Launching

Launching

Minggu, 15 Februari 2009

SISTEM KEPEMIMPINAN PRIA BERWIBAWA ORANG MAYBRAT






BILA INGIN MENGETAHUI LEBIH BANYAK LAGI
HUBUNGI SAYA DI
+62 85228949383 panggilan dlm negeri
01017 62 85228949383 panggilan dari luar negeri
e-mail: Plato_ayamaru@yahoo.com
www.hamah.socialgo.com
www.dada.net/sauf/
http://juanfranklinsagrim.blogspot.com



SISTEM KEPEMIMPINAN PRIA BERWIBAWA ORANG MAYBRAT

A. KONSEP PRIA BERWIBAWA

I.1. asal-usul perkembangan konsep

Konsep pria berwibawa atau Big Man yang di gunakan oleh para ahli antropologi untuk menamakan para pemimpin politik tradisional di daerah – daerah kebudayaan Oseania, khususnya di Melanesia, sesungguhnya berasal dari terjemahan bebas terhadap istilah-istilah lokal yang digunakan oleh penduduk setempat untuk menamakan orang-orang penting dalam masyarakatnya sendiri. Karangan yang membahas sejarah pemakaian konsep tersebut, di tulis oleh L. Lindstrom (1981:900-905), menunjukkan bahwa sejarah perkembangan kata Big Man dari vokabuleri sehari-hari menjadi konsep ilmiah mengalami suatu peoses yang lama. Selama abad ke-19 dan sampai pertengahan abad ke-20, para peneliti di daerah kepulauan Melanesia selalu menggunakan konsep chief, penghulu atau kepala suku, untuk menamakan para pemimpin pada masyarakat yang mereka deskripsikan.

Konsep chief itu kemudian tidak digunakan lagi oleh karena makna yang terkandung di dalam konsep tersebut tidak tercermin dalam system kepemimpinan banyak masyarakat di Melanesia dan di gantikan dengan berbagai konsep lain, misalnya influential man (Powdermarker 1944:41), Head Man (Williams 1936:236; Hogbin 1952: Index; 1964:62; Belshaw 1954: 108; Pospisil 1963:48), Center Man (Hogbin 1939:62), strong Man (Bendt 1969:335; Du Toit 1975:385), manager (Burridge 1969:38, 1975; Scheffler 1965:22), magnate (Chowing and Goodenough 1965-66:454), Direktor atau executive (Salisbury 1964:236), dan tentusaja big man. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, terjadi persaingan antara istilah-istilah tersebut untuk mendapat tempat dalam khazanah istilah ahli antropologi dan dalam situasi persaingan itulah lambat laun muncul istilah big man sebagai konsep tipikal antropologi yang diterima secara luas untuk menandakan suatu tipe atau system kepemimpinan yang cirri-ciri dasarnya berlawanan dengan cirri-ciri dasar pada system kepemimpinan chief.

Konsep big man sendiri sebenarnya sudah digunakan lama sebelumnya, misalnya oleh M. Mead, dalam karyanya, sex and Temperament in Three Primitive Societies (1935:326), namun peralihannya dari bahasa umum (common parlance) menjadi bahasa antropologi sangat lamban. Konsep tersebut baru menjadi konsep resmi dan dimuat dalam lexikon antropologi melalui karya M.D. Sahlins, yang terkenal dan selalu dikutip itu, “Por Man, Rich Man, Big Man, Chief” (1963) dan kemudian diperkuat oleh K. Burridge, melalui karyanya, “The Melanesian Manager”, yang dipersembahkan untuk mengenang seorang tokoh antropologi politik E.E. Evans-Pritchard (1975:86-104).

I.2. Ciri-ciri Pria Berwibawa

Konsep Big Man atau pria berwibawa, digunakan untuk satu bentuk tipe kepemimpinan politik yang diciri oleh kewibawaan (authority) atas dasar kemampuan pribadi seseorang untuk mengalokasi dan merealokasi sumber – sumber daya yang penting untuk umum (Sahlins 1963; Claessen 1984 dalam Van Bakel et al; 1986:1). Sifat pencapaian demikian menyebabkan adanya pendapat bahwa ciri terpenting dari seseorang yang menjadi Big Man adalah seseorang yang dengan kecakapannya memanipulasi orang-orang dengan sifat pencapaian (achievement) system ini merupakan ciri ketidak stabilannya, seperti yang selalu dikhawatirkan apakah berasal dari dalam atau luar (Van Bakel et al. 1986:3). Implikasi ketidak stabilan system yang didasarkan pada prinsip pencapaian ini yang dikemukakan oleh Van Bakel et al. ialah terbukanya kesempatan yang samabagi setiap anggota masyarakat, terutama kaum pria yang sudah dewasa menurut ukuran masyarakat yang bersangkutan, untuk bersaing merebut kedudukan pemimpin. Pria berwibawa merupakan mikrokosmos dari masyarakatnya dan oleh karena itu status pria berwibawa menjadi pokok perhatian dari setiap orang dalam masyarakat.

Menurut A. stratheren (1979:214) ada dua arena yang digunakan untuk merebut kedudukan pria berwibawa. Dua arena itu adalah hubungan intern dan hubungan eksteren. Hal yang dimaksudkan dengan hubungan interen adalah usaha seseorang untuk memperoleh dan meningkatkan pengaruh serta keunggulannya di dalam klen sendiri. Sedangkan hubungan eksteren diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk menjalani hubungan dengan pihak-pihak luar yang terdiri dari sekutu,bekas musuh dan hubungan antara pria berwibawa. Pada umumnya individu – individu yang berhasil di dua arena tersebut diakui sebagai pria berwibawa utama dan yang dapt menduduki posisi superior untuk bertahun-tahun lamanya.

Cirri umum lain yang biasanya digunakan untuk membedakan system politik pria berwibawa dari system-sistem politik yang lain adalah bahwa pada system pria berwibawa tidak terdapat organisasi kerja dengan pembagian tugas di antara para pembantu pemimpin. Bahwa penduduk di Melanesia terbentuk dari kesatuan-kesatuan social itu secara politik maupun ekonomi berdiri sendiri-sendiri. Kondisi semacam itu, menurut K.E. Read (1959:425), rupanya tidak memberikan peluang bagi tumbuhnya prinsip birokrasi pada system pria berwibawa di Melanesia.

Ciri – ciri kepemimpinan pada system pria berwibawa seperti tersebut diatas menyebabkan S. Epstein, menamakan orang yang berhasil untuk masuk dan berperan sebagai pemimpin dalam arena kepemimpinan pria berwibawa, “a well-rounded political expertise man” atau ahli politik sejati (1972:42) dan D. Riesman, (1950) serta K.E. Read (1959:425), menamakan orang demikian autonomous leader atau pemimpin tunggal.

Telah dikemukakan di atas bahwa prinsip dasar dari system pria berwibawa adalah achievement berdasarkan kwalitas kemampuan perorangan. Studi – studi etnografi tentang pria berwibawa menunjukkan bahwa atribut-atribut yang digunakan sebagai tolok ukur untuk mengukur kemampuan seseorang agar menjadi pemimpin, menurut kebanyakan penulis dan seperti yang disimpulkan oleh A. Chowing (1979:71), adalah kekayaan, suatu wujud nyata kemampuan di bidang ekonomi. Sungguhpun kekayaan merupakan atribut yang sangat penting, namun kedudukan pemimpin tidak dapat dicapai melalui kekayaan saja. Atribut lain yang harus dimiliki pula ialah sikap bermurah hati. Sikap tersebut harus dinyatakan melalui tindakan nyata, seperti misalnya membagi-bagi kekayaan kepada orang lain (redisitribusi), lewat sumbangan-sumbangan dan hadiah-hadiah pada saat adanya pesta perkawinan, upacara ritual atau pesta adat lainnya.

Perbuatan memberikan sumbangan atau hadiah kepada orang lain disebut oleh M. Mauss, adalah gift. Gift atau pemberian itu secara tidak langsung membentuk suatu ikatan antara dua pihak, ialah pihak peberi dan pihak penerima. Mauss, selanjutnya berpendapat bahwa pemberian itu mengandung apa yang disebut olehnya sendiri total prestation (1924:227). Hal yang dimaksud Mauss, dengan total ptestation, adalah bahwa selain bentuk nyata dari benda (objek) yang diberikan, terkandung pula di dalamnya unsure-unsur lain berupa unsur ekonomi, unsur religi, unsur hokum, unsur keindahan dan unsur politik. Secara keseluruhan semuanya itu membentuk kekuatan pengikat dan sekaligus merupakan kekuatan pendorong bagi pihak penerima untuk melakukan sesuatu kembali secara langsing atau tidak langsung dalam bentuk benda atau jasa kepada pihak pemberi.

Dilihat dari segi politik, pemberian dalam bentuk apapun merupakan modal bagi pihak pemberi untuk meningkatkan pendukung, supporters, guna mencapai tujuan politiknya. Makin banyak orang yang diberikan hadiah dan makin banyak yang mendapat bantuan, semakin kuat pula kedudukan politik pihak pemberi. Pemberian yang digunakan untuk kepentingan politik tertentu itulah yang menyebabkan F.G. Bailey (1971) menamakan pemberian sebagai “racun” bagi pihak penerima dan J. Van Baal, mengkontatir pemberian sebagai sesuatu yang kadang-kadang berbahaya bagi masyarakat (1975:23).

Perbuatan memberikan terus menerus hadiah atau sumbangan secara sepihak dapat menyebabkan terbentuknya suatu hubungan ketergantungan yang bersifat asymetrik, menyerupai hubungan patron-klien, dimana pihak pemberi berperan sebagai patron, sedangkan pihak penerima adalah kliennya.

Dalam system kepemimpinan pria berwibawa, hubungan semacam ini sangat penting, sebab seorang pria berwibawa dapat memanipulai kekayaan dan keunggulan-keunggulan lain yang dimilikinya untuk memperoleh dukungan dan simpati dari para peneima bantuan. Kekayaan dalam system kepemimpinan pria berwibawa sekaligus mempunyai nilai sibolik dan nilai nyata. Nilai sibolik melambangkan kekuasaan yang terkandung di dalamnya dan nilai nyata mengacu pada benda atau harta itu sendiri. Itulah sebabnya kekayaan digunakan sebagai alat pengabsahan kekuasaan (Cohrance 1970:5).

Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin pria berwibawa agar para pendukung setia kepadanya menurut Sahlins (1968:164), ialah bahwa ia harus menunjukkan kecakapan-kecakapan tertentu, misalnya pandai bertani, panda berburu, pandai berdiplomasi dan panda berpidato, memiliki kekuatan magis, panda memimpin upacara-upacara ritual dan berani memimpin perang.

Berbagai atribut yang diberikan kepada seorang pria berwibawa seperti tersebut diatas seringkali menyebabkan adanya kesamaan umum, seolah-oalah seorang big man harus memiliki semua atribut tersebut. Banyak contoh etnografi menunjukkan pula bahwa tidak mutlak semua atribut tersebut harus dimiliki oleh seseorang agar menjadi pemimpin di dalam system pria berwibawa. Di samping itu, data etnografi menunjukkan pula bahwa ada perbedaan penekanan pada atribut-atribut tertentu yang dianggap penting antara masyarakat satu dan masyarakat yang lain. Dengan perkataan lain ada perbedaan dalam tata urut hierarkis dari atribut-atribut tersebut, misalnya dalam masyarakat A atribut X menduduki tempat pertama dalam urutan hierarkis sedangkan dalam masyarakat B bukan atribut X tetapi atribut Y yang paling penting.

Demikian secara empiris, unsur-unsur yang merupakan atribut bagi pemimpin pria berwibawa itu berkaitan sangat erat satu sama lain sehingga sulit untuk dipisah-pisahkan, namun secara analisis pembagian berdasarkan urutan pentingnya atribut-atribut itu dapat dilakukan. Menurut hemat kami, pembagian tersebut penting, sebab memberikan pengertian yang lebih tajan tentang corak-corak khas dalam system kepemimpinan pria berwibawa. Sepanjang pengetahuan penulis, hal ini belum perna dilakukan oleh para ahli antropologi sehingga timbul pendapat bahwa tipe kepemimpinan pria berwibawa itu sama dalam masyarakat yang berbeda-beda. Pendapat demikian tentu saja selain mengaburkan pengetahuan kita tentang system kepemimpinan tersebut, juga menyebabkan tumbuhnya sikap “sudah tahu” pada diri kita dan menyebabkan kita tidak berminat untuk mencari lebih jauh tentang mekanisme-mekanisme yang mendasarinya. Sebaliknya jika kita membuat suatu para digma tentang sifat-sifat yang merupakan sifat pokok pada masyarakat-masyarakat yang berbeda, maka akan terbukalah perspektif baru bagi kita untuk bertanya apa yang menjadi dasar persamaan atau perbedaan itu dan sekaligus kita berusaha untuk mncari jawabannya.

I.3. Tipe-tipe Pemimpin Pria Berwibawa.

Betolak dari dasar pemikiran tersebut diatas dan atas dasar pengamatan penulis sendri di lapangan maupun kajian-kajian sendii mengena studi tentang kerangan-karangan etnografi yang membicarakan sistem kepemimpinan pria berwibawa di Wes Papua, maka sistem kepemimpinan ini dapat dibagi menurut dua bentuk. Bentuk pertama adalah pemimpin yang di dasarkan atas kekayaan harta, pemimpinnya disebut pemimpin pandai berwiraswasta, dan bentuk kedua adalah kepemimpinan yang didasarkan atas keberanian memimpin perang, pemimpinnya disebut pemimpin perang.

I.3.1. Pemimpin Pria Berwibawa berdasarkan kemampuan berwiraswasta.

Sub-bab ini diberi judul demikian berdasarkan dua alasan. Alasan pertama ialah alasan yang didasarkan atas pendapat sejumlah ahli antropologi, sedangkan alasan kedua didasarkan atas pendangan pendukung sistem kepemimpinan tersebut itu sendiri.

Alasan pertama, pendapat dari pihak ahli antropologi, contohnya, berasal dari F. Barth (1963:6) yang berpendapat, bahwa tindakan-tindakan seorang pemimpin pria berwibawa dapat disamakan dengan seorang enterpreneur atau sorang wiraswasta. Seorang pria berwibawa dapat mengakumulasi sumber-sumber daya tertentu dan memanipulasi orang-orang utnuk mencapai tujuannya. Menurut Barth, tujuan di sini dapat berupa kekayaan, kedudukan, dan prestise. Pendapat lain berasal dari Thoden Van Velsen. Menurut ahli ini, sifat interaksi antara para pemimpin pria berwibawa adalah sama dengan interaksi antara para pengusaha, sebab sering terjadi tawar-menawar antara mereka bahkan kadang-kadang mereka sengaja untuk saling mengalahkan atau menghancurkan midal pihak lawannya. Interaksi tersebut menentukan struktur dari pollitical field (Thoden van Velsen 1973:597). Pollitical field di sini adalah para pemeran yang secara langsung terlibat di dalam proses politik.

Kecuali dua pendapat tersebut, terdapat pula beberapa pendapat lain yang berasal dari ahli-ahli antropologi yang secara langsung melakukan penelitian di derah kebudayaan Melanesia. Tempat terdapatnya sistem pemimpin pria berwibawa. Pada umumnya para peneliti itu menyamakan seorang pria berwibawa dengan seorang pengusaha wiraswasta (lihatlah misalnya karangan-karangan dari strathern 1974:255; Burrigde, 1975:86; Sheffler 1965:22; Elmberg 1968; Pouwer 1957).

Selanjutnya dibawah ini saya muat dua buah contoh alasan berdasarkan pendapat masyarakat pendukung sistem itu sendiri. Contoh pertama berasal dari orang Me (Kapauku).¹ dalam studinya tentang orang Me (Kapauku), L. Pospisil mencatat kata-kata yang diucapkan oleh para informannya terhadap seorang warganya yang mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin pria berwibawa, tetapi tidak berhasil, sebagai berikut: ”dia adalah salah satu dari orang-orang bodoh yang tidak mengerti urusan dagang, sebab ia dapat menjadi tonowoi, pemimpin, tetapi karena ketolololannya ia tidak meningkatkan kekayaannya melainkan ia memboroskannya” (1958:79).

Contoh kedua berasal dari orang Maybrat. Seorang informan dari J. Pouwer mengatakan bahwa seorang yang dapat menjadi pemimpin politik pada orang maybrat adalah orang yang pandai berdagang. Ucapan di atas ini kemudian dilukiskan dengan contoh berikut: ”dia menjual sauger (tuak)-nya dengan harga setalen, uang setalen itu diberikan kepada ipar-ipar-nya. Ia menerima kembali dari ipar-nya dua talen (50 sen). Uang 50 sen itu diberikan kepada ipar-nya yang lain. Darinya ia menerima ”

__________________________________________

¹Nama Me adalah nama yang sekarang di pakai untuk menggantikan nama kapauku yang digunakan oleh Leopold Pospisil, untuk menamakan golongan etnik yang mendiami di sekitar danau Paniai. Nama kapauku yang telah di kenal secara luas di kalangan ilmuwan lewat karangan Pospisil itu tidak di sukai oleh penduduk Me sendiri. Perasaan tidak suka pada nama Kapauku dinyatakan secara langsung dan tidak langsung melalui berbagai media dan kesempatan antara lain dalam seminar pemerintahan Desa di West Papua, yang diselenggarakan pada tahun 1986 di holandia (sekarang Jayapura). Penduduk sekitar danau paniai lebih senang menggunakan nama Me yang berarti manusia sejati untuk menamakan golongan etnik mereka. Itulah sebabnya dalam karangan ini penulis menggunakan nama Me sebagai pengganti nama Kapauku (lihat makalah sdr. R. Gobay, 1986). Penjelasan lebih lanjut lihat butir 3 bab III di bawah. ²istilah ipar adalah sebutan saudara laki2 isteri. Pemakaian istilah tersebut kadang digunakan juga untuk semua kerabat dari pihak isteri pada generasi Ego.


Kembali satu rupiah. Demikian uang setalen itu berdar terus sampai mencapai 25 rupiah. Jika ada orang yang berhasil seperti ini, maka ia dapat di sebut bobot, ”pemimpin” (Pouwer 1957:312).

Lebih lanjut sikap mencari keuntungan yang biasanya terdapat pada seorang pengusaha pada umumnya, dikenal juga oleh orang maybrat seperti yang terungkap di dalam kata-kata berikut: ”seorang pemimpin adalah orang yang pandai memperlakukan barang dagangan, dalam hal ini kain timur jenis ru-ra, seperti burung yang terbang dai dahan ke dahan untuk membawa keuntungan” (Elmberg 1968; Kamma 1970; Schoorl 1979:178, 208; Miedema 1986:31).

Contoh-contoh diatas kiranya cukup memberikan penjelasan mengapa saya menyamakan seorang pemimpin politik pria berwibawa ata big man dengan seorang yang mempunyai keterampilan berwiraswasta.

Deskripsi-deskripsi tentang orang Maybrat, orang Me dan orang Muyu di bawah memberikan penjelasan yang lebih terinci tentang seorang pemimpin yang menggunakan kekayaan sebagai sumber kekuasaannya.

I.3.2. pemimpin pria berwibawa berdasarkan kemampuan memimpin perang

Sub-sub ini diberi judul demikian karena pada kelompok-kelompok etnik tertentu di west Papua yang mendukung sistem politik pria berwibawa aktivitas perang³ meupakan fokus kebudayaannya sehingga selalu dibutuhkan orang-orang tertentu yang memiliki keberanian untuk menjadi pemimpin masyarakat. Sifat berani ini mengandung dua unsur agresif dan unsur orator. Kedua unsur tersebut berkaitan erat satu dengan yang lain.

Unsur agresif terwujud dalam bentuk pernah membunuh orang lain, biasanya dari pihak musuh pada waktu perang, atau pada waktu ekspedisi pengayauan kepala manusia. Kadang-kadang terjadi juga bahwa tindakan membunuh terjadi di dalam kelompok sendiri. Kecuali unsur agresif, unsur orator atau pandai berpidato adalah juga merupakan syarat penting.

Seorang pemimpin pada masyarakat yang berkebudayaan perang, harus memiliki pengetahuan dalam berbagai hal yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk disampaikan dalam pidato-
______________________________________
³
. Istilah perang disini diartikan menurut definisi yang dikemukakan oleh R. Berndt (1962:232), yang berarti tindakan kekerasan berencana yang dilakukan oleh anggota-anggota dari suatu kelompok sosial tertentu atas nama kelompok sosialnya terhadap anggota-anggota dari kelompok sosial yang lain. Fokus kebudayaan adalah aspek tertentu di dalam suatu kebudayaan yang lebih jauh berkembang dari aspek-aspek lainnya dan yang banyak mempengaruhi pola kebudayaan atau struktur kebudayaan itu (Herskovits, 1948:542). Sifat agresif dapat ditunjukkan juga pada tindakan membunuh isteri atau saudara kandung sendiri seperti yang pernah terjadi pada orang Asmat (Mansoben, 1974:32).

Politik serta kadang-kadang sebagai pemimpin upacara-upacara keagamaan dibahas secara lebih luas pada sub-sub bab dibawah yang berjudul ”sistem kepemimpinan bobot”.

Orang-orang Eropa pertama mengunjungi daerah Maybrat, terdiri dari suatu tim ekspedisi pemetaan Belanda pada tahun 1908. walaupun sudah ada kontak pada waktu itu, namun Pemerintahan Belanda baru melaksanakan pemerintahan administratifnya atas daerah itu pada tahun 1924. sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1934, terbentuklah kampung-kampung pertama yang secara permanen didiami oleh orang Maybrat atas usaha Pemerintahan Belanda. Sebelumnya itu, orang Maybrat hidup secara terpencar dalam kelompok-kelompok kekerabatan kecil dan sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya mengikuti pola perladangan mereka yang berpindah-pindah.

Pada tahun 1935, dibuka pusat pemerintahan Belanda yang pertama di Aitinyo dan di sekitar pusat pemerintahan tersebut, dibentuk beberapa kampung. Pembentukkan kampung-kampung di sekitar danau, terjadi pada tahun 1950, dan tiga tahun kemudian (1953) kampung-kampung terbesar diantara kampung-kampung yang telah dibentuk itu mendapat guru dan sekolah.





Senin, 02 Februari 2009

IKAN HIAS ATAU YANG DIKENAL IKAN RAIN BOW-si cantik dari papua


MENGENAL FAUNA DARI PAPUA



Para penggemar ikan hias di daratan Eropa sangat menggemari ikan hias Rainbow asal Papua. Ikan jenis ini cantik dan eksotik. Jika Anda punya hobi memelihara dan membudidayakan ikan hias, Rainbow atau ikan pelangi boleh juga dijadikan alternative pilihan. Selain cantik, eksotis dan ramah, ikan hias air tawar yang banyak ditemukan di perairan wilayah Papua ini juga gampang dipelihara dan dibudidayakan. Dan, pembudidayaan ikan ini mulai tren pada 1985. Rainbow terdiri dari berbagai jenis, antara lain: Rainbow Merah (glossolepis incisus), Rainbow Bosemani, Rainbow Threadfin, Rainbow Neon, Rainbow Frukata, Rainbow Celebes dan Rainbow Gertrude. Rainbow Merah berasal dari danau Sentani dan beberapa pulau lainnya di wilayah Papua dan negara tetangga Papua Nugini. Rainbow Merah pertama kali ditemukan Weber pada 1908. Jenis ini memiliki karakteristik pendamai dan sangat cocok untuk aquascaping. Untuk membedakan antara jantan dan betina dengan cara melihat warna sisik atau tubuhnya. Jantan warna merahnya terlihat lebih terang, sedang betina cenderung kuning pucat dan sirip yang transparan. Rainbow Boesemani ditemukan di Danau Ayamaru, juga Papua. Menurut Hasan (64), petani Rainbow di Bintara, Bekasi, jenis yang satu ini banyak digemari, terutama di Eropa, karena warnanya cantik dan sedap dipandang. Ciri khasnya, badan separo biru dan separo kuning kemerahan. Rainbow Boesemani jantan warna sirip atas dan bawahnya lebih panjang dan warna merahnya lebih menonjol dibanding yang betina. Rainbow Threadfin di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Iriatherina. Warnanya indah, postur tubuh pipih dan sirip atas-bawah berfilamen panjang. Mulutnya berbentuk tabung dan kecil. Karena itu pakan yang diberikan juga berukuran kecil, seperti flakes yang telah diremas halus atau cacing kering yang diremuk kecil-kecil. Iriatherina jantan bersirip filamen lebih panjang dan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar. Rainbow Neon tidak jauh berbeda dengan Rainbow Boesemani. Untuk yang jantan sirip atas dan bawahnya lebih panjang, dan lebih warna merahnya lebih jelas ketimbang betina. Jenis ini berukuran paling kecil dibandingkan jenis ikan Rainbow lainnya. Karena itulah ikan ini juga dijuluki Dwarf Rainbow alias kerdil. Rainbow Frukata satu keluarga dengan Rainbow Celebes (Telmatherina Rainbowfish), cenderung berenang mendekati permukaan, dan gerakannya agak pelan. Frukata jantan mempunyai sirip atas dan bawah lebih panjang dan melebar dengan warna yang lebih kentara dibandingkan betina. Rainbow Gertrudae termasuk famili Psudomugil yang juga dikategorikan sebagai Rainbowfish. Jenis ini mempunyai susunan dan bentuk sirip yang cantik, warna tubuh kuning menyala dihiasi bintik-bintik hitam dan matanya berwarna biru. Karena itu jenis ini disebut Spotted Blue-Eye Rainbow. Sekilas Gertrudae ini mirip Rainbow Celebes, bedanya hanya pada warna lingkaran mata, warna sirip, serta gerakannya. Cara membudidayakan Ikan hias jenis Rainbow ini sangat mudah dibudidayakan. Ikan ini biasanya bertelur pada tanaman yang tumbuh di air yang bersih, seperti lumut atau lainnya. Tapi, untuk membudidayakannya, habitatnya yang sesungguhnya ini dapat diganti dengan tali raffia yang diracik halus dimasukkan ke kolam. Ikan ini bertelur pada pagi hari, dan baru menetas setelah melalui pengeraman selama tujuh hari. Burayak (anak yang baru menetas) lalu dipisahkan dari induknya, dan diberi pakan yang sesuai dengan kebutuhan burayak. Setelah burayak besar dan berukuran 3-5 cm sebaiknya di[indahkan ke akuarium, agar terhindar dari penyakit. “Hanya saja kalau di masukkan ke akuarium perkembangannya lebih lambat ketimbang di kolam, tapi di kolam sangat rentan penyakit. Satu ikan kena penyakit, ikan lainnya bisa tertular,” jelas Hasan kepada Tani Merdeka di rumahnya di Bintara, Bekasi Barat. Satu hal yang penting diperhatikan dalam membudidayakan ikan hias ini perlu dijaga agar kadar garam dalam air (GH) 18-25 dengan PH 7-7.5 (netral atau sedikit alkaline). Boks Demi Rainbow, Rela Melepas Status PNS Awalnya Hasan, 60 tahun, sama sekali tak berfikir akan menjadi petani ikan hias Rainbow. Namun, begitu di tahun 1983, ia menyaksikan anak-anak kecil asyik bermain ikan cupang hatinya mulai terpikat. Ikan-ikan yang dilepas di kolam berukuran kurang lebih 100x300 cm itu buat Hasan sebuah pemandangan yang sungguh cantik dan indah. Begitu pulang ke rumah, Hasan lalu mencoba memelihara ikan. Ia membuat sebuah kolam kecil-kecilan, lalu ia membeli 2000 ikan hias. Sebagai seorang guru agama di SD Negeri Jakasampurna dengan gaji pas-pasan tentu saja ia kesulitan dalam hal keuangan. Maka untuk membeli ikan hias itu ia meminjam emas 10 gram dari mertuanya. Tapi pada daya, upaya membudidayakan ikan hias itu ternyata gagal, ikan-ikan miliknya mati semua tanpa tersisa. Namun, Hasan tak berputus asa, dan ia berusaha bangkit kembali. Hanya saja, kali ini, ia tidak langsung membeli ikan, tapi terlebih dahulu mempelajari bagaimana cara membudidayakan ikan hias. Untuk itu ia tak segan bertanya kepada para petani ikan rainbow yang telah memiliki pengalaman di bidang itu. Setelah memiliki ilmu mengenai budidaya ikan hias, baru ia membeli indukan Rainbow. Setelah dibudidaya ternyata hasilnya di luar dugaan, ribuan ekor. Hasan betul-betul menikmati keberuntungan, karena saat itu (1985) ikan hiasi sedang menjadi tren. Ribuan ekor ikannya dibeli eksportir, dan dari usaha ini ia bisa meraup keuntungan sangat besar. Keuntungan yang diperoleh itu, oleh Hasan, digunakan untuk membangun dan memperluas rumah, sekaligus sebagai tempat usahanya. Bukan hanya itu, ikan hias bisa memberangkatkan Hasan menunaikan ibadah haji ke Mekah pada 1989. “Kalau hanya mengandalkan gaji PNS mah nggak bisa berangkat haji,” ungkap Hasan. Begitu usaha ikan hias ini semakin menyita waktunya, Hasan mulai berfikir, tetap mengabdikan diri pada pemerintah sebagai PNS atau lepas. Rupanya berat juga Hasan memikirkan hal itu, sehingga ia sakit-sakitan. Akhirnya Hasan memutuskan untuk tetap konsisten dengan usaha budidaya ikan, dan ia pun mengajukan permohonan pensiun dini.

Minggu, 25 Januari 2009

SAUF remo ro mof, tabam ro ALLAH RAIT


Wanita dalam Mitos Seks!

Wanita dalam Mitos Seks!
OLEH HAMAH SAGRIM

Luas beredar anggapan bahwa dorongan seksual wanita jauh lebih rendah daripada pria.

Mitos tentang seks beredar sangat luas di masyarakat. Bahkan begitu kuat pengaruhnya sehingga mempengaruhi pandangan dan perilaku seksual masyarakat.

Tidak jarang perilaku akibat mitos seks menimbulkan akibat buruk bagi yang bersangkutan maupun pasangannya.

Pada umumnya mitos seks tumbuh subur di dalam masyarakat dengan tingkat pengetahuan seksualitas yang rendah. Di masyarakat seperti itu pula mitos seks sangat mudah mempengaruhi perilaku seksual, yang tidak jarang kemudian menimbulkan akibat yang tidak diinginkan.

Semakin bertambah tingkat pengetahuan seksualitas masyarakat, semakin kurang pengaruh mitos di dalam perilaku seksual karena mereka semakin mengerti bahwa informasi seks di dalam mitos itu salah dan menyesatkan.

Berikut ini beberapa contoh mitos tentang wanita dan seks yang beredar luas di masyarakat dan diyakini sebagai suatu informasi yang benar:

Wanita tak butuh hubungan seks

Luas beredar anggapan bahwa dorongan seksual wanita jauh lebih rendah daripada pria. Dengan kata lain wanita tidak memerlukan hubungan seksual unyuk memenuhi dorongan seksual, sedangkan pria sangat memerlukan.

Anggapan ini salah sama sekali. Pada dasarnya dorongan seksual wanita sama dengan pria. Kalau tampak perbedaan, itu hanya dalam mengekspresikannya sebagai akibat nilai sosial dan moral yang lebih menghambat wanita.

Tetapi pada kenyataannya memang banyak wanita yang kemudian kehilangan dorongan seksualnya. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan wanita mencapai orgasme dalam kehidupan seksualnya. Keadaan ini mudah dimengerti karena dorongan seksual dipengaruhi oleh hormon seks khususnya testosteron, rangsangan seksual yang diterima, faktor psikis, dan pengalaman seksual sebelumnya.

Vagina kering

Mitos seks yang lain ialah tentang vagina kering yang katanya lebih memberikan kepuasan seksual daripada yang basah. Lalu gencarlah para wanita berusaha dengan berbagai cara agar vaginanya tidak basah.

Sebenarnya ini adalah usaha yang menentang reaksi seksual yang terjadi secara normal pada wanita. Salah satu reaksi seksual yang terjadi akibat rangsangan seksual pada wanita ialah terjadinya perlendiran pada dinding vagina sehingga vagina menjadi licin. Dengan demikian maka berarti wanita telah siap sehingga hubungan seksual dapat berlangsung dengan normal, tanpa gangguan.

Kalau vagina masih kering karena tidak ada perlendiran yang terjadi, berarti wanita itu tidak cukup mengalami reaksi seksual sehingga belum siap melakukan hubungan seksual. Kalau dalam keadaan demikian hubungan seksual dilakukan juga, maka akan terjadi gangguan seperti terasa sakit baik pada wanita maupun pria. Lebih lanjut dapat terjadi peradangan vagina.

Begitu kuatnya mitos ini mempengaruhi para wanita dan juga pria, sehingga banyak wanita karena dorongan pria pasangannya, berusaha dengan berbagai cara agar vaginanya tetap kering.

Berbagai jamu ditawarkan oleh para pedagang, memanfaatkan kebodohan para wanita dan pria pasangannya karena pengaruh mitos itu. Kalau toh mereka berhasil membuat vaginanya kering, sebenarnya mereka menyiksa dirinya sendiri karena hubungan seksual kemudian berlangsung tidak normal akibat tidak terjadi reaksi fisiologik terhadap rangsangan seksual yang berupa perlendiran vagina.

Kehebatan seks etnis tertentu

Tentang "kehebatan" seksual wanita dari etnik tertentu juga telah beredar luas di masyarakat. Menurut mitos itu, wanita dari etnis tertentu mempunyai kelebihan pada vaginanya sehingga lebih memberikan kepuasan seksual. Mitos ini sungguh tidak berdasar, karena secara fisik tidak ada perbedaan pada vagina berdasarkan etnis.

Kalaupun ada perbedaan antara wanita dan etnis yang berbeda, perbedaan hanyalah dalam pandangan dan perilaku seksual yang disebabkan karena perbedaan nilai sosial dan budaya.

Perbedaan sosial dan budaya memang mempengaruhi pandangan tentang seksualitas, dan pandangan tentang seksualitas inilah yang kemudian mempengaruhi perilaku seksual.

Orgasme pada wanita

Mitos tentang orgasme pada wanita juga beredar luas. Wanita itu dianggap sama dengan pria yang hanya dapat mencapai sekali orgasme pada setiap kali hubungan seksual. Maka wanita yang mampu mencapai orgasme berkali-kali dalam satu kali hubungan seksual, dianggap tidak normal atau mengalami kelainan.

Anggapan ini jelas salah, karena justru itulah salah satu perbedaan antara orgasme pada pria dan wanita. Sebagian wanita memang mampu mengalami orgasme beberapa kali, yang disebut multiple orgasm.

Hubungan seksual saat menstruasi

Sudah sejak lama, barangkali sejak mulainya sejarah umat manusia, mitos tentang menstruasi telah beredar. Peristiwa menstruasi dianggap sesuatu yang kotor bahkan dosa. Maka hubungan seksual yang dilakukan pada saat menstruasi dianggap sangat berbahaya, dapat menimbulkan penyakit pada pria dan wanita.

Sesungguhnya menstruasi adalah suatu peristiwa fisiologik yang dialami oleh wanita normal. Justru wanita tidak normallah yang tidak mengalami menstruasi. Perdarahan yang terjadi waktu menstruasi berasal dari dinding dalam rahim akibat pecahnya pembuluh-pembuluh darah kecil di situ karena pengaruh perubahan keseimbangan hormon. Jadi perdarahan yang terjadi bukan berasal dari vagina, dan darah yang dikeluarkan adalah darah normal bukan darah yang dapat menimbulkan penyakit atau akibat buruk yang lain.

Maka dan sudut kesehatan seksual, sebenarnya tidak ada alasan yang rasional untuk melarang orang melakukan hubungan seksual pada saat menstruasi asal kedua pihak berada dalam keadaan sehat.*

TEORI PEMBANGUNAN DUNIA KETIGA

Teori Pembangunan Dunia Ketiga
HAMAH SAGRIM



Teori Pembangunan Dunia Ketiga adalah teori-teori pembangunan yang berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh negara-negara miskin atau negara yang sedang berkembang dalam dunia yang didominasi oleh kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan dan kekuatan militer negara-negara adikuasa atau negara industri maju.
Persoalan-persoalan yang dimaksud yakni bagaimana mempertahankan hidup atau meletakkan dasar-dasar ekonominya agar dapat bersaing di pasar internasional.
Untuk mengukur pembangunan atau pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat dilihat dari:
1.Kekayaan rata-rata yakni produktifitas masyarakat atau produktifitas negara tersebut melalui produk nasional bruto dan produk domestic bruto.
2.Pemerataan: tidak saja kekayaan atau produktifitas bangsa yang dilihat, tetapi juga pemerataan kekayaan dimana tidak terjadi ketimpangan yang besar antara pendapatan golongan termiskin, menengah dan golongan terkaya. Bangsa yang berhasil dalam pembangunan adalah bangsa yang tinggi produktifitasnya serta penduduknya relatif makmur dan sejahtera secara merata.
3.Kualitas kehidupan dengan tolok ukur PQLI (Physical Quality of Life Index) yakni: rata-rata harapan hidup sesudah umur satu tahun, rata-rata jumlah kematian bayi, dan rata-rata presentasi buta dan melek huruf.
4.Kerusakan lingkungan.
5.Kejadian sosial dan kesinambungan.
Teori Modernisasi: Pembangunan sebagai masalah internal.
Teori ini menjelaskan bahwa kemiskinan lebih disebabkan oleh faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negara yang bersangkutan.
Ada banyak variasi dan teori yang tergabung dalam kelompok teori ini antara lain adalah:
1.Teori yang menekankan bahwa pembangunan hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi. Teori ini biasanya dikembangkan oleh para ekonom. Pelopor teori antara lain Roy Harrod dan Evsay Domar yang secara terpisah berkarya namun menghasilkan kesimpulan sama yakni: pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tabungan dan investasi.
2.Teori yang menekankan aspek psikologi individu. Tokohnya adalah McClelaw dengan konsepnya The Need For Achievment dengan symbol n. ach, yakni kebutuhan atau dorongan berprestasi, dimana mendorong proses pembangunan berarti membentuk manusia wiraswasta dengan n.ach yang tinggi. Cara pembentukanya melalui pendidikan individu ketika seseorang masih kanak-kanak di lingkungan keluarga.
3.Teori yang menekankan nilai-nilai budaya mempersoalkan masalah manusia yang dibentuk oleh nilai-nilai budaya di sekitarnya, khususnya nilai-nilai agama. Satu masalah pembangunan bagi Max Weber (tokoh teori ini) adalah tentang peranan agaman sebagai faktor penyebab munculnya kapitalisme di Eropa barat dan Amerika Serikat. Bagi Weber penyebab utama dari semua itu adalah etika protestan yang dikembangkan oleh Calvin.
4.Teori yang menekankan adanya lembaga-lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan sebelum lepas landas dimulai. Bagi W.W Rostow, pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus dari masyarakat terbelakang ke masyarakat niaga. Tahap-tahapanya adalah sbb:
a.Masarakat tradisional=belum banyak menguasai ilmu pengetahuan.
b.Pra-kondisi untuk lepas landas= masyarakat tradisional terus bergerak walaupun sangat lambat dan pada suatu titik akan mencapai posisi pra-kondisi untuk lepas landas.
c.Lepas landas : ditandai dengan tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi.
d.Jaman konsumsi massal yang tinggi. Pada titik ini pembangunan merupakan proses berkesinambungan yang bisa menopang kemajuan secara terus-menerus.
5.Teori yang menekankan lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan. Tokohnya Bert E Hoselitz yang membahas faktor-faktor non-ekonomi yang ditinggalkan oleh W.W Rostow. Hoselitz menekankan lembaga-lembaga kongkrit. Baginya, lembaga-lembaga politik dan sosial ini diperlukan untuk menghimpun modal yang besar, serta memasok tenaga teknis, tenaga swasta dan tenaga teknologi.
6.Teori ini menekankan lingkungan material. Dalam hal ini lingkungan pekerjaan sebagai salah satu cara terbaik untuk membentuk manusia modern yang bisa membangun. Tokohnya adalah Alex Inkeler dan David H. Smith.
Teori ketergantungan.
Teori ini pada mulanya adalah teori struktural yang menelaah jawaban yang diberikan oleh teori modernisasi.
Teori struktural berpendapat bahwa kemiskinan yang terjadi di negara dunia ketiga yang mengkhusukan diri pada produksi pertanian adalah akibat dari struktur pertanian adalah akibat dari struktur perekonomian dunia yang eksploitatif dimana yang kuat mengeksploitasi yang lemah.
Teori ini berpangkal pada filsafat materialisme yang dikembangkan Karl Marx. Salah satu kelompok teori yang tergolong teori struktiral ini adalah teori ketergantungan yang lahir dari 2 induk, yakni seorang ahli pemikiran liberal Raul Prebiesch dan teori-teori Marx tentang imperialisme dan kolonialisme serta seorang pemikir marxis yang merevisi pandangan marxis tentang cara produksi Asia yaitu, Paul Baran.
1.Raul Prebisch : industri substitusi import. Menurutnya negara-negara terbelakang harus melakukan industrialisasi yang dimulai dari industri substitusi impor.
2.Perdebatan tentang imperialisme dan kolonialisme. Hal ini muncul untuk menjawab pertanyaan tentang alasan apa bangsa-bangsa Eropa melakukan ekspansi dan menguasai negara-negara lain secara politisi dan ekonomis. Ada tiga teori:
a.Teori God:adanya misi menyebarkan agama.
b.Teori Glory:kehausan akan kekuasaan dan kebesaran.
c.Teori Gospel:motivasi demi keuntungan ekonomi.
3.Paul Baran: sentuhan yang mematikan dan kretinisme. Baginya perkembangan kapitalisme di negara-negara pinggiran beda dengan kapitalisme di negara-negara pusat. Di negara pinggiran, system kapitalisme seperti terkena penyakit kretinisme yang membuat orang tetap kerdil.
Ada 2 tokoh yang membahas dan menjabarkan pemikirannya sebagai kelanjutan dari tokoh-tokoh di atas, yakni:
1.Andre Guner Frank : pembangunan keterbelakangan. Bagi Frank keterbelakangan hanya dapat diatasi dengan revolusi, yakni revolusi yang melahirkan sistem sosialis.
2.Theotonia De Santos : Membantah Frank. Menurutnya ada 3 bentuk ketergantungan, yakni :
a.Ketergantungan Kolonial: hubungan antar penjajah dan penduduk setempat bersifat eksploitatif.
b.Ketergantungan Finansial- Industri: pengendalian dilakukan melalui kekuasaan ekonomi dalam bentuk kekuasaan financial-industri.
c.Ketergantungan Teknologis-Industrial: penguasaan terhadap surplus industri dilakukan melalui monopoli teknologi industri.
Ada 6 inti pembahasan teori ketergantungan:
1.Pendekatan keseluruhan melalui pendekatan kasus.
Gejala ketergantungan dianalisis dengan pendekatan keseluruhan yang memberi tekanan pada sisitem dunia. Ketergantungan adalah akibat proses kapitalisme global, dimana negara pinggiran hanya sebagai pelengkap. Keseluruhan dinamika dan mekanisme kapitalis dunia menjadi perhatian pendekatan ini.
2.Pakar eksternal melawan internal.
Para pengikut teori ketergantungan tidak sependapat dalam penekanan terhadap dua faktor ini, ada yang beranggapan bahwa faktor eksternal lebih ditekankan, seperti Frank Des Santos. Sebaliknya ada yang menekan factor internal yang mempengaruhi/ menyebabkan ketergantungan, seperti Cordosa dan Faletto.
3.Analisis ekonomi melawan analisi sosiopolitik
Raul Plebiech memulainya dengan memakai analisis ekonomi dan penyelesaian yang ditawarkanya juga bersifat ekonomi. AG Frank seorang ekonom, dalam analisisnya memakai disiplin ilmu sosial lainya, terutama sosiologi dan politik. Dengan demikian teori ketergantungan dimulai sebagai masalah ekonomi kemudian berkembang menjadi analisis sosial politik dimana analisis ekonomi hanya merupakan bagian dan pendekatan yang multi dan interdisipliner analisis sosiopolitik menekankan analisa kelas, kelompok sosial dan peran pemerintah di negara pinggiran.
4.Kontradiksi sektoral/regional melawan kontradiksi kelas.
Salah satu kelompok penganut ketergantungan sangat menekankan analisis tentang hubungan negara-negara pusat dengan pinggiran ini merupakan analisis yang memakai kontradiksi regional. Tokohnya adalah AG Frank. Sedangkan kelompok lainya menekankan analisis klas, seperti Cardoso.
5.Keterbelakangan melawan pembangunan.
Teori ketergantungan sering disamakan dengan teori tentang keterbelakangan dunia ketiga. Seperti dinyatakan oleh Frank. Para pemikir teori ketergantungan yang lain seperti Dos Santos, Cardoso, Evans menyatakan bahwa ketergantungan dan pembangunan bisa berjalan seiring. Yang perlu dijelaskan adalah sebab, sifat dan keterbatasan dari pembangunan yang terjadi dalam konteks ketergantungan.
6.Voluntarisme melawan determinisme
Penganut marxis klasik melihat perkembangan sejarah sebagai suatu yang deterministic. Masyarakat akan berkembang sesuai tahapan dari feodalisme ke kapitalisme dan akan kepada sosialisme. Penganut Neo Marxis seperti Frank kemudian mengubahnya melalui teori ketergantungan. Menurutnya kapitalisme negara-negara pusat berbeda dengan kapitalisme negara pinggiran. Kapitalisme negara pinggiran adalah keterbelakangan karena itu perlu di ubah menjadi negara sosialis melalui sebuah revolusi. Dalam hal ini Frank adalah penganut teori voluntaristik. [C 2002)
Data teori rostofarian
Adalah Walt Whitman Rostow, orang yang memperkenalkan teori pertumbuhan ekonomi tahapan linear. Tahapan pertumbuhan ini dikenal sebagai model pembangunan lepas landas Rostow (rostovian take-off model). Mengacu pada teori ini, perubahan dari kondisi terbelakang (underdeveloped) menjadi maju (developed) dapat dicapai oleh semua negara dengan melalui lima tahapan Sebelum suatu negara berkembang menjadi negara maju, harus dilalui suatu tahap yang disebut tahap tinggal landas (take off). Teori ini menyarankan agar negara-negara sedang berkembang (developing country) tinggal mengikuti saja seperangkat aturan pembangunan tertentu untuk tinggal landas, sehingga pada gilirannya akan berkembang menjadi negara maju (julissarwritting.blogspot.com).
Kelima tahapan tersebut yaitu masyarakat tradisional, pra-kondisi untuk lepas landas, lepas landas, menuju kedewasaan, dan zaman konsumsi massa tinggi. Kelima tahap pertumbuhan tersebut berlangsung secara linear. Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi pembangunan yaitu investasi, konsumsi dan tren sosial dalam tingkatan masing-masing.
Tahapan Masyarakat Tradisional
Adalah masyarakat yang memiliki struktur yang berkembang terbatas pada fungsi-fungsi produksi. Berbasis pada pengetahuan dan teknologi pre-newtonian yang percaya bahwa dunia eksternal hanya tunduk pada hukum yang dapat dipelajari. Bahwa produktivitas manusia tergantung pada tersedianya barang-barang produksi bukan pada kemampuan akal atau kecerdikan manusia.
Meskipun konsepsi tentang masyarakat tradisional selalu berubah, namun ada beberapa fakta sentral tentang masyarakat tradisional. Pertama, tingkat kemampuan output per individu terbatas. Keterbatasan itu disebabkan oleh tidak tersedianya teknologi modern untuk mengolah potensi yang ada. Kalaupun tersedia, teknologi modern tersebut tidak diterapkan secara tepat dan sistematis.
Kedua, kondisi masyarakat cenderung kurang stabil. Misalnya luas daerah dan volume perdagangan berfluktuasi seiring dengan tingkat pergolakan sosial politik. Berbagai kegiatan pertanian dan manufaktur berkembang tetapi tingkat produktivitasnya terbatasi oleh tidak tersedianya pengetahuan dan skill penguasaan teknologi modern.
Ketiga, memusatkan perhatian pada pengembangan sektor pertanian. Pemusatan tersebut berakar pada produktivitas mereka yang terbatas. Corak masyarakat tradisional yang agraris ini memunculkan struktur social yang bersifat hierarkis. Hubungan keluarga dan klan memaikan peranan besar dalam organisasi sosial.
Keempat, corak kepemimpinan masih bersifat feodalistik. Pusat kekuatan politik umumnya dibawah kendali para tuan tanah. Untuk mengontrol dan mengendalikan kekuasaan, mereka memiliki pegawai atau antek-antek yang patuh.
Tahapan Pra-Kondisi untuk Lepas Landas
Setelah tahapan tradisional, selanjutnya masyarakat memasuki tahap pra kondisi untuk lepas landas, atau masa transisi. Selama proses ini berlangsung masyarakat mengalami transformasi melalui berbagai cara yang diperlukan masyarakat untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tahapan prakondisi lepas landas mulanya berkembang di Eropa Barat pada awal abad 18. Ketika itu wawasan ilmu pengetahuan modern mulai digunakaan dalam fungsi-fungsi produksi baru di sektor pertanian dan industri. Didukung dengan situasi yang dinamis akibat adanya ekspansi mendatar pasaran dunia dan persaingan internasional. Namun apa yang terjadi pada masa abad pertengahan turut andil dalam pembentukan prasyarat untuk lepas landas di Eropa Barat.
Inggris, sebagai salah satu negara di Eropa Barat, adalah negara pertama yang secara penuh telah membangun prasyarat untuk lepas landas. Hal ini bisa terjadi karena Inggris memiliki beberapa kelebihan antara lain keadaan geografis yang menguntungkan, sumber daya alam, peluang perdagangan, struktur sosial dan politik yang lebih baik dibanding negara tetangganya.
Selain faktor internal, perubahan pada tahap kedua ini juga disebabkan oleh adanya pengaruh dari luar, masyarakat yang lebih maju. Bentuk invasi atau penjajahan yang dilakukan bangsa Eropa terhadap negara dunia ketiga, yang hampir semuanya masyarakat tradisional, telah memacu keruntuhan tradisionalitas itu sendiri. Invasi-invasi bangsa Eropa juga memasukkan dan menggerakkan nilai modernitas di masyarakat tradisional. Bukan saja karena modernitas menjanjikan kemajuan ekonomi, tetapi justru dengan kemajuan ekonomilah beberapa tujuan lainnya bisa dicapai.
Pada tahap ini ditandai dengan diterimanya pendidikan sekuler yang mengajarkan tentang perpindahan modal, khususnya melalui pendirian bank dan mata uang. Munculnya kalangan wirausahawan dengan motode-metode produksi yang baru (en.wikipedia.org).
Tahapan Lepas Landas
Masa lepas landas terjadi ketika pertumbuhan sektor menjadi suatu yang wajar dan masyarakat digerakkan lebih banyak oleh proses ekonomi daripada tradisi. Pada level ini norma pertumbuhan ekonomi terbangun dengan baik.
Di negara-negara kaya, terutama yang penduduk utamanya berasal dari Inggris seperti Amerika Serikat, Kanada, stimulus utama menuju lepas landas adalah teknologi. dalam kasus umum, tahap lepas landas tidak hanya menunggu terbentuknya modal eksploitasi sosial dan perkembangan teknologi di sektor industri dan pertanian, tetapi juga menunggu kemunculan kekuasaan politik dari suatu kelompok.
Selama tahap lepas landas, industri berkembang dengan pesat, banyak industri baru bermunculan. Pada gilirannya merangsang kebutuhan atas layanan jasa yang mendukung para pekerja industri. Pesatnya industri di masa ini memberikan peningkatan pendapatan para pekerja. Tabungan mereka gunakan untuk terlibat dalam kegiatan sektor modern. Dari sini muncul kelas baru pengusaha.
Setelah tahap lepas landas, suatu negara membutuhkan waktu 50 – 100 tahun untuk mencapai tahap kedewasaan.
Menuju Kedewasaan
Sekurangnya dibutuhkan waktu 40 tahun setelah lepas landas, level kedewasaan ekonomi suatu negara dapat tercapai. Fokus perekonomian kini bergeser dari industri dan teknologi menuju proses perluasan yang lebih baik dan secara teknologi seringkali lebih kompleks. Tahap kedewasaan merujuk pada kebutuhan ekonomi untuk melakukan difersifikasi. Ini adalah tahapan di mana suatu perekonomian menunjukkan kapasitas teknologi maupun manajerial untuk memproduksi bukan segalanya, melainkan apa saja yang dikehendaki untuk diproduksi.
Difersifikasi ini pada akhirnya mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan standar hidup, seperti misalnya masyarakat tidak perlu lagi mengorbankan kenyamanannya untuk menguatkan sektor tertentu.
Zaman Konsumsi Massa Tinggi
Zaman konsumsi massa tinggi merupakan periode yang kini dialami oleh banyak warga Negara Barat di mana konsumen cenderung pada barang konsumsi yang tahan lama. Pada tahap sebelumnya, terjadi dua hal penting yaitu pendapatan riil per kapita naik pada titik dimana sebagian besar masyarakat memiliki tingkat konsumsi yang melebihi kebutuhan dasar.
Sebagai kelanjutan dari tahap kedewasaan ekonomi, masyarakat tak lagi berhasrat besar melakukan ekspansi ekonomi. Masyarakat cenderung menggunakan sumber daya yang bertambah untuk kesejahteraan dan tunjangan sosial.
Setelah melewati zaman konsumsi tinggi, perilaku masyarakat bergeser pada perilaku menikmati hasil-hasil pembangunan. Rostow menggunakan dinamika Buddenbrooks sebagai metafor untuk menjelaskan perubahan sikap masyarakat. Masyarakat pasca-konsumsi layaknya cerita dalam Buddenbrooks, novel karya Thomas Mann yang bercerita tentang sebuah keluarga tiga generasi. Generasi pertama memiliki minat pada pengembangan ekonomi, generasi kedua fokus pada penguatan sektor ekonomi dalam struktur sosial. Sementara generasi ketiga lebih condong pada penggunaan uang dan kebutuhan prestise melalui dunia seni dan musik.
Teori Dinamika Produksi
Tahapan pembangunan tidak hanya deskriptif, tidak pula hanya suatu cara untuk menggeneralisir beberapa pengamatan faktual tentang urutan pertumbuhan masyarakat. Tahapan pembangunan memiliki logika tersendiri yang berkesinambungan. Tahapan tersebut mempunyai kerangka analitik yang berakar pada teori dinamika produksi.
Teori klasik pembangunan dirumuskan berdasarkan asumsi dasar yang statis yang membatasi atau hanya mengijinkan variabel yang paling relevan dengan proses pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana upaya ahli ekonomi modern untuk menggabungkan teori produksi klasik dengan analisis pendapatan Keynessian, mereka mengenalkan variabel dinamis seperti populasi, teknologi, kewirausahaan dan lain lain. Tetapi mereka cenderung terlalu kaku dan umum sehingga model yang mereka tawarkan tidak dapat menarik fenomena penting dari pertumbuhan, justru terlihat seperti ahli sejarah ekonomi.
Kita butuh sebuah teori produksi dinamis yang mengisolasi tidak hanya distribusi pendapatan antara konsumsi, menabung dan investasi (dan keseimbangan produksi antara konsumer dan modal barang), tetapi juga yang secara langsung memfokuskan pada komposisi investasi dan pembangunan dalam sektor ekonomi tertentu.


Puisi ketertindasan ekonomi.
hamah sagrim

Aku hanya ingin berbagi denganmu.
Aku ingin bicarakan sejauh perjalanan yang sendirian kutempuh.
Aku sangat ingin menyusuri langkah ini tanpa sendiri.
Aku ingin kau tahu semua yang ingin ku beri tahu padamu, semuanya,
pun bahwa aku ingin kau tahu.

Aku hanya ingin kau tahu apa yang ku rasa tanpa memaksamu untuk membalas rasaku.
Bila rasa itu memang ada biarlah tumbuh seperti adanya.

Kamis, 15 Januari 2009

DANAU AYAMARU... AYAMARU LAKE.....hamah sagrim

Ketika Air Danau Ayamaru Menyurut...

DANAU Ayamaru terletak di Distrik Ayamaru, Kabupaten Sorong Selatan, 216 kilometer arah barat Kota Sorong. Sejak dulu danau itu menjadi pusat transportasi, wisata, dan sumber penghidupan bagi masyarakat setempat.

Tetapi fungsi tersebut hilang dalam beberapa tahun terakhir ini karena air danau menyurut hingga 50 meter, dan bahkan sebagian telah mengering. Sebagian areal danau sudah menjadi rawa dan ditumbuhi rumput-rumput

Kepala Distrik Ayamaru Ny Petrosina Solossa awal Januari silam mengatakan, Papua memiliki lebih dari 200 danau (kecil dan besar), seperti Danau Paniai, Tigi, Sentani, Yamur, dan Rombebai. Sebagian besar belum diberi nama. Danau-danau tersebut memiliki fungsi strategis bagi masyarakat tradisional.

Danau Ayamaru sudah dikenal sejak zaman Belanda. Ada tiga danau yang merupakan satu kesatuan, yaitu Yahu (bagian atas), Yate (bawah), dan Ikri (penampung air dari sungai). Danau tersebut dimanfaatkan untuk berekreasi. Ada upaya Belanda membangun sistem pengairan dengan menggunakan air danau itu, tetapi konstelasi politik (1962) saat proses integrasi Papua ke RI, rencana tersebut dihentikan.

Sebetulnya secara tradisional danau itu digunakan sebagai lalu lintas penduduk, misalnya dari kawasan danau menuju Teminabuan dan selanjutnya ke Sorong. Ny Petrosina menjelaskan, ketika itu keberadaan danau Ayamaru sangat membantu masyarakat karena belum ada transportasi darat dan udara yang menghubungkan daerah pedalaman Sorong dengan Kota Sorong.

Tetapi kini danau itu telah mengering. Menurut Petrosina, mengeringnya ketiga danau ini antara lain akibat penebangan hutan di sekitar danau, pengeboran minyak dan gas bumi di bagian lereng gunung Ayamaru, serta tumbuhnya sejenis rumput asing dan pemanasan global.

"Ketiga danau ini merupakan satu kesatuan yang disebut danau Ayamaru. Pada zaman dulu, danau ini sebagai sumber hidup satu-satunya bagi masyarakat di sekitar Ayamaru. Ada berbagai jenis ikan di danau ini seperti mas, betik, satar, salamande, udang (jenis udang merah, udang kuning dan biru), gabus, dan ikan lele. Dulu danau ini juga sebagai sarana transportasi andalan bagi kampung-kampung di Distrik Ayamaru, Distrik Aitinyo, dan Distrik Aifak sampai ke Distrik Teminabuan, yang saat ini menjadi ibu kota Kabupaten Sorong Selatan," kata Ny Petrosina.

Bekas air danau yang kering telah ditumbuhi rumput, dan sebagian daerah menjadi rawa. Hanya ditemukan genangan air dengan panjang sekitar 200 meter per danau dan lebar 100 meter di pusat danau dengan debit air yang sangat sedikit.

Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua (1999- 2004) asal Ayamaru, Salmon Kambuaya, mengatakan bahwa pada tahun 2003 tim DPRD Provinsi bersama sejumlah teknisi dari Dinas Pekerjaan Umum meninjau danau itu. Rencana awal, akan dibangun pusat listrik tenaga air di daerah itu untuk menyuplai kebutuhan listrik. Tetapi tim DPRD itu sangat kaget ketika melihat air danau terus menyusut dan terdapat rumput asing.

Diduga datangnya tumbuhan asing ini bersamaan dengan kehadiran burung pelikan dari Australia. Burung itu memiliki kantung makanan dengan berat sampai tiga kilogram, dan sering mengeluarkan makanan (biji-bijian) yang ada di dalam temboloknya. Tumbuhan ini sejenis alang-alang sungai yang sangat sulit dibasmi. Jika dicabut sangat keras, dan akarnya dapat menumbuhkan pohon baru.

"Tumbuhan ini tidak hanya memenuhi air danau, tetapi juga menghalangi masyarakat untuk berlayar," tutur Kambuaya.

MASYARAKAT Ayamaru memiliki sejumlah kearifan lokal terkait dengan kehadiran danau itu. Mereka yakin arwah nenek moyang mereka menghuni danau ini, dan memberi sumber hidup bagi turunannya berupa sejumlah ikan yang hidup di dalam danau. Karena itu, sebelum berlayar di danau untuk mencari ikan atau bepergian ke kampung lain, mereka harus permisi kepada arwah nenek moyang.

Hasil panen ikan dan udang di danau itu yang begitu banyak terjadi tahun 1990-1996, diyakini sebagai pemberian arwah nenek moyang. Ketika arwah nenek moyang merasa diperhatikan, mereka pun akan memberi hasil melimpah kepada penduduk setempat. Produksi udang dan ikan oleh masyarakat setempat, yang disponsori PT Tuna Caraka, diekspor ke sejumlah negara seperti Jepang, Korea, dan Australia. Ekspor tertinggi terjadi tahun 1996 dengan jumlah 150 ton dari ketiga danau.

Danau itu merupakan warisan nenek moyang bagi suku besar Maybrat dengan 12 marga di dalamnya, misalnya marga Solossa, Jitmau, Kambuaya, Lemauk, dan Howae. Semua marga wajib menjaga kelestarian danau itu dengan tidak menebangi pohon-pohon di sekitarnya. Menebang pohon sama dengan menggunduli rambut dan mencukur bulu nenek moyang yang mendiami daerah itu. Tanah diyakini sebagai tubuh nenek moyang, pohon-pohon sebagai rambut dan penghias keindahan nenek moyang, sedangkan danau sebagai rezeki yang dilimpahkan nenek moyang kepada turunannya.

Ny Luisa Nauw, warga setempat, menyebutkan, sebelum air danau berkurang ia biasa mencuci di pinggir danau. Anak-anak pun sering bermain, berenang di pinggir danau. Tetapi setelah mengering dan berubah jadi rawa-rawa, dia tak pernah mencuci lagi. Masyarakat akhirnya mencuci dan mengambil air bersih di Sungai Biru. Disebut sungai biru karena dasar air berwarna biru.

KEBERADAAN danau ini tidak terlepas dari mitos mengenai lahirnya kain tenun ikat yang oleh masyarakat suku Maybrat disebut kain timor. Kain timor sebagai pemberian arwah nenek moyang kepada turunannya yang mendiami danau itu. Kain itu muncul begitu saja di sekitar danau, menyerupai daun-daun, bergantungan di pohon- pohon. Kehadiran kain ini diprioritaskan bagi setiap kepala suku yang memiliki wibawa, penghormatan dan nama baik di kalangan masyarakat.

Tetapi sebutan kain timor ini meragukan kebenaran mitos tersebut. Jika kain tenun ikat itu hadiah dari nenek moyang suku Maybrat, mengapa harus disebut kain timor dari awal munculnya, tahun 1700-an sampai hari ini. Pendapat lain menyebutkan, kain timor yang saat ini dijadikan maskawin dan barang berharga di kalangan masyarakat Maybrat berasal dari Timor.

Kain tersebut dibawa oleh para misionaris Portugis atau Belanda yang saat itu berada di Flores dan Timor. Mereka datang ke daerah Kepala Burung untuk menyebarkan agama Kristen, membawa serta kain timor itu. Ketika itu masyarakat di daerah Kepala Burung ditemukan dalam keadaan telanjang, mengenakan kulit kayu sehingga para petugas agama memperkenalkan kain tersebut.

bahasa MAYBRAT HAMAH SAGRIM

LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004


POSSESSIVE PRONOUNS IN MAYBRAT:
A PAPUAN LANGUAGE
Olivia Ursula Waren
Univesritas Negeri Papua
E-mail: warenolivia_ursula@yahoo.com


Abstrak
Bahasa Maybrat adalah suatu bahasa di daerah Kepala Burung Pulau New Guinea. Dalam kajian linguistik, bahasa Maybrat termasuk dalam West Papuan Phylum (Filum Bahasa Papua Barat). Mengacu pada tipologi susunan kata, bahasa tersebut mengikuti pola SVO. Salah satu fenomena menarik dari bahasa ini adalah bentuk kata ganti kepemilikan/posesiva. Terdapat dua bentuk posesiva: alienable form dan inalienable form. Posesiva alienable adalah ro- dan a-, sedangkan posesiva inalienable adalah t- untuk orang pertama tunggal; n- untuk orang kedua tunggal, orang pertama jamak, dan orang kedua jamak; y- untuk orang ketiga tunggal laki-laki; dan m- untuk orang ketiga tunggal perempuan dan orang ketiga jamak. Semua posesiva ini secara morfologi tergolong dalam bentuk prefix (awalan). Data bahasa ini dianalisis dengan menggunakan kajian morfo-sintaksis dengan menggunakan metode deskriptif.

Abstract
Maybrat is a language in The Bird’s Head of The New Guinea Island. Linguistically, Maybrat is classified into West Papuan Phylum. It shows SVO word order. One interesting phenomenon of this language is its possessive pronoun. There are two forms of possessive pronouns: alienable form and inalienable form. The alienable possessive pronouns of Maybrat are ro- and a-, while the inalienable possessive pronouns are t- refers to the first person singular, n- refers to the second person singular, the first person plural, and the second person plural, y- refers to the third person singular (masculine), and m- refers to the third person singular (feminine) and the third person plural. Morphologically, all of these possessives are categorized into prefix. Furthermore, the data analyzed by using the morpho-syntax analysis and the descriptive method. .

Kata-kata Kunci: Bahasa Maybrat, Sudut Pandang Morfo-sintaksis, Kata Ganti Kepemilikan
LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004

1. Introduction
1.1 Background
Maybrat is one of the Papuan languages of West Papuan Phylum found in the Bird’s Head of New Guinea Island, in which it is spoken in the central area which is also called as Maybrat (Dol, 1999: 1). Linguistically, Maybrat borders to its neighbors: Abun and Karon Dori to the north, Moskona, Arandai, Kaburi, Kaib and Konda to the south, Meyah and Mpur to the east, and the west part are Moraid and Tehit.

The word Maybrat actually comes from the language Brat, in which this term is used to address a small hill near Semetu village (Koentjaraningrat & Bachtiar, 1963); while Dol (1999: 6) argues that the word Maybrat is divided into two words, mai meaning sound, and brat referring to the variety of sound or language used. Maybrat is also a term to address the people speaking the language. According to Grimes (1948), besides Maybrat, people outside them also call the language in other two different terms: Ayamaru or Brat.1 However, the native people address themselves as Ayamaru as same as their lake’s name. It derives from aya means water, and maru means lake.

In 1987, Summer Institute of Linguistics (SIL) reports that there are about 20,000 or more speakers who speak the language.2 Grimes (1988: 495) then states that people speaking the language live in the west and south of Ayamaru Lake, with approximately 40 villages in which there are about 50 % until 60 % of older people do not know Indonesian. According to Brown and Brown (1989), there are approximately 17,000 speakers living in three districts of Sorong regency of Papua; they are Ayamaru, Aifat, and Aitinyo.3 However, in 1999, Dol in page 7 quotes Schoorl as stating that Maybrat language is spoken in Ayfat, Ayamaru, Kebar and Sausapor. 4 In these last two places, it is the minor language as the native languages of them are different.

1 is taken from
2 is retrieved from
3 is retrived from
4 Dol mentions Sausapor as one of villages using Maybrat language, but based on my knowledge it is Abun village consisting of Abun and Biak people (see Map 1)

LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004

Furthermore, because of the wide range of the area, it is clear that there are possibly some varieties or dialects of the language. Dialect is the varieties in a language used in several different areas of which the people still can understand the variation of speech (Payne, 1997: 18). Elmberg (quoted by Voorhoeve, 1975) divides this language into 9 dialects: Brat, Tuf, Maru, Asmawn, Yak, Marey, Fayok, Imien, and Sawiet;5 while SIL (1987) classifies this language into five dialects: Maisawiet, Maiyah, Maimaka, Maite, and Maisefa. By no means of avoiding the ideas from some linguists, the native people divide the language into six dialects classified from the areas in which they are used: (1) Mayhapeh in Ayawasi, Kokas, Mosun, Konya, and Kumurkek, (2) Mayasmaun in Ayata, Kamat, and Aisa, (3) Karon in Senopi, and Fef, (4) Maymare in Suswa, and Sire, (5) Maymaru in Ayamaru, and (6) Mayte in Aytinyo, and Fuoh (Dol, 1999: 8). Though they are separated, they basically come from the same ancestor with only a few differences in the dialect itself.

Likewise, Maybrat shows a relation to languages which are close to it. In 1987, SIL describes that Maybrat has subject-verb-object (SVO) word order, with heavy verb serialization and 10 % of lexical similarities to Tehit, Mpur, Abun languages; while Voorhoeve says that the language shares 80 % cognates with Karon Dori language.6
As a Papuan language classified as West Papuan Phylum, Maybrat language seems to have many similarities in the characters to the Non-Austronesian languages found in North Halmahera, Timor, Kisar, Alor and Pantar which had been classified by linguists such as Robide van der Aa. W. Schmidt in 1900s, van der Veen in 1915, and Cowan in 1958 (quoted by Sawaki, 2005: 35-36). Moreover, Donohue (2002) states that Bird’s Head languages in the New Guinea island have same characteristics to those in North Halmahera, Timor, Kisar, Alor and Pantar. He says that they have common forms in pronouns which are various: free and bound morphemes (affixes).7

Concerning about the characteristics, Maybrat language has some interesting phenomena in its pronouns functioning as subject, agent, or possession. It operates
5 is taken from
6 is retrieved from
7 is taken from

LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004

gender class distinction in the pronouns of which masculine and feminine are separated in the third person singular. The characteristics of them are given as follows: (1) independent pronouns functioning as subject and object, (2) dependent pronouns: prefix to the verb stem indicating the subject/agent, prefix to the adjective functioning as subject, and prefix to noun functioning as possessor.
In doing the study, I choose Ayamaru district as the target area in collecting the possessive pronouns data based on the people’s dialect; it is Maymaru dialect or Ayamaru dialect. The reason to choose the dialect is because in my hometown, there are lots of Ayamaru people. I usually get in touch with them. The relationship that we build together motivates me to write about their dialect. Moreover, possessive pronouns become my interest as their constructions are unique. To state belonging, a speaker will only change one morpheme as prefix joint together with the noun to indicate the possessor.
1.2 Problem
Problem that is discussed in this paper is:
􀂾 What are the form, function, and meaning of possessive pronouns in Maybrat language specifically to the dialect of Ayamaru people?
1.3 Objectives
The paper aims at describing the form, function, and meaning of possessive pronouns in Maybrat language, particularly to Ayamaru dialect. This means that I am focusing on the description of possessive pronouns in the language linguistically. Moreover, as a person who likes to deal with linguistic field, I try to compose a written document of Maybrat language particularly to the possessive pronouns. In other words, it is done to provide one unique phenomenon on the language for the readers and also a supporting data for the linguistic field in Papua. Another objective is to compose a written text describing about Maybrat Possessive Pronouns to the next generation.
2. Theoretical Background

LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004

2.1 Definition of Pronoun
Crystal (1997: 312) defines pronoun as “a grammatical classification term for referring a single noun or even a noun phrase.” In this definition, he describes pronouns as the grammatical terms used to modify a noun, or a noun phrase which includes article and noun, adjective and noun, adverb, adjective and noun, yet noun and noun. He classifies pronouns into some kinds such as personal pronoun, possessive pronoun, demonstrative pronoun, interrogative pronoun, reflexive pronoun, relative pronoun, indefinite pronoun, and presumptive or shadow pronoun.
In 1997, Payne stated: “pronouns are free forms (as opposed to affixes) that function alone to fill the position of a noun phrase in a clause …” (43). In other words, his definition can be retold as pronouns are any free morphemes to refer another noun or noun phrases, and they can take the position of a noun phrase.
Summer Institute of Linguistics (SIL) affirms pronoun as: “a pro-form which functions like a noun and substitutes for a noun or noun phrase”.8 It means that pronoun is a kind of pro-form functioning similar to a noun and can also replace a noun or a noun phrase without stating them in repetition; comparing to Shopen (1985: 24-25) arguing: “pro-form is a cover term for several closed classes of words which, under certain circumstances, are used as substitutes for words belonging to open classes, or for larger constituents.”
Regarding those definitions, pronoun can be concluded as the term used to refer human including the number, and gender, non-human or animate such as table, tree, sky, sea, air, and animal where the word is not similar to the original word in which its function is like noun.
2.2 Pronoun in Morpho-Syntax Perspective
The word morpho-syntax is derived from morphology: the study of morpheme’s or word’s structure (Crystal, 1997: 249); and syntax: the study of how speakers use language in phrases and how they structure the phrases into sentences (Stewart and Vaillette, 2001: 150). Thus, morpho-syntax can be concluded as a study of the relationship between morphology and syntax.
8 is taken from

LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004

Morphologically, pronouns in general are divided into two forms: independent pronouns and dependent pronouns. Independent pronoun is the pronoun that can stand alone, because it is a free morpheme or word; while dependent pronoun is the pronoun which cannot stand alone because it needs to attach to another morpheme. The dependent pronoun can also be classified as anaphoric clitics (Payne, 1997). But, according to Givon (1984: 62), it is general for possessor/possessive pronouns in a language to be formed as prefix or suffix on noun.
Syntactically, those kinds of prefixed- or suffixed- pronouns can also be identified by structuring them in phrase class, or even sentence. In this view, they are analyzed by observing their functions. Moreover, they are classified as “clitics” since they are meaningless when standing alone. Clitics is a term used to describe bound morphemes categorized in inflectional affixes, such as: -ed, -ing, -s in English (Katamba, 1993: 245). Dependent pronouns categorized as clitics tend to attach with verb in showing subject, and attach with noun in expressing ownership or possession.
To sum up, pronoun is a term in grammatical classification used to refer human or thing in one single word or a phrase, in which it has two forms: independent pronoun and dependent pronoun. Therefore, the using of morphosyntax perspective to New Guinea languages is the appropriate approach to study pronouns including possession. Morphologically, Papuan languages pronouns are divided into two kinds: independent pronouns, and dependent pronouns; moreover, these kinds of pronouns have a great agreement to syntactic structure whereas they influence each other. This signifies that the dependent pronoun changes based on the independent pronoun.
2.3 Possessive Pronoun
Given the explanation above, there is one type of pronouns commonly known in world’s languages: possessive pronoun. According to Swan, possessive pronoun is the pronoun functioning as same as adjective form or coming before noun where it modifies a noun or even another noun phrase for instances my book and my beautiful dress; and also possessive pronoun is an independent pronoun expressing two noun phrases (e.g.: I have my life and my parents have theirs) and functioning as

LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004

possession.9 Swan means that possessive pronoun is any independent pronouns that function like adjective form to modify a noun or a noun phrase.
Furthermore, possessive pronouns can be divided into two kinds: possessive adjective, which stands previous to a noun or a noun phrase functioning like adjective (e.g.: my dog or my little dog), and possessive pronoun which stands independently, such as: mine, yours (singular and plural), his, hers, its, ours, theirs in English.10 In accordance to these definitions, Swan does not affirm possessive pronoun: my, your (S, P), his, her, its, our, and their as possessive adjective because he assumes that “they behave quite differently from adjectives”, but are more as determiners. Therefore, the possessive pronouns whose function like adjective but not pure adjective are also called possessive determiner.11
In short, possessive pronouns can be concluded as the independent forms which can stand alone to modify a single noun or a noun phrase, and/or the dependent forms which modify a single noun or a noun phrase in which their functions are more like adjective.
2.4 Alienable and Inalienable Possessive Pronouns
Semantically, possessive form is divided into two kinds. They are alienable and inalienable. Alienable is a grammatical term used to address possession where thing possessed has impermanent or non-essential dependence to the possessor; while inalienable is the antonym of alienable of which the term is used to address a thing having permanent relationship to the possessor (Crystal, 1997: 15, 192). In terms of these two kinds, Croft argues that inalienable possession is used to address parts of body and kinship ownership; and alienable possession is used for the ownership of other things.12 The examples of them can be found in Maybrat:
(1). T-aja (inalienable) (2). Amah ro-jio (alienable)
1SG-father House Poss.-1SG
‘My father’ ‘My house’
9 is taken from
10 is taken from
11 is retrieved from
12 is taken from

LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004

In Yali of Dani language family, there is also that phenomenon:
(3). n-ikni (inalienable) (4). n-asum (alienable)
1SG-father 1SG-net
‘My father’ ‘My net’
On the other hand, morphologically, possessive pronoun is identified as inalienable because of the joint construction of noun and genitive; 13 while alienable occurs when noun and genitive are separated in the morphological construction (cf. Givon, 1984; Nichols, 1988).
2.5 General Papuan Languages Characteristics
The general characteristics of Papuan languages can be looked from each part as follows:
(1). Syntactical typology: commonly, Papuan languages are agent-patient-verb (APV) or subject-object-verb (SOV) languages (Sawaki, 2005: 55). They are also categorized as agglutinative language. It means a language having two or more joining morphemes to which they are more predictable, while normally each morpheme has no more than one meaning (Stewart and Vaillette, 2001: 131). Though, there are also agent-verb-patient (AVP) or SVO languages classified as Papuan languages such as the languages found in the Bird’s Head of New Guinea Island.
(2). Phonology: in this respect, Foley states that Papuan languages have more simple phonemic systems (quoted by Sawaki, 2005: 55). Their basic vowels are /i/, /e/, /u/, /o/, and /a/; while the consonants are usually produced in alveolar, bilabial, fricative, and velar.
(3). Morpho-Syntax: the languages show interesting forms in their pronouns, verbs, genitive (possessor) and head noun, and affixes constructions. Pronouns are usually divided of independent pronouns and dependent pronouns, and even abbreviated forms. Wurm (quoted by Sawaki, 2005: 60) says that pronouns play important role in Papuan languages grammar. Many of them address the third person singular in one form without distinguishing masculine and feminine. In
13 Genitive is a form of pronoun which functions as possessor to modify an item possessed (Croft)

LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004

spite of this, a few of them have also distinguished gender in the pronoun: masculine and feminine, such as languages in the Bird’s Head of New Guinea Island. On the other hand, Wurm, Laycock, and Voorhoeve argue that those languages show affix on noun functioning as possessive pronoun (171-172).14 Also, the verbs in other case, commonly also indicate Tense, Aspect, Mood (TAM), and person/number (Sawaki, 2005: 62-63). However, languages of West Papuan Phylum in the Bird’s Head do not demonstrate TAM in the verbs system. Nevertheless, their verb is structured with person/number, for instance Maybrat, Tehit, and Hatam languages. According to Greenberg’s prediction (quoted by Payne, 1997: 72), SOV languages should indicate genitive which is also called possessor first and then noun (G-N). The affixes occurring in SOV languages are commonly in suffixes. Yet languages in the Bird’s Head take prefix form.

3. DISCUSSION
Maybrat language is one of Papuan languages classified as an agglutinative language, in which the morphological inflections are very complex, but they can be analyzed and predicted by looking at the form. As an agglutinative language, its verbs mostly cannot stand as independent morphemes because they require affixation to indicate person (subject or agent). The common affixation of the language is prefixes; functioning to indicate subject/agent, and possessor in possessive construction.
Before discussing about the possessive pronouns of Maybrat language, it is better to discuss about the independent pronouns first. These pronouns are used either as subjective or objective pronouns. By looking at this following table of independent pronouns, it may be easier to understand the use of possessive pronouns in the language.
Table 1
Person
Independent Pronoun
1SG
jio
14 is taken from
LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
2SG
3SG (M)
3SG (F)
1P
2P
3P
nyo
ait
au
amu
anu
ana
There are four abbreviations used in the table. The first one is SG indicating singular person and the second one is PL indicating plural person. The third one is M referring to masculine and the last one is F referring to feminine.
Linguistically, possessive pronouns of Maybrat language may be divided into two types: inalienable possessive pronouns, and alienable possessive pronouns; both of them are in dependent morphemes.
3.1 Inalienable Possessive Pronouns
These pronouns are used to indicate parts of body and kinship terms. Below is the table showing the pronouns.
Table 2
Person
Possessive Pronoun
1SG
2SG
3SG (M)
3SG (F, N)
1PL
2PL
3PL
t-
n-
y-
m-
n-
n-
m-
These following examples will illustrate them:
(1) t-aja or (2) Jio t-aja
1s: Poss-father 1s 1s: Poss-father
‘my father’ ‘my father’
LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
(3) T-eme m-amo to pasar (4) Ait y-of
1s: Poss-mother 3s: Subj-go to market 3s: Subj 3s: Subj-kind
‘My mother goes to the market’ ‘He is kind’
(5) Jio t-ait boit or (6) t-ait boit
1s: Subj 1s: Subj-eat rice 1s: Subj-eat rice
‘I eat rice’ ‘I eat rice’
Example 1, 2, and 3 show the possessive pronouns in the level of phrase and sentence. Then, example 4, 5, and 6 are only occupied to demonstrate their different function in the level of phrase, clause, and sentence.
In the table, there are two forms showing the third person singular in terms of gender: masculine used to refer human and male animate, and feminine used to refer animate, and neutral. In addition, the third female person form is also the source to indicate non-human thing in general (N = neutral).15
Moreover, the degree of flexibility in using independent pronouns is different among the possessor to noun, subject/agent to verb, and subject to adjective. The independent pronouns are obligatorily used in parallel with the dependent person marker to adjective. On the other hand, they could be used as the person marker to verbs but not absolute; this means that the dependent pronoun can function alone as a subject or agent without using the independent one. In spite of this, as possessors to noun, they are often not used together with the prefixed form. They will appear when a speaker wants to emphasize his or her possession, or the ownership of somebody else.
By looking at the function, Maybrat language represents genitive-noun (G-N) on its inalienable possessive pronouns. In this case, it always puts possessor or genitive in front of a noun. Besides, syntactically, the possessive pronouns in Maybrat only function as modifier to the head noun; therefore, they cannot be the subject of a sentence (Dol, 1999).
Additionally, the possessive pronouns above are also the dependent pronouns which can be attached to dependent verbs and adjectives functioning as agent or subject.
15 Dol (1999) reports the first person plural in p- as the data is collected in Ayawasi.
LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
3.2 Alienable Possessive Pronouns
The alienable possessive pronouns in the language are used in addressing other nouns; such as house, garden, animal, or even person excluding those nouns described in inalienable possessive pronouns. The alienable possessive pronouns are divided into two kinds. The first one is prefix a- only used to the first person singular and second person singular of independent pronouns. The second form is prefix ro- which can be used to all independent pronouns. Also, ro- can also be used to indicate the ownership of a person by saying his or her name (proper name). Nevertheless, prefix ro- changes into r- when it occurs with vowel initial pronouns as in both the third person singulars, first, second and third person plurals. According to Dol (1999: 72), ro- could be used to vowel initial pronouns when the speakers aim to emphasize the possessor. They are exemplified in the following table.
Table 3
Person
Possessive Form
1s
2s
3s (M)
3s (F)
1p
2p
3p
ro-jio/ a-jio
ro-jio/ a-nyo
r-ait
r-au
r-amu
r-anu
r-ana
These possessive pronouns can be seen in the following examples:
(5) Amah a-jio (6) Amah r-ait
House Poss-1s House Poss-3s
‘My house’ ‘His house’
(7) Amah a-nyo (8) Amah ro-ana m-of
House Poss-2s House Poss-3p 3p-beautiful
‘Your house’ ‘Their house is beautiful’
(9) Ora ro-Yopi (10) Yu ro-Seli
Garden Poss-Yopi Bag Poss-Seli
‘Yopi’s garden’ ‘Seli’s bag’
LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
Based on the examples, either inalienable or alienable possessive pronouns still function as modifier in expressing possession of someone or something, so that they are not the subject. However, different with inalienable possessive pronouns, this second type is structured as noun precedes the possessor. Accordingly, the language operates noun-genitive (N-G) to its alienable possessive pronouns.
After looking at the explanation of these two types of possessive pronouns, a hypothesis towards the use of them can be written as follows:
Table 4
Inalienable Possessive Pronouns
Alienable Possessive Pronouns
• Parts of body
• Kinship terms
• Other nouns
• Proper Name
G-N Structure
N-G Structure
Form: dependent morphemes (prefixes)
Function: possessor
4. CLOSING REMARKS
4.1 Conclusion
Maybrat language is a Papuan language found in the Bird’s Head of New Guinea Island which is also categorized as the West Papuan Phylum. Different with the general characteristic word order of Papuan languages, presenting SOV word order, Maybrat language shows SVO word order. Generally, this language has independent and dependent pronouns. In relation to them, the possession is only structured in dependent form. In its pronouns, gender classification of masculine, feminine, and neutral are found. Moreover, the possessive pronouns are in prefixes and divided into two types: inalienable possessive pronouns (used to indicate parts of body and kinship terms) in which genitive precedes noun (G-N); while alienable possessive pronouns (used to indicate things proper names, and other nouns) where genitive follows noun (N-G). In short, the language structures genitive-noun in
LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004

inalienable possessive pronouns where they are prefixes joined with noun, and noun-genitive in alienable possessive pronouns in prefixes joined with independent pronoun, and proper name; likewise, these types function as possessor.
4.2 Suggestion
Considering Papua as a place of language diversity, it is important for the Papuan government and also the other linguists to pay more attention to the study of language, such as acknowledging the indigenous languages by establishing policy to prevent the languages, and supporting the language research. Furthermore, this is important because many of them have not been fully documented yet.
To more specific to Maybrat language, the study will benefit for: the language documentation in order to preserve the language, the literacy program in solving illiteration problem of local people, the language learning of local people which is done by educators to the pedagogical strategies, and also the encouragement of the cultural awareness to the people and government of Papua.


REFERENCES
Brown, and Brown. (1989). Mai Brat. Available INTERNET:
http://www.papuaweb.org/bib/hays/loc/MAIBRAT.pdf.
Croft, B. Nominal Genitive Construction. Available INTERNET: http://ling.man.ac.uk/Students/CourseUnits/LI3051/TypDescriptions.pdf.
Crystal, D. (1997). A Dictionary of Linguistics and Phonetics. (4th ed.). Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd.
Dol, P. H. (1999). A Grammar of Maybrat. Unpublished doctoral dissertation, University of Leiden, Netherlands.
Donohue, M. (2002). The West Papuan Phylum Revisited: The Genetic Status of the Yapen Island Languages. Available INTERNET: http://courses.nus.edu.sg/course/ellmd/Saweru/YapenWPP.pdf.
Givon, T. (1984). Syntax a Functional-Typological Introduction. Colorado: John Benjamin Publishing Company.
Grimes, F. B. (Ed.). (1988). Ethnologue Languages of the World. (11th ed.). Texas: Summer Institute of Linguistics.
LINGUISTIKA
Vol. 14, No. 27, September 2007
SK Akreditasi Nomor: 39/Dikti/Kep.2004
Grimes. (1948). Mai Brat. Available INTERNET: http://www.papuaweb.org/bib/hays/loc/MAIBRAT.pdf.
Jr., Thomas W. S., and N, Vaillete. (Eds.). (2001). Language Files. (8th ed.). Columbus: The Ohio State University Press.
Katamba, F. (1993). Morphology. London: Macmillan Press Ltd.
Koentjaraningrat., and H, W. Bachtiar. (1963). Penduduk Irian Barat. Jogjakarta: P.T. Penerbitan Universitas.
Nichols, J. (1988). On Alienable and Inalienable Possession. Berlin: Mouton de Gruyter.
Payne, T. E. (1997). Describing Morphosyntax. United Kingdom: Cambridge University Press.
Sawaki, Y. (2005). Languages and Linguistics in Papua. [A Course Book]. The State University of Papua, Manokwari.
Shopen, T. (Ed.). (1985). Language Typology and Syntactic Description. (Volume 1). Australia: Cambridge University Press.
Summer Institute of Linguistics. (1987). Mai Brat: A Language of West Papuan Phylum. Available INTERNET:
http://www.ethnologue.com/show_language.asp?code=AYZ.
What is Pronoun. Available INTERNET: www.sil.org/linguistics/GlossaryOfLinguisticTerm/WhatIsAPronoun.htm.
Swan, M. Pronouns. Available INTERNET: http://www.phon.ucl.ac.uk/home/dick/pronoun.htm.
Using Possessive Pronouns and Adjectives, sec. 2. Available INTERNET:
http://web2.uvcs.uvic.ca/elc/studyzone/330/grammar/poss.htm.
Voorhoeve, C. L. West Papuan Phylum Languages on the Mainland of New Guinea: Bird’s Head (Vogelkop) Peninsula. Available INTERNET:
http://www.papuaweb.org/dlib/bk/pl/C38/02-10-2.pdf.
Mai Brat. Available INTERNET: http://www.papuaweb/org/bib/hays/loc/MAIBRAT.pdf.
Wurm, S. A., D, C. Laycock., and C, L. Voorhoeve. (1975). General Papuan Characteristics. Available INTERNET:
http://www.papuaweb.org/dlib/pl/C38/02-3-2
.pdf.