungai yang sangat sulit dibasmi. Jika dicabut sangat keras, dan akarnya dapat menumbuhkan pohon baru.
"Tumbuhan ini tidak hanya memenuhi air danau, tetapi juga menghalangi masyarakat untuk berlayar," tutur Kambuaya.
MASYARAKAT Ayamaru memiliki sejumlah kearifan lokal terkait dengan kehadiran danau itu. Mereka yakin arwah nenek moyang mereka menghuni danau ini, dan memberi sumber hidup bagi turunannya berupa sejumlah ikan yang hidup di dalam danau. Karena itu, sebelum berlayar di danau untuk mencari ikan atau bepergian ke kampung lain, mereka harus permisi kepada arwah nenek moyang.
Hasil panen ikan dan udang di danau itu yang begitu banyak terjadi tahun 1990-1996, diyakini sebagai pemberian arwah nenek moyang. Ketika arwah nenek moyang merasa diperhatikan, mereka pun akan memberi hasil melimpah kepada penduduk setempat. Produksi udang dan ikan oleh masyarakat setempat, yang disponsori PT Tuna Caraka, diekspor ke sejumlah negara seperti Jepang, Korea, dan Australia. Ekspor tertinggi terjadi tahun 1996 dengan jumlah 150 ton dari ketiga danau.
Danau itu merupakan warisan nenek moyang bagi suku besar Maybrat dengan 12 marga di dalamnya, misalnya marga Solossa, Jitmau, Kambuaya, Lemauk, dan Howae. Semua marga wajib menjaga kelestarian danau itu dengan tidak menebangi pohon-pohon di sekitarnya. Menebang pohon sama dengan menggunduli rambut dan mencukur bulu nenek moyang yang mendiami daerah itu. Tanah diyakini sebagai tubuh nenek moyang, pohon-pohon sebagai rambut dan penghias keindahan nenek moyang, sedangkan danau sebagai rezeki yang dilimpahkan nenek moyang kepada turunannya.
Ny Luisa Nauw, warga setempat, menyebutkan, sebelum air danau berkurang ia biasa mencuci di pinggir danau. Anak-anak pun sering bermain, berenang di pinggir danau. Tetapi setelah mengering dan berubah jadi rawa-rawa, dia tak pernah mencuci lagi. Masyarakat akhirnya mencuci dan mengambil air bersih di Sungai Biru. Disebut sungai biru karena dasar air berwarna biru.
KEBERADAAN danau ini tidak terlepas dari mitos mengenai lahirnya kain tenun ikat yang oleh masyarakat suku Maybrat disebut kain timor. Kain timor sebagai pemberian arwah nenek moyang kepada turunannya yang mendiami danau itu. Kain itu muncul begitu saja di sekitar danau, menyerupai daun-daun, bergantungan di pohon- pohon. Kehadiran kain ini diprioritaskan bagi setiap kepala suku yang memiliki wibawa, penghormatan dan nama baik di kalangan masyarakat.
Tetapi sebutan kain timor ini meragukan kebenaran mitos tersebut. Jika kain tenun ikat itu hadiah dari nenek moyang suku Maybrat, mengapa harus disebut kain timor dari awal munculnya, tahun 1700-an sampai hari ini. Pendapat lain menyebutkan, kain timor yang saat ini dijadikan maskawin dan barang berharga di kalangan masyarakat Maybrat berasal dari Timor.
Kain tersebut dibawa oleh para misionaris Portugis atau Belanda yang saat itu berada di Flores dan Timor. Mereka datang ke daerah Kepala Burung untuk menyebarkan agama Kristen, membawa serta kain timor itu. Ketika itu masyarakat di daerah Kepala Burung ditemukan dalam keadaan telanjang, mengenakan kulit kayu sehingga para petugas agama memperkenalkan kain tersebut.bahasa MAYBRAT HAMAH SAGRIM
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
A PAPUAN LANGUAGE
Olivia Ursula Waren
E-mail: warenolivia_ursula@yahoo.com
Bahasa Maybrat adalah suatu bahasa di daerah Kepala Burung Pulau New Guinea. Dalam kajian linguistik, bahasa Maybrat termasuk dalam West Papuan Phylum (Filum Bahasa Papua Barat). Mengacu pada tipologi susunan kata, bahasa tersebut mengikuti pola SVO. Salah satu fenomena menarik dari bahasa ini adalah bentuk kata ganti kepemilikan/posesiva. Terdapat dua bentuk posesiva: alienable form dan inalienable form. Posesiva alienable adalah ro- dan a-, sedangkan posesiva inalienable adalah t- untuk orang pertama tunggal; n- untuk orang kedua tunggal, orang pertama jamak, dan orang kedua jamak; y- untuk orang ketiga tunggal laki-laki; dan m- untuk orang ketiga tunggal perempuan dan orang ketiga jamak. Semua posesiva ini secara morfologi tergolong dalam bentuk prefix (awalan). Data bahasa ini dianalisis dengan menggunakan kajian morfo-sintaksis dengan menggunakan metode deskriptif.
Abstract
Maybrat is a language in The Bird’s Head of The New Guinea Island. Linguistically, Maybrat is classified into West Papuan Phylum. It shows SVO word order. One interesting phenomenon of this language is its possessive pronoun. There are two forms of possessive pronouns: alienable form and inalienable form. The alienable possessive pronouns of Maybrat are ro- and a-, while the inalienable possessive pronouns are t- refers to the first person singular, n- refers to the second person singular, the first person plural, and the second person plural, y- refers to the third person singular (masculine), and m- refers to the third person singular (feminine) and the third person plural. Morphologically, all of these possessives are categorized into prefix. Furthermore, the data analyzed by using the morpho-syntax analysis and the descriptive method. .
Kata-kata Kunci: Bahasa Maybrat, Sudut Pandang Morfo-sintaksis, Kata Ganti Kepemilikan
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
1.1 Background
Maybrat is one of the Papuan languages of West Papuan Phylum found in the Bird’s Head of New Guinea Island, in which it is spoken in the central area which is also called as Maybrat (Dol, 1999: 1). Linguistically, Maybrat borders to its neighbors: Abun and Karon Dori to the north, Moskona, Arandai, Kaburi, Kaib and Konda to the south, Meyah and Mpur to the east, and the west part are Moraid and Tehit.
The word Maybrat actually comes from the language Brat, in which this term is used to address a small hill near Semetu village (Koentjaraningrat & Bachtiar, 1963); while Dol (1999: 6) argues that the word Maybrat is divided into two words, mai meaning sound, and brat referring to the variety of sound or language used. Maybrat is also a term to address the people speaking the language. According to Grimes (1948), besides Maybrat, people outside them also call the language in other two different terms: Ayamaru or Brat.1 However, the native people address themselves as Ayamaru as same as their lake’s name. It derives from aya means water, and maru means lake.
In 1987, Summer Institute of Linguistics (SIL) reports that there are about 20,000 or more speakers who speak the language.2 Grimes (1988: 495) then states that people speaking the language live in the west and south of Ayamaru Lake, with approximately 40 villages in which there are about 50 % until 60 % of older people do not know Indonesian. According to Brown and Brown (1989), there are approximately 17,000 speakers living in three districts of Sorong regency of Papua; they are Ayamaru, Aifat, and Aitinyo.3 However, in 1999, Dol in page 7 quotes Schoorl as stating that Maybrat language is spoken in Ayfat, Ayamaru, Kebar and Sausapor. 4 In these last two places, it is the minor language as the native languages of them are different.
1 is taken from
2 is retrieved from
3 is retrived from
4 Dol mentions Sausapor as one of villages using Maybrat language, but based on my knowledge it is Abun village consisting of Abun and Biak people (see Map 1)
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
Likewise, Maybrat shows a relation to languages which are close to it. In 1987, SIL describes that Maybrat has subject-verb-object (SVO) word order, with heavy verb serialization and 10 % of lexical similarities to Tehit, Mpur, Abun languages; while Voorhoeve says that the language shares 80 % cognates with Karon Dori language.6
As a Papuan language classified as West Papuan Phylum, Maybrat language seems to have many similarities in the characters to the Non-Austronesian languages found in North Halmahera, Timor, Kisar, Alor and Pantar which had been classified by linguists such as Robide van der Aa. W. Schmidt in 1900s, van der Veen in 1915, and Cowan in 1958 (quoted by Sawaki, 2005: 35-36). Moreover, Donohue (2002) states that Bird’s Head languages in the New Guinea island have same characteristics to those in North Halmahera, Timor, Kisar, Alor and Pantar. He says that they have common forms in pronouns which are various: free and bound morphemes (affixes).7
Concerning about the characteristics, Maybrat language has some interesting phenomena in its pronouns functioning as subject, agent, or possession. It operates
5 is taken from
6 is retrieved from
7 is taken from
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
In doing the study, I choose Ayamaru district as the target area in collecting the possessive pronouns data based on the people’s dialect; it is Maymaru dialect or Ayamaru dialect. The reason to choose the dialect is because in my hometown, there are lots of Ayamaru people. I usually get in touch with them. The relationship that we build together motivates me to write about their dialect. Moreover, possessive pronouns become my interest as their constructions are unique. To state belonging, a speaker will only change one morpheme as prefix joint together with the noun to indicate the possessor.
1.2 Problem
Problem that is discussed in this paper is:
What are the form, function, and meaning of possessive pronouns in Maybrat language specifically to the dialect of Ayamaru people?
1.3 Objectives
The paper aims at describing the form, function, and meaning of possessive pronouns in Maybrat language, particularly to Ayamaru dialect. This means that I am focusing on the description of possessive pronouns in the language linguistically. Moreover, as a person who likes to deal with linguistic field, I try to compose a written document of Maybrat language particularly to the possessive pronouns. In other words, it is done to provide one unique phenomenon on the language for the readers and also a supporting data for the linguistic field in Papua. Another objective is to compose a written text describing about Maybrat Possessive Pronouns to the next generation.
2. Theoretical Background
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
Crystal (1997: 312) defines pronoun as “a grammatical classification term for referring a single noun or even a noun phrase.” In this definition, he describes pronouns as the grammatical terms used to modify a noun, or a noun phrase which includes article and noun, adjective and noun, adverb, adjective and noun, yet noun and noun. He classifies pronouns into some kinds such as personal pronoun, possessive pronoun, demonstrative pronoun, interrogative pronoun, reflexive pronoun, relative pronoun, indefinite pronoun, and presumptive or shadow pronoun.
In 1997, Payne stated: “pronouns are free forms (as opposed to affixes) that function alone to fill the position of a noun phrase in a clause …” (43). In other words, his definition can be retold as pronouns are any free morphemes to refer another noun or noun phrases, and they can take the position of a noun phrase.
Summer Institute of Linguistics (SIL) affirms pronoun as: “a pro-form which functions like a noun and substitutes for a noun or noun phrase”.8 It means that pronoun is a kind of pro-form functioning similar to a noun and can also replace a noun or a noun phrase without stating them in repetition; comparing to Shopen (1985: 24-25) arguing: “pro-form is a cover term for several closed classes of words which, under certain circumstances, are used as substitutes for words belonging to open classes, or for larger constituents.”
Regarding those definitions, pronoun can be concluded as the term used to refer human including the number, and gender, non-human or animate such as table, tree, sky, sea, air, and animal where the word is not similar to the original word in which its function is like noun.
2.2 Pronoun in Morpho-Syntax Perspective
The word morpho-syntax is derived from morphology: the study of morpheme’s or word’s structure (Crystal, 1997: 249); and syntax: the study of how speakers use language in phrases and how they structure the phrases into sentences (Stewart and Vaillette, 2001: 150). Thus, morpho-syntax can be concluded as a study of the relationship between morphology and syntax.
8 is taken from
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
Syntactically, those kinds of prefixed- or suffixed- pronouns can also be identified by structuring them in phrase class, or even sentence. In this view, they are analyzed by observing their functions. Moreover, they are classified as “clitics” since they are meaningless when standing alone. Clitics is a term used to describe bound morphemes categorized in inflectional affixes, such as: -ed, -ing, -s in English (Katamba, 1993: 245). Dependent pronouns categorized as clitics tend to attach with verb in showing subject, and attach with noun in expressing ownership or possession.
To sum up, pronoun is a term in grammatical classification used to refer human or thing in one single word or a phrase, in which it has two forms: independent pronoun and dependent pronoun. Therefore, the using of morphosyntax perspective to New Guinea languages is the appropriate approach to study pronouns including possession. Morphologically, Papuan languages pronouns are divided into two kinds: independent pronouns, and dependent pronouns; moreover, these kinds of pronouns have a great agreement to syntactic structure whereas they influence each other. This signifies that the dependent pronoun changes based on the independent pronoun.
2.3 Possessive Pronoun
Given the explanation above, there is one type of pronouns commonly known in world’s languages: possessive pronoun. According to Swan, possessive pronoun is the pronoun functioning as same as adjective form or coming before noun where it modifies a noun or even another noun phrase for instances my book and my beautiful dress; and also possessive pronoun is an independent pronoun expressing two noun phrases (e.g.: I have my life and my parents have theirs) and functioning as
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
Furthermore, possessive pronouns can be divided into two kinds: possessive adjective, which stands previous to a noun or a noun phrase functioning like adjective (e.g.: my dog or my little dog), and possessive pronoun which stands independently, such as: mine, yours (singular and plural), his, hers, its, ours, theirs in English.10 In accordance to these definitions, Swan does not affirm possessive pronoun: my, your (S, P), his, her, its, our, and their as possessive adjective because he assumes that “they behave quite differently from adjectives”, but are more as determiners. Therefore, the possessive pronouns whose function like adjective but not pure adjective are also called possessive determiner.11
In short, possessive pronouns can be concluded as the independent forms which can stand alone to modify a single noun or a noun phrase, and/or the dependent forms which modify a single noun or a noun phrase in which their functions are more like adjective.
2.4 Alienable and Inalienable Possessive Pronouns
Semantically, possessive form is divided into two kinds. They are alienable and inalienable. Alienable is a grammatical term used to address possession where thing possessed has impermanent or non-essential dependence to the possessor; while inalienable is the antonym of alienable of which the term is used to address a thing having permanent relationship to the possessor (Crystal, 1997: 15, 192). In terms of these two kinds, Croft argues that inalienable possession is used to address parts of body and kinship ownership; and alienable possession is used for the ownership of other things.12 The examples of them can be found in Maybrat:
(1). T-aja (inalienable) (2). Amah ro-jio (alienable)
1SG-father House Poss.-1SG
‘My father’ ‘My house’
9 is taken from
10 is taken from
11 is retrieved from
12 is taken from
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
(3). n-ikni (inalienable) (4). n-asum (alienable)
1SG-father 1SG-net
‘My father’ ‘My net’
On the other hand, morphologically, possessive pronoun is identified as inalienable because of the joint construction of noun and genitive; 13 while alienable occurs when noun and genitive are separated in the morphological construction (cf. Givon, 1984; Nichols, 1988).
2.5 General Papuan Languages Characteristics
The general characteristics of Papuan languages can be looked from each part as follows:
(1). Syntactical typology: commonly, Papuan languages are agent-patient-verb (APV) or subject-object-verb (SOV) languages (Sawaki, 2005: 55). They are also categorized as agglutinative language. It means a language having two or more joining morphemes to which they are more predictable, while normally each morpheme has no more than one meaning (Stewart and Vaillette, 2001: 131). Though, there are also agent-verb-patient (AVP) or SVO languages classified as Papuan languages such as the languages found in the Bird’s Head of New Guinea Island.
(2). Phonology: in this respect, Foley states that Papuan languages have more simple phonemic systems (quoted by Sawaki, 2005: 55). Their basic vowels are /i/, /e/, /u/, /o/, and /a/; while the consonants are usually produced in alveolar, bilabial, fricative, and velar.
(3). Morpho-Syntax: the languages show interesting forms in their pronouns, verbs, genitive (possessor) and head noun, and affixes constructions. Pronouns are usually divided of independent pronouns and dependent pronouns, and even abbreviated forms. Wurm (quoted by Sawaki, 2005: 60) says that pronouns play important role in Papuan languages grammar. Many of them address the third person singular in one form without distinguishing masculine and feminine. In
13 Genitive is a form of pronoun which functions as possessor to modify an item possessed (Croft)
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
3. DISCUSSION
Maybrat language is one of Papuan languages classified as an agglutinative language, in which the morphological inflections are very complex, but they can be analyzed and predicted by looking at the form. As an agglutinative language, its verbs mostly cannot stand as independent morphemes because they require affixation to indicate person (subject or agent). The common affixation of the language is prefixes; functioning to indicate subject/agent, and possessor in possessive construction.
Before discussing about the possessive pronouns of Maybrat language, it is better to discuss about the independent pronouns first. These pronouns are used either as subjective or objective pronouns. By looking at this following table of independent pronouns, it may be easier to understand the use of possessive pronouns in the language.
Person
Independent Pronoun
1SG
jio
14 is taken from
LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
2SG
3SG (M)
3SG (F)
1P
2P
3P
nyo
ait
au
amu
anu
ana
There are four abbreviations used in the table. The first one is SG indicating singular person and the second one is PL indicating plural person. The third one is M referring to masculine and the last one is F referring to feminine.
Linguistically, possessive pronouns of Maybrat language may be divided into two types: inalienable possessive pronouns, and alienable possessive pronouns; both of them are in dependent morphemes.
3.1 Inalienable Possessive Pronouns
These pronouns are used to indicate parts of body and kinship terms. Below is the table showing the pronouns.
Table 2
Person
Possessive Pronoun
1SG
2SG
3SG (M)
3SG (F, N)
1PL
2PL
3PL
t-
n-
y-
m-
n-
n-
m-
These following examples will illustrate them:
(1) t-aja or (2) Jio t-aja
1s: Poss-father 1s 1s: Poss-father
‘my father’ ‘my father’
LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
(3) T-eme m-amo to pasar (4) Ait y-of
1s: Poss-mother 3s: Subj-go to market 3s: Subj 3s: Subj-kind
‘My mother goes to the market’ ‘He is kind’
(5) Jio t-ait boit or (6) t-ait boit
1s: Subj 1s: Subj-eat rice 1s: Subj-eat rice
‘I eat rice’ ‘I eat rice’
Example 1, 2, and 3 show the possessive pronouns in the level of phrase and sentence. Then, example 4, 5, and 6 are only occupied to demonstrate their different function in the level of phrase, clause, and sentence.
In the table, there are two forms showing the third person singular in terms of gender: masculine used to refer human and male animate, and feminine used to refer animate, and neutral. In addition, the third female person form is also the source to indicate non-human thing in general (N = neutral).15
Moreover, the degree of flexibility in using independent pronouns is different among the possessor to noun, subject/agent to verb, and subject to adjective. The independent pronouns are obligatorily used in parallel with the dependent person marker to adjective. On the other hand, they could be used as the person marker to verbs but not absolute; this means that the dependent pronoun can function alone as a subject or agent without using the independent one. In spite of this, as possessors to noun, they are often not used together with the prefixed form. They will appear when a speaker wants to emphasize his or her possession, or the ownership of somebody else.
By looking at the function, Maybrat language represents genitive-noun (G-N) on its inalienable possessive pronouns. In this case, it always puts possessor or genitive in front of a noun. Besides, syntactically, the possessive pronouns in Maybrat only function as modifier to the head noun; therefore, they cannot be the subject of a sentence (Dol, 1999).
Additionally, the possessive pronouns above are also the dependent pronouns which can be attached to dependent verbs and adjectives functioning as agent or subject.
15 Dol (1999) reports the first person plural in p- as the data is collected in Ayawasi.
LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
3.2 Alienable Possessive Pronouns
The alienable possessive pronouns in the language are used in addressing other nouns; such as house, garden, animal, or even person excluding those nouns described in inalienable possessive pronouns. The alienable possessive pronouns are divided into two kinds. The first one is prefix a- only used to the first person singular and second person singular of independent pronouns. The second form is prefix ro- which can be used to all independent pronouns. Also, ro- can also be used to indicate the ownership of a person by saying his or her name (proper name). Nevertheless, prefix ro- changes into r- when it occurs with vowel initial pronouns as in both the third person singulars, first, second and third person plurals. According to Dol (1999: 72), ro- could be used to vowel initial pronouns when the speakers aim to emphasize the possessor. They are exemplified in the following table.
Table 3
Person
Possessive Form
1s
2s
3s (M)
3s (F)
1p
2p
3p
ro-jio/ a-jio
ro-jio/ a-nyo
r-ait
r-au
r-amu
r-anu
r-ana
These possessive pronouns can be seen in the following examples:
(5) Amah a-jio (6) Amah r-ait
House Poss-1s House Poss-3s
‘My house’ ‘His house’
(7) Amah a-nyo (8) Amah ro-ana m-of
House Poss-2s House Poss-3p 3p-beautiful
‘Your house’ ‘Their house is beautiful’
(9) Ora ro-Yopi (10) Yu ro-Seli
Garden Poss-Yopi Bag Poss-Seli
‘Yopi’s garden’ ‘Seli’s bag’
LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
Based on the examples, either inalienable or alienable possessive pronouns still function as modifier in expressing possession of someone or something, so that they are not the subject. However, different with inalienable possessive pronouns, this second type is structured as noun precedes the possessor. Accordingly, the language operates noun-genitive (N-G) to its alienable possessive pronouns.
After looking at the explanation of these two types of possessive pronouns, a hypothesis towards the use of them can be written as follows:
Table 4
Inalienable Possessive Pronouns
Alienable Possessive Pronouns
• Parts of body
• Kinship terms
• Other nouns
• Proper Name
G-N Structure
N-G Structure
Form: dependent morphemes (prefixes)
Function: possessor
4. CLOSING REMARKS
4.1 Conclusion
Maybrat language is a Papuan language found in the Bird’s Head of New Guinea Island which is also categorized as the West Papuan Phylum. Different with the general characteristic word order of Papuan languages, presenting SOV word order, Maybrat language shows SVO word order. Generally, this language has independent and dependent pronouns. In relation to them, the possession is only structured in dependent form. In its pronouns, gender classification of masculine, feminine, and neutral are found. Moreover, the possessive pronouns are in prefixes and divided into two types: inalienable possessive pronouns (used to indicate parts of body and kinship terms) in which genitive precedes noun (G-N); while alienable possessive pronouns (used to indicate things proper names, and other nouns) where genitive follows noun (N-G). In short, the language structures genitive-noun in
LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
To more specific to Maybrat language, the study will benefit for: the language documentation in order to preserve the language, the literacy program in solving illiteration problem of local people, the language learning of local people which is done by educators to the pedagogical strategies, and also the encouragement of the cultural awareness to the people and government of Papua.
Brown, and Brown. (1989). Mai Brat. Available INTERNET:
http://www.papuaweb.org/bib/hays/loc/MAIBRAT.pdf.
Croft, B. Nominal Genitive Construction. Available INTERNET: http://ling.man.ac.uk/Students/CourseUnits/LI3051/TypDescriptions.pdf.
Crystal, D. (1997). A Dictionary of Linguistics and Phonetics. (4th ed.). Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd.
Dol, P. H. (1999). A Grammar of Maybrat. Unpublished doctoral dissertation, University of Leiden, Netherlands.
Donohue, M. (2002). The West Papuan Phylum Revisited: The Genetic Status of the Yapen Island Languages. Available INTERNET: http://courses.nus.edu.sg/course/ellmd/Saweru/YapenWPP.pdf.
Givon, T. (1984). Syntax a Functional-Typological Introduction. Colorado: John Benjamin Publishing Company.
Grimes, F. B. (Ed.). (1988). Ethnologue Languages of the World. (11th ed.). Texas: Summer Institute of Linguistics.
LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
Grimes. (1948). Mai Brat. Available INTERNET: http://www.papuaweb.org/bib/hays/loc/MAIBRAT.pdf.
Jr., Thomas W. S., and N, Vaillete. (Eds.). (2001). Language Files. (8th ed.). Columbus: The Ohio State University Press.
Katamba, F. (1993). Morphology. London: Macmillan Press Ltd.
Koentjaraningrat., and H, W. Bachtiar. (1963). Penduduk Irian Barat. Jogjakarta: P.T. Penerbitan Universitas.
Nichols, J. (1988). On Alienable and Inalienable Possession. Berlin: Mouton de Gruyter.
Payne, T. E. (1997). Describing Morphosyntax. United Kingdom: Cambridge University Press.
Sawaki, Y. (2005). Languages and Linguistics in Papua. [A Course Book]. The State University of Papua, Manokwari.
Shopen, T. (Ed.). (1985). Language Typology and Syntactic Description. (Volume 1). Australia: Cambridge University Press.
Summer Institute of Linguistics. (1987). Mai Brat: A Language of West Papuan Phylum. Available INTERNET:
http://www.ethnologue.com/show_language.asp?code=AYZ.
What is Pronoun. Available INTERNET: www.sil.org/linguistics/GlossaryOfLinguisticTerm/WhatIsAPronoun.htm.
Swan, M. Pronouns. Available INTERNET: http://www.phon.ucl.ac.uk/home/dick/pronoun.htm.
Using Possessive Pronouns and Adjectives, sec. 2. Available INTERNET:
http://web2.uvcs.uvic.ca/elc/studyzone/330/grammar/poss.htm.
Voorhoeve, C. L. West Papuan Phylum Languages on the Mainland of New Guinea: Bird’s Head (Vogelkop) Peninsula. Available INTERNET:
http://www.papuaweb.org/dlib/bk/pl/C38/02-10-2.pdf.
Mai Brat. Available INTERNET: http://www.papuaweb/org/bib/hays/loc/MAIBRAT.pdf.
Wurm, S. A., D, C. Laycock., and C, L. Voorhoeve. (1975). General Papuan Characteristics. Available INTERNET:
http://www.papuaweb.org/dlib/pl/C38/02-3-2.pdf.
hamah MAYBRAT GRAMMAR. a language of bird's Head peninsula
Interrogatives in Maybrat
Maybrat (or Mejprat or Mai Brat) is a language located in the northwestern part of Irian Jaya
(i.e. the Indonesian part of New Guinea), on the Bird’s Head peninsula. It is spoken by a total
number of 22,000 speakers which is a high number of speakers compared to other Papuan
languages. The word order is SVO with the interrogatives remaining in situ, which means
that, unlike English or German, they are not moved to the head of the sentence. Another
characteristic is the existence of serial verb constructions. These are rows of verbs that share
one argument. An example is found in sentence (9).
Formation of the interrogatives
Interrogatives consist of a base and a question suffix which is either -yo, -ye or -ya/-ja. The
differences in the vowels are of lexical nature and not determined phonologically or
morphologically. The base can be prefixes and pronouns that relate to the interrogative
category or syllables without a meaning as in the simplex awija ‘who’. It is, however, not the
possible to construct new interrogatives by adding a question particle to any prefix. The group
of interrogatives is a closed group.
PERSON
awija ‘who’
In spite of the existence of -ja, which marks the word as an interrogative, awi is not an
existing morpheme in Maybrat. awija is a simplex.
(1) Maybrat (Dol 1999: 118)
awiya ø-skie amah
who ø-build house
‚Who built the house?‘
Based on awija are the interrogatives for POSSESSOR and THING. This is quite logical as all
three ask for entities. The simplex is prefixed by the respective morphemes.
POSSESSOR
r-awija ‚whose‘
r is similar to the possessive prefix ro-.
(2) Maybrat (Dol 1999: 118)
ku r-awija m-awia
child POSS-who 3U-cry
‚Whose child cries?‘
THING
p-awija ‚what‘
p is the nominal prefix po-, meaning ‚thing’.
(3) Maybrat (Dol 1999: 118)
pi y-ko y-no p-awija e?
man 3M-roast 3M-do NOM-who hey
‚Hey what does the man roast?‘
Klaus Thoden - Interrogatives in Maybrat
The former pronoun cannot be used for asking what was said, as in English ‘What did you
say?’. In Maybrat, the category MANNER takes care of that as is illustrated in (4).
(4) Maybrat (Dol 1999: 117)
y-awe fi-ye
3M-say similar.to-INT
‚What does he say?‘
QUANTITY
tiya ‚how much/many‘
Like awi in awija, the stem ti in tiya has no meaning or has lost it.
(5) Maybrat (Dol 1999: 118)
rae m-ana tiya
man 3U-head how.many
‚How many people?‘
TIME
titiya ‚when‘
In this case, the first syllable ti could be the temporal adverb for past tense ti even if it is not
necessarily a past tense which is expressed with titiya. It only indicates that the word has a
temporal context. The literal translation would be ‘how much past’.
(6) Maybrat (Dol 1999: 118)
titiya n-ama
when 2-come
‚When will you come?‘
EXTENT
e. g. kai tiya ‚how long’ (noun + tiya (QUANTITY))
Questions for EXTENT are asked with the interrogative pronoun for QUANTITY, tiya, preceded
by the noun of which the extent is questioned, in this case kai ‘time’.
(7) Maybrat (Dol 1999: 118)
anu n-hu to m-ato to n-kuo kai tiya
2P 2-stay LOC 3U-hole LOC 2-feast time how.much
‚How long do you stay inside there and feast?‘
MANNER
fiye ‚how‘
The syllable fi can be identified as the demonstrative pronoun fi- which has the meaning of
‘similar to’.
(8) Maybrat (Dol, 1999: 117)
t-no fi-ye
1S-do similar.to-INT
‚How do I do it?‘
SELECTION
royo ‚which‘
ro is a relative clause marker. It is used in questions with a choice between more than one
answer. There seems to be no connection between this use and the use as relative clause
marker, it is completely autonomized.
(9) Maybrat (Dol 1999: 117)
nuo n-ama terima agama ro-yo
2S 2-go receive religion REL-INT
‚Which religion do you accept?‘
LOCATION
toyo ‚where‘ (specific)
woyo ‚where‘ (general)
miyo ‚where‘ (presentative)
There are three different interrogatives for LOCATION: to- is the same as the demonstrative
prefix te- which refers to a specific place as in (10):
(10) Maybrat (Dol 1999: 116)
n-amo to-yo
2-go area.N-INT
‚Where are you going?‘
woyo refers, alike to the corresponding demonstrative pronoun we- does, to a rather general
direction or location. The example insinuates that the addressee has no clear goal.
(11) Maybrat (Dol 1999: 116)
m-amo wo-yo
3U-go location.GEN-INT
‚Where does she go?‘
miyo is only used in nominal sentences (‘Where is…?’).
(12) Maybrat (Dol 1999: 117)
m-apo mi-yo
3U-be PRESTT-INT
‚Where is she?‘
Conclusion
Concerning categories, Maybrat is close to English and German except for the fact that there
is no interrogative for REASON. This must be expressed by other constructions which are not
explicitly described by Dol (1999). The interrogative pronouns can be divided into three
groups. The first group of interrogatives are constructed by productive morphemes and the
question particle.
1. fiye how
royo which
toyo where (specific)
woyo where (general)
miyo where (presentative)
In the second group, the question particle -ya is still recognizable, but awi- is no meaningful
morpheme. The derivations r-awija and p-awija are constructed componentially with prefixes.
2. awiya who
r-awiya which
p-awiya what
In the third group, the basic interrogative cannot be divided into two meaningful morphemes.
The case of titiya is a matter of interpretation. What is interesting is the semantic field of tiya
covering the questions for QUANTITY, TIME and EXTENT.
3. tiya how much/many
titiya when
x tiya how x
Abbreviations
GEN general location
INT interrogative affix
LOC locative
M marked personal morpheme
N nearness prefix
NOM nominal attributive
P plural
PERF perfect tense
POSS possessive prefix
PRESTT presentative
REL relative clause marker
S singular
U unmarked personal morpheme
Literature
Dol, Philomena. A grammar of Maybrat. Leiden 1999.
Senin, 12 Januari 2009
ARSITEKTUR TRADISIONAL DALAM PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN....sagrim hamah. papua, USA, LONDON, ISRAEL
Dinegara berkembang, sejak dahulu masyarakatnya mempunyai apresiasi tinggi terhadap arsitektur. herbage tulisan, biku hasil kajian ilmiah, penelitian tentang arsitektur banyak sekali ditulis, diterbitkan, dibaca, dan aliran-alirannya diwujudkan dalam gaya bangunan sebagai kebesaran identitas mereka, tidak hanya oleh para arsitek, tetapi oleh kalangan luas dan herbage lapisan masyarakat. Disbanding dengan daerah lain, propinsi papua yang juga memiliki gaya arsitektur cukup khas yang mana bisa diangkat sebagai kebesaran dan kejayaan bagi orang papua sangat dilupakan.
Pada bagian ini saya coba mengkaji keberhasilan, kesalahan dan kekurangan yang dilakukan guna mengangkat arsitektur tradisional papua dalam perkembangan pembangunan. Menjadi pelajaran saat ini dan waktu akan dating bahwa pembangunan yang telah dikembangkan sekarnag tidak mengerti kebudayaan dan tidak mencerminkan kepribadian budaya setempat serta tidak begitu mempertahankan identitas arsitektur setiap daerah di papua. Salah satu tolok ukur kemajuan budaya sebuah daerah dilihat dari aliran aristektur yang mana tampil dalam wajah dan fisik bangunan. Kecenderungan masyarakat dan pemerintah dalam mengadopsi gaya – gaya arsitektur luar seperti gaya arsitektur colonial, gaya arsitektur romawi, gaya arsitektur joglo, gaya arsitektur minang, dan.y.l. hal ini membuat arsitektur tradisional setiap suku bangsa di papua terlupakan. Ini merupakan suatu penjajahan kultur yang menindas budaya papua. Dengan semakin dilupakannya aliran – aliran arsitektur tradisional papua, maka ikut pula menghilang kebesaran citra, karsa, dan karya orang papua, karena sebagaimana dalam ungkapan bahasa semboyang arsitektur mengatakan bahwa; “arsitektur adalah gambaran jiwa raga dan roh seseorang”, inilah kebesaran yang terlupakan.
Dengan demikian, ditekankan bahwa dalam mendisain pembangunan papua yang hormat budaya, maka diharuskan untuk mengangkat dan mengikutsertakan aliran arsitektur tradisional dalam mendirikan sebuah bangunan, kalaupun masyarakat tidak mengembangkannya, sebisamungkin gedung-gedung pemerintah tiap daerah wajib mengambil gaya dan corak arsitektur tradisional daerah setempat.
Beberapa bentuk arsitektur tradisional papua yang cukup unik dan menggambarkan kebesaran orang papua seperti; bentuk bangunan rumah Honai, rumah tradisional Enjros tobati, rumah tradisional arfak, dan rumah tradisional harit di maybrat imian sawiat kabupaten sorong selatan. Suatu ungkapan kekesalan kini adalah bahwa daerah-daerah propinsi papua yang memiliki gaya arsitekturnya sendiri ini begitu didominasi oleh bangunan – bangunan dari daerah lain. Hal ini disebabkan karena pemerintah Hindia Belanda lebih awal membangun papua dengan menerapkan aliran arsitektur colonial, sebagaimana hingga saat ini difungsikan sebagai gedung atau perkantoran-perkantoran pemerintah daerah bahkan ada yang dijadikan sebagai rumah hunian masyarakat. Suatu pembunuhan karakter budaya arsitektur papua yang telah dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda di daerah propinsi papua. Dikabupaten Sorong Selatan, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1950, secara brutal membongkar rumah-rumah tradisional yang dibangun oleh orang maybrt imian sawiat sebagai bangunan terhormat seperti rumah sekolah dan gereja (samu k’wiyon-bol wofle), dengan menerapkan larangan-larangan untuk tidak mengembangkan atau membangu bangunan-banguan tersebut kembali. Hal ini membuat orang maybrat imian sawiat kini kehilangan gaya dan aliran arsitektural mereka. Disisilain, pada tahun 1962, pemerintahan indoneisa telah masuk kewilayah papua, yang mana pada waktu itu disebut Irian Jaya dan menetap hingga sekarang dengan penerapan bangunan yang juga tidak mempedulikan aliran arsitektur lokal. Kini aliran arsitektur dari daerah lain yang mendominasi wajah perkotaan di seluruh papua. Persoalannya bukanlah terletak pada kurangnya tenaga-tenaga arsitektur papua, tetapi keinginan daripada pemilik yang mana cenderung menginginkan gaya arsitektur lain ketimbang tidak menyadari akan gaya arsitekturnya yang tampak sederhana, berbobot, bergaya sendiri, dengan segala macam nilai yang terkandung didalamnya.
Tampak jelas ketika kita berada diberbagai daerah; kabupaten sorong contohnya, gaya arsitektur yang mendominasi diwilayah pesisir sungai remu adalah gaya arsitektur bajo suku bugis, begitupun yang terdapat di pesisir pantai tehit, gaya arsitektur yang tampak mendominasi adalah arsitektur tradisional Bajo, orang bugis. Di jayapura, kini didominasi oleh arsitektur Asia, colonial, dan disisipi dengan gaya arsitektur minang. Dimanokwari, arsitektur arfak juga terlupakan dan kini wajah kota manokwari didominasi oleh aliran arsitektur colonial, asia dan disisipi oleh aliran arsitektur minang. Didaerah wamena yang gaya arsitektur tradisionalnya yang begitu terkenal di dunia (honai), masih juga tidak begitu diperhatikan, wajah kotanyapu masih terlihat hamparan wajah arsitektur pendatang semua. Merupakan salah satu pengikisan budaya bangsa.
Arsitektur tradisional setiap daerah di propinsi papua merupakan kebesaran setiap suku bangsa tersebut, karena merupakan hasil ciptaan mereka yang sebenarnya. Proses akulturasi terhadap gaya arsitektur ini membuat orang papua semakin ditelanjangi dengan cara yang dipergunakan oleh penjajah. Dalam refleksi arsitektur tradisional papua yang telah kami analisis, merupakan suatu cara penjajahan terhadap budaya. Selain budaya-budaya lain dibuang, disisi yang lain kekayaan budaya dicuri serta diperdagangkan seperti ukiran, tarian dan corank budaya unik lainnya. Suatu kesimpulan daripada refleksi budaya papua “bahwa orang papua dulu sebelum penjajahan, disini diibaratkan seperti seorang gadis manis yang sedang direbut oleh beberapa orang, setelah ia berhasil direbut, bukan karena cantiknya saja yang menjadi rebutan, tetapi segala perhiasan yang dikenakan disekujur tubuhnya diambil oleh orang yang merebutnya setelah itu itu busana yang dikenakannyapun dilepaskan satupersatu dan dibuang, kini seorang nona cantik menjadi kehilangan harga dirinya karena semua yang ada padanya sebagai kebesaran telah hilang dan kini dia telanjang sampai-sampai mahkotanya turut diambil, tetapi bersyukur karena ia masih hidup. Walaupun ia masih hidup, dan ia mampu menciptakan busana yang baru, tetapi tidak semuanya dari bahan yang ia miliki tetapi dari bahan-bahan punya orang yang diambil dalam membuat busananya, karena semuanya serba palsu maka nilai dirinya kini berkurang”.
Suatu penjajahan terhadap arsitektur-arsitektur papua yang sedang berlangsung. Semangat pembangunan yang ditunjukkan adalah semangat yang kami sebut egoisme membangun. Kata egoisme membangun disini saya gunakan karena konsep pembangunannya tidak menghargai apa yang disebut dengan potensi lokal (local potences), konsep pembangunannya begitu tertutup (closely building concept), memikirkan dirinya sendiri (egoism), walaupun ia berada di wilayah kekuasaan budaya lain, akan tetapi tetap menggunakan konsep budaya asing untuk diterapkan. Inilah sesuatu penjajahan budaya yang sedang diterapkan di propinsi papua, yang mana secara sinergis sedang mengikis selain arsitektur, budaya-budaya lainpun ikut terkikis. Arsitektur bagi sejarah manusia merupakan sebuah karya besar dan termasyhur yang pernah dibuat oleh nenekmoyang setiap sukubangsa didunia. Sedangkan bumi sendiri merupakan rumah yang dirancang dan dibangun oleh Tuhan, dan tak ada seorangpun yang mampu menciptakan planet bumi yang lain menyaingi atau melampaui yang diciptakan oleh Tuhan, begitupun ciptaan setiap suku bangsa tidak mungkin sama dan tidak seorang sukubangsapun yang berhak untuk menghilangkanm ciptaan orang lain. Sejarah perkembangan arsitektur suku bangsa di propinsi papua mencakup dimensi ruang dan waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya. Olehkarena itu dalam konsep pembangunan di propinsi papua, seharusnya dikonsepsikan sesuai dengan aliran arsitektur lokal yang ada disetiap daerah yang mendasar pada jenis bangunan dan terkait dengan fungsinya. Dikatakan demikian karena daerah-daerah di propinsi papua dengan konsep dan gaya aliran arsitekturnya selalu mempunyai aturan, makna dan fungsi yaitu; rumah suci, Rumah berkumpul, Rumah hunian, Rumah pendidikan. Sebenarnya Tidak begitu sulit dalam mengembangkan konsep pembangunan sekarang dengan menggunakan aliran arsitektur lokal.
a.Keberhasilan Penerapan Konsep Arsitektur Tradisional Dalam Pembangunan Papua
Suatu keberhasilan konsep arsitektur tradisional papua yang menonjol kerapkali hanya terlihat pada Gapura, ukiran-ukiran dan lukisan dinding. Untuk konsep arsitektur dalam gaya bangunan tidak begitu ditonjolkan atau samasekali tidak dipake dalam konsep pembangunan, walaupun beberapa daerah mampu manampilkan gaya arsitektur mereka seperti gaya arsitektur Enjros sentani yang dikembangkan di kota jayapura, dan honai wamena yang juga dikembangkan di kabupaten wamena, namun tetapi belum sepenuhnya mencapai 100%. Sedangkan didaerah kabupaten lain seperti kabupaten sorong selatan tidak pernah menampilkan gaya arsitektur harit, dan kabupaten manokwari dengan gaya arsitektur arfaknya tidak terlihat wajahnya di dalam konsep pembangunan.
Diwamena dan jayapura telah berhasil dengan menampilkan wujud arsitektur tradisionalnya Karen ada kesadaran akan nilai-nilai yang terkandung. Sedang didaerah lainnya, kecenderungan dengan prinsip egoisme pembangunan sangat mendominasi, akhirnya nilai-nilai yang ada didaerah setempat terlupakan dan hilang dengan sendirinya.
Bila dipandang dari konsep arsitekturnya, papua akan dikatakan sebagai daerah dengan keberhasilan membangun sendiri jikalau konsep aliran arsitektur yang dipakai dalam pembangunan dengan menggunakan konsep arsitektur tradisional. Karena disinilah papua akan terkenal dengan kebhinekaan gaya arsitektur tradisionalnya, papua akan disebut sebgai sebuah bangsa yang berjaya yang mana kejayaannya ditunjukkan melalui aliran-aliran arsitekturalnya.
b.Kesalahan Konsep Pembangunan Tanpa Arsitektur Tradisional
Bilamana kita berbicara mengenai konsep, maka kita berbicara tentang arah, kebijakan, cara, metode, yang ditampilkan dalam mengembangkan sesuatu ide yang dikonsepsikan. Berkaitan dengan konsep pembangunan, setiap manusia atau kelompok dan sukubangsa mempunyai metode atau konsepnya masing-masing dan berbeda, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang ada. Suatu kesalahan dalam konsepsi pembangunan yang serign ditemukan saat ini adalah, konsep pembangunan tanpa arsitektur lokal. Setiap suku bangsa di papua mempunyai aliran atau gaya bangunan arsitekturalnya yang unik, akan tetapi seringkali ketika dalam konsep pembangunan, aliran arsitektur tradisional ini tidak diingat (terlupakan) atau tidak dimunculkan dalam proses pembangunan. Padahal ketika kita berbicara mengenai arsitektur tradisional, kita telah berbicara tentang suatu jatidiri, idealisme, citra, rasa, karya, karsa suatu bangsa karena arsitektur tradisional adalah bagian dari kebudayaan manusia, berkaitan dengan herbage segi kehidupan seperti; seni, teknik, ruang/tata ruang.
Perkembangan konsep pembangunan daerah saat ini cenderung mengesampungkan gaya arsitektur tradisional lokal (setempat) yang bila dikembangkan, mampu mengangkat kebesaran nama suatu daerah yang akan dikenal dan berjaya. Misalnya arsitektur Joglo, arsitektur Honai, arsitektur colonial, arsitektur bizantum, arsitektur minang, arsitketur fengsui, arsitektur harit, sudah ada di wilayahnya masing-masing sejak zaman keberadaan nenek moyangnya, dan berkembang bersama-sama dalam kehidupan mereka.
Faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga arsitektur tradiaionl menjadi terlupakan adalah:
1.pengaruh aliran arsitektur luar dengan gaya, estetika dan bentuk yang moderen.
2.keinginan pemilik bangunan rumah yang cenderung menginginkan bentuk arsitektur model aliran lain.
3.pemerintah setempat tidak fasih dalam mengembangkan suatu konsep pembangunan dengan menggali kearifan lokal, sehingga arsitektur tradisional tidak dapat diperhatikan.
4. tenaga perancang dan ahli-ahli arsitektur yang tidak jeli dalam mengangkat aliran arsitektur tradisional untuk menterjemahkannya dalam bentuk moderen, sehingga arsitektur local tetap tersembunyi/hanya dalam baying-bayang tradisional aja.
Kelengkapan Hidup
Sejarah kehidupan manusia telah mencatat bahwa, manusia pertama nenek moyang kita; hidup sebagai pengembara atau manusia yang hanya mencari nafkah secara terus-menerus dan berpindah-pindah dari satu tempat ketempat yang lain. Pada zaman ini, manusia tidak memiliki kelengkapan hidupnya seperti; api, kapak, dan busana. Hal ini diakibatkan karena mereka belum memiliki kamampuan mencipta.
Sejarah orang maybrat imian sawiat telah memuat catatan perjalanan hidup mereka semenjak nenek moyang. Catatan ini juga sama dengan catatan sejarah perjalanan nenekmoyang manusia dari herbagai belahan dunia lainnya. Manusia maybrat imian sawiat mula-mula juga tidak memiliki kelengkapan hidup pada zaman ini, dan mereka sebagai manusia pengembara atau pencari nafkah dengan berpindah-pindah tempat.
Dalam penelitian kami dibeberapa kampong pada tahun 2000 – 2001, yaitu dikampong; udagaga, makaroro, mogatemin, mugim, keyen, sengguer, moswaren, sedangkan penelusuran sejarah dan penelitian kami selanjutnya pada tahun 2004 dan 2007 dari wilayah; Ayamaru, sosian, temel, mapura, suwiam, yukase, segior, kartapura, sauf, sembaro, soroan, welek, pasir putih, malabolo, klamit, kladut, kambuaya, jitmau, kartapura, arus, kambufatem, susmuk, aifat, mare, karon, dan menyusuri sungai kamundan, mukamat, ayata, kamro, teminabuan, wehali, serbau, serer, tofot, haha, woloin, imian, dan wainslolo, ditemukan beberapa laporan tentang kelengkapan hidup manusia maybrat imian sawiat yaitu;
A.Bahasa
Sejarah perkembangan bahasa maybrat, bahasa sawiat, bahasa imian, tidak begitu diketahui keberadaannya semenjak kapan, akan tetapi untuk bahasa tubuh, sudah ada atau telah digunakan oleh menusia maybrat imian sawiat, primitive ketika jumlah keanggotaan mereka lebih dari satu orang. Bahasa tubuh merupakan bahasa komunikasi pertama yang telah dipakai oleh orang maybrat imian sawiat.
B.Kapak Batu
Orang maybrat imian sawiat mula-mula atau disebut manusia primitive, dalam kehidupan mereka, kelengkapan hidup yang pertamakali dikenal oleh orang maybrat imian sawiat adalah kapak batu (stone axe) “fra maãn” dalam sebutan bahasa maybrat. Data yang diambil tentang kapak batu (stone axe) tentang kelengkapan hidup manusia primitive maybrat imian sawiat, dikenal pada zaman batu. Sayangnya kapak batu (stone axe) ini tidak ditemukan wujudnya, karena telah dibuang/dimusnahakan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1950.y.l. dan lokasi atau kampong-kampong yang dihuni juga dibubarkan untuk digabungkan kekampong-kampong sekitar guna perluasan kampong. Mungkin sebaiknya kita kembali untuk membongkar lokasi-lokasi bekas kampong yang dibubarkan untuk pencarian benda-benda prasejarah yang dibuang.
Manusia primitive maybrat imian sawiat pertama yang membawa kapak batu (stone axe) adalah Tiĩ Srowy di teminabuan, kemudian diambil oleh seorang manusia primitive yang bernama Woroh Simian, dan membawanya ke daerah Fayoh. Ketika itu woroh simian bertemu dengan seorang manusia primitive yang bernama Fhour Dyaman. Disinilah awal mula nenekmoyang orang maybrat imian sawiat mengenal kapak batu (stone axe). Dari uraian ini, jelaslah bahwa manusia maybrat imian sawiat pertama yang mengenal dan memperkenalkan kapak batu (stone axe) adalah Tiĩt Sroey yang adalah manusia primitive/nenekmoyang yang hidup didaerah tehit (kini Teminabuan).
C.Api – Tafoh – Sala (flame)
Orang maybrat imian sawait primitive kemudian mengenal api ‘tafoh-sala’ (flame), yang mana diperkirakan pada zaman batu. Api, pertamakali dikenal didaerah maybrat, api yang mana dikenal melalui fenomena alam, yaitu ketika terjadi gesekan antara pepohonan yang satu dengan pohon yang lainnya, dan menimbulkan percikan api sehingga menjadi bara api. Nama api (flame) yang pertama dikenal dalam bahasa primitive orang maybrat adalah; SSS, dan FUF. Ini adalah nama api yang dikenal pertama kali di zaman itu, karena ketika penemunya yang bernama tafoh yang kini namanya digunakan dalam sebutan api, (dalam bhs. maybrat). Ketika itu dia (tafoh) melihat percikan api yang timbul ketika gesekan pohon lalu menjadi bara api, dia (tafoh) lalu mendekatinya dan menyentuhnya dengan tangan, tetapi karena tangannya terbakar sehingga ia meringis kesakitan dengan mengeluarkan kata SSS, setelah itu, tafoh mendekatinya untuk keduakalinya dengan keinginan memadamkannya dengn cara meniupnya. Ketika ia mencoba untuk meniupnya dan bunyi nafas tiupannya yang terdengar FUF, oleh kerabat-kerabatnya yang bersama dengan dia, sehingga mereka menyebut api dengan nama FUF dengan menggunakan bahasa tubuh untuk mengatakan kepada kerabat yang lain tentang api.
Dari penemuan ini, dipertahankan dan berkembang hingga zaman megalitik, yang mana manusia maybrat imian sawiat primitive mulai mengembangkan teknologi sederhana penghasil api (flame tecnology). Pada zaman ini, manusia maybrat imian sawiat yang begitu primitive, sedikit demi sedikit mulai mengalami perubahan. Pada zaman ini pula mereka mulai mencoba untuk meramu bahan-bahan untuk menciptakan api.
Bahan-bahan yang digunakan pertamakali untuk pembuatan api adalah:
a.Rotan (toŏ atu)
b.Kayu (ara)
c.Ampas dedaunan kering (hita gat)
d.Cara kerjanya adalah; Rotan dililitkan pada batan kayu dan ampas dedaunan kering diletakan dibawah dan selanjutnya tali rotan ditarik kekiri dan kekanang dengan bergesekan pada dinding kayu secara bergantian selama beberapa menit dan ketika kayunya panas, maka menimbulkan percikan api yang jatuh pada ampas dedaunan kering sehingga menjadi bara api.
Bahan yang digunakan kedua atau model kedua:
a.Bambu (tbil/bron)
b.Pecahan batu (fra habah)
c.Ampas dedaunan kering (hita gat)
Cara kerjanya adalah: pecahan batu digesekan pada dinding bamboo kering secara teratur berulang kali pada lokasi gesekan yang sama, sedangkan dibagian bawah disiapkan ampas dedaunan kering, setelah gesekan tersebut menghasilkan percikan api, yang jatuh pada ampas dedaunan kering itu sehingga menghasilkan bara api dalam beberapa menit.
Bahan yang dibunakan ketiga, atau model ketiga:
a.Pecahan kaca/beling botol (kusia habah)
b.Bamboo (tbil/bron)
c.Ampas kayu/dedaunan kering (ara magi/hita gaat)
Cara kerjanya adalah: pecahan kaca/beling digesekan pada kulit bamboo kering secara teratur berulang kali kepada tempat gesekan yang sama dan beling dilapisi dengan ampas kayu, sehingga ketika percikan api keluar langsung pada ampas kayu yang ada dan menghasilkan bara api. Model teknologi pembuatan api yang ketiga dengan bahan kaca/beling, semenjak abad 16, ketika VOC masuk ke wilayah maybrat imian sawiat. Pada abad ini pula orang maybrat imian sawiat mengenal barang-barang pecah belah dan korek api.
D.Busana
Orang maybrat imian sawiat dalam proses hidupnya, ia baru mengenal busana kemudian setelah kelengkapan yang lain seperti kapak batu (stone axe), dan api (flame) dikenal. Sejarah orang maybrat imian sawiat mengungkapkan bahwa nenekmoyang mereka pada mulanya hidup dalam ketelanjangan tanpa busana. Akantetapi sedikit demi sedikit waktu memproses mereka dengan diimbangi otak dan nalar yang kian mulai berpikir untuk berkembang menjadi manusia moderen, sehingga mereka mencoba untuk meramu segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan hidup mereka yang mana ikut merubah hidup mereka dari kehidupan primitive hingga menjadi manusia moderen sekarang ini.
Nenekmoyang orang maybrat imian sawiat yang pertama memakai busana cawat/cedaku (gitaut) adalah Hafra Hafuk. Kemudian diperkenalkan kepada anaknya yaitu Hefy Hafuk, dan selanjutnya Hefy Hafuk, memperkenalkannya kepada anaknya Saf Haafuk, (kini sesa dumufle). Bahan yang digunakan sebgai busana adalah kulit kayu (fijoh malak), yang berwarna Putih. Akan tetapi busana dari kulit kayu tersebut kemudian digantikan dengan bahan kain, pada abad ke-16, dimana orang Maybrat imian sawiat mengenalnya melalui para pedagang VOC. Sejarah orang maybrat imian sawiat dalam mengenal busana ini pada zaman dan tahun yang tidak diketahui.