STUDI KASUS: ACHEH, PAPUA BARAT DAN TIMOR TIMUR
Pengarang: YUSRA HABIB ABD GANIDi
salin Ulang Oleh: HAMAH SAGRIM
Bab ini menurunkan suatu laporan resmi yang dipandang penting untuk diketahui oleh bangsa-bangsa terjajah. Pembaca bisa menyimak dan menilainya secara lebih adil mengenai gerak-gerik kehidupan demokrasi dan pelanggaran HAM yang dilakukan ABRI di Indonesia yang dirangkum berdasarkan satu penelitian beberapa NGO dari beberapa negara asing yang tergabung dalam Forum Asia.
Tiga pergerakan kemerdekaan yang memiliki karakter tersendiri dalam memperjuangkan cita-cita politiknya, dipandang oleh Forum Asia sebagai yang paling banyak menggegarkan dan menyita masa guna mengajari pemerintah Indonesia supaya lebih terbuka dan matang dalam berdemokrasi. Sebab, konsep penjajahan sebagai sudah dipaparkan dalam bab-bab terdahulu, telah lama ditinggalkan -usang- dan dikutuk sebagai perbuatan keji sepanjang sejarah peradaban manusia di permukaan bumi. Satu-satunya negara di Asia Tenggara yang masih mengamalkan konsep penjajahan klasik yang mengandalkan kekuatan militer dengan cara membunuh, memperkosa, membakar kampung dan kota-kota, penyiksaan, penganiayaan, perampokan harta benda bangsa terjajah ialah 'Indonesia'. Cara-cara ini masih lagi dipakai dan dikekalkan untuk mempertahankan kepentingan politik rezim 'Indonesia'.
Banyak perkara yang diungkap dalam buku ini sempena memperingati setengah abad berdirinya Indonesia, yang selama jangka masa itu pula, pemerintahan boneka Belanda -rezim Indonesia- tidak henti-hentinya melakukan pelanggaran HAM yang begitu bejat dan keji. Untuk melihat dari dekat, maka kita mulai saja menimbang buku yang berjudul: INDONESIA: 50 YEARS AFTER INDEPENDENCE STABILITY & UNITY ON A CULTURE OF FEAR (Asian Forum for Human rights and Developement (Forum Asia)
Pengantar
Indonesia sedang merayakan 50 tahun sebagai sebuah negara dan bangsa pada Agustus (red 1995) yang lalu. The Asian Forum for Human Rights and Developement (Forum Asia) menggunakan sepenuhnya peluang ini untuk memberikan laporan berhubung keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia dari kacamata keadaan setempat. Forum ini juga telah diusulkan sebagai wakil dari masing-masing individu dan organisasi-organisasi di Indonesia yang sedang bekerja keras untuk HAM dan Demokrasi, sekaligus sebagai penghormatan dan tanda persahabatan yang hangat.
Laporan ini adalah berdasarkan kunjungaan singkat ke Indonesia yang dilakukan oleh Perwakilan Forun Asia. Delegasi tersebut terdiri dari Mr. Charles Abeysekara, yaitu pendiri INFORM - Organisasi Hak Asasi Manusia di Sri Langka; Bishop Gabriel Garol, Pengurus Persatuan Filipina bagi pembela-pembela Hak Asasi Manusia (PAHRA); Mr. Somchai Homlaor, Sekretaris Jenderal Kehormatan bagi Forum Asia dan Mr. D.J. Ravindran, Penasehat Program bagi Forum Asia. Delegasi tersebut diketuai oleh Mr. Charles Abeysekara.
Sewaktu kunjungan tersebut, pihak delegasi telah bertemu dengan perwakilan NGO, pembela-pembela, para ilmuan dan beberapa orang lain yang terlibat dalam aktivitas Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Mandat pihak Delegasi adalah untuk melihat perkembangan sejarah dan lain-lainnya yang mempunyai hubung kait dengan perlindungan HAM dan sejauh manakah HAM terjamin di bawah Draf Hukum Internasional bagi HAM telah dilaksanakan sesudah kemerdekaan. Secara khusus, untuk menilai hukum dan policy yang mempunyai efek ke atas pelaksanaan dan perlindungan HAM; sejauh mana institusi-institusi dan mekanisme-mekanisme telah dilaksanakan dan dipertahankan untuk memperkenalkan dan melindungi HAM; dan keadaan dimana pihak NGO dan beberapa kumpulan bebas yang lain berfungsi di Indonesia.
Sebagian dari hasil kunjungan tersebut, atau laporan berhubung latar belakang keadaan HAM di Indonesia telah disediakan oleh dua orang penyelidik Indonesia yang sekaligus telah membentuk suatu dasar untuk perbincangan sewaktu berlangsungnya kunjungan delegasi tersebut. Berdasarkan laporan dari kunjungan tersebut adalah, selain melakukan perbincangan dengan perwakilan NGO dan beberapa orang lainnya, juga mengumpulkan informasi lain untuk menutup laporan itu. Diantaranya, pihak delegasi telah bertemu dengan anggota Komisi HAM nasional, seorang anggota MPR dan Mr. Pramudia Anantatur, salah seorang penulis novel terkemuka dimana buku-bukunya telah diharamkan di Indonesia. Semasa kunjungan tersebut, pihak delegasi juga telah merumuskan satu kesimpulan dan rekomendasi.
Laporan tersebut menjejaki secara singkat perkembangan sejarah, struktur hukum dan politik, sistem hukum dan politik pada masa sekarang dan kesannya ke atas pengenalan dan perlidungan HAM; sejauh mana hak dan kebebasan dilindungi, perkembangan ekonomi dan kerjasama ke atas HAM dan pelanggaran HAM di dalam konflik bersenjata seperti di Acheh; Irian Jaya dan Timor Timur. Laporan ini juga memuat beberapa kesimpulan dan rekomendasi dari pihak delegasi.
Kami sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyediakan laporan penyidik-penyidik Indonesia, pihak NGO di Indonesia dan ramai yang lain yang telah bertemu dengan pihak delegasi dan akhirnya kepada YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) atas sokongan dimana tanpanya adalah terlalu sukar untuk menyediakan lapaoran ini.
Kami ini telah dibiayai sepenuhnya oleh Diakonisches work of the Evangelical Church (EKD) di Jerman. Kami sangat berterima kasih kepada pihak EKD dan juga perwakilan-perwakilan yang berikut ini yang mana telah memberi sokongan terhadap activist Forum Asia: Ford Foundation, the International centre for Human Rights and Democratic Development, Canada, Swedish International development Authority (SIDA) dan Aglican Church of Canada.
Ini adalah pertama sekali dimana satu laporan HAM di sebuah negara di dalam benua Asia telah disediakan dan diterbitkan oleh sebuah organisasi setempat. Laporan ini telah diterbitkan oleh Forum Asia untuk memperkukuh hubungan di antara kumpulan-kumpulan di daerah tersebut dengan cara membantu dan menolong mereka memahami keadaan yang sedang berlaku di negara-negara lain di daerah berkenaan. Akhirnya kami berharap semoga laporan ini dapat menyumbangkan sesuatu kepada pelaksanaan demokrasi yang jujur di Indonesia dan perlidungan ke atas HAM Mr. Somchai Homlaor Sekretaris Jenderal
Bangkok, 1995.
BAGIAN II. PAPAU BARAT
Irian Jaya berada di bagian Barat pulau Papua, timur adalah Papua New Guinea. Irian Jaya atau manakala sebelah Papua Barat sebagaimana diakui bahwa sedikit sekali mendapat perhatian dari Belanda semasa pemerintahan kolonialnya, walau bagaimanapun, semasa perbincangan untuk mendapatkan kemerdekaan, Belanda menegaskan untuk berurusan secara tepisah dengan Papua Barat atas sebab-sebab perbedaan bangsa, bahasa dan budaya.
Semasa perbincangan di Hague, Belanda, antara Belanda dan Indonesia telah berkompromi bahwa Irian Jaya akan diserahkan kepada PBB tahun 1962. PBB sebaliknya menyerahkan kepada Indonesia atas persetujuan bahwa Indonesia akan menyusun suatu bentuk pemilihan pada tahun 1969 untuk menyelesaikan status politiknya. Dua hari setelah itu, Majlis New Guinea, suatu badan perwakilan yang didirikan oleh Belanda telah diharamkan oleh Indonesia dan digantikan oleh suatu Dewan yang kesemua anggotanya dipilih oleh Indonesia, menaikkan Bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan Papua dilarang. Perintah Presiden pada tahun 1963 telah mengharamkan semua jenis aktivitas politik dan tekanan yang berat telah dilakukan terhadap kebebasan berorganisasi dan bersuara. Pemerintah Orde Baru di bawah Suharto menyakinkan PBB, bahwa ia akan menyusun satu bentuk Pemilihan pada 1969, sebagimana yang telah dijanjikan. Walau bagaimanapun, pemerintah Indonesia telah menjalankan beberapa langkah politik untuk mengukuhkan pemerintahannya terhadap wilayah tersebut. Pada Februari, 1967, Johan Ariks., yaitu pemimpin Nasionalisme Papua telah dibunuh dalam penjara Manokwari dalam usia 70 tahun. Selain daripada itu, pihak militer Indonesia telah melakukan segala bentuk ancaman kepada penduduk Papua Barat sebelum berlangsung Akta Pemilihan Bebas. Penduduk di sini telah memilih untuk bergabung dengan Indonesia di dalam Akta Pemilihan Bebas yang dijalankan di bawah pengawasan PBB. Walau bagaimanapun, Akta Pemilihan Bebas telah dikritik oleh banyak pihak sebagai suatu 'permainan' karena proses tersebut telah dikawal sepenuhnya oleh Indonesia.
Laporan resmi yang ditulis oleh wakil PBB, Dr Oritz Sanz, di Papua Barat bahwa: Dengan rasa sedih saya di sini ingin menyuarakan keraguan terhadap pelaksanaan Artikel XXII daripada penjanjian tersebut, yang berhubung dengan hak berbicara, kebebasan untuk bergerak dan berorganisasi dari semua penduduk di daerah ini. Walaupun saya telah mencoba sedaya upaya secara berterusan, penyerahan tersebut tidak dijalankan dengan sebenar-benarnya dan pihak pemeritah telah menjalankan tanpa henti-henti satu kawalan politik yang ketat terhadap penduduk."
Nama 'Irian Barat' telah ditukar kepada 'Irian Jaya' (Victorious Irian) pada tahun 1972, oleh pemerintah Orde baru setelah berlangsungnya Pemilihan Bebas, pemerintah Indonesia mula menjalankan program transmigrasi secara besar-besaran ke Irian Barat. Ianya telah menyebabkan penduduk asli mulai meninggalkan tanah tradisi mereka. Atas bantuan pemerintah Daerah dan pihak milier, beberapa proyek tambang dan perusahaan perkayuan yang besar telah memaksa penduduk Papua meninggalkan tanah mereka. Eksploitasi ke atas kawasan-kawasan yang kaya dengan hasil alam oleh beberapa kepentingan milik pemeritah dan perniagaan swasta telah meningkatkan kebirnbangan terhadap hak tradisi dan keaslian alam. Keaslian alam dan cara hidup penduduk asli Irian jaya telah dimusnahkan untuk mendapatakan keuntungan yang terlalu sedikit. Perbedaan budaya antara imigrant Indonesia, tentara dan penduduk asli telah memburukkan hubungan antara mereka.
Suatu protes telah dikirim kepada kumpulan pekerja PBB yang aktivitasnya berhubung dengan masalah penduduk asli oleh perwakilan penduduk Japen-Waropen di Teluk Cenderawasih, yang terletak di bagian utara Irian Jaya, telah menerangkan tentang akibat buruk daripada transmigrasi: "Beribu-ribu pendatang (transmigrasi -yang datang dari Jawa- red) beserta keluarga tiba setiap tahun ke Papua Barat. Kebanyakan daripadanya adalah keluarga tentara yang dijangka dapat memainkan peranan untuk mempertahankan tanah-tanah transmigrasi terhadap kemungkian terjadinya pesaingan daripada penduduk asli Papua yang merasa marah dengan kehadiran mereka. Semua transmigran asal Jawa diberikan kemudahan secukupnya: termasuk tanah, rumah percuma dan benih, kemudahan perobatan yang baik dan banyak lagi, sementara pada masa yang sama keperluan penduduk asli diketepikan."
Perkawinan campur telah diterapkan untuk mempererat proses penyatuan (assimilasi). Kebanyakan daripada perkawainan adalah berupa poligami sehingga menyebabkan timbulnya bermacam-macam masalah kesehatan dan moral. Kesemua pendatang haram ini datang dari Jawa; program transmigrasi adalah sebagian daripada proses Jawanisasi atas bangsa Papua Barat. Semua transmigrasi mendapat peluang pekerjaan yang lebih baik, dan menyekat peluang pekerjaan yang sesuai untuk penduduk asli. Semua ini dapat dirasakan di semua tempat kerja, dari jenis pekerjaan buruh kasar hingga kepada pegawai negeri. Sistem sekolah mulai juga dipenuhi dengan kebanjiran anak-anak bukan bangsa Papua, sehingga menyukarkan anak-anak Papua mendapat tempat atau kemajuan di dalam suatu lingkungan yang begitu asing.
Program yang disponsori oleh Pemerintah berhubung Keluarga Berencana adalah bertujuan semata-mata untuk mengurangkan jumlah bangsa Papua yang dianggap dapat mengancam kehadiran mereka.
Penentangan kepada pemerintah Indonesia sudahpun bermula sejak tahun 1963. Kumpulan-kumpulan penentang baik secara aman atau bersenjata untuk menuntut kemerdekaan sepenuhnya bagi Papua Barat ataupun Melanesia Barat. Kumpulan yang paling berpengaruh adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM -Free Papua Organization) yang telah memproklamirkan secara terbuka dan melakukan perlawanan bersenjata. Sebaliknya, ada juga beberapa kumpulan yang mau mencapai kemerdekaan mulai dengan cara damai, termasuk demonstrasi, pembentukan kumpulan perbincangan Politik dan tuntutan diplomasi kepada PBB dan juga kepada Badan-badan internasional lain.
Demonstrasi-demonstrasi tersebut yang mengarah kepada pernyataan kemerdekaan, upacara penaikan bendera Morning Star (bendera resmi Papua Barat), pembacaan do'a dan menyanyi lagi kebangsaan. Kesemua orang yang terlibat dalam demonstrasi dituduh sebagai anggota OPM, ataupun penyokong oleh penguasa militer ataupun pemerintah daerah.
Pada tahun 1984, OPM salah satu gerakan anti Indonesia yang dianggap sia-sia. Beratus-ratus orang penduduk setempat telah dibunuh sewaktu terjadi pertempuran antara pejuang-pejuang pro-kemerdekaan dengan tentara Indonesia. Pemerintah telah mengambil langkah keras untuk menghentikan penentangan tersebut. Diantara tahun 1984-1986, lebih kurang 11,000 orang mendapat perlindungan politik di Papua New Guinea; ada diantanya pejuang-pejuang OPM tetapi kebanyakannya adalah orang-orang yang mengalami pelanggaran Hak Asasi Manusia yang serius oleh tentara Indonesia dan juga oleh tekanan daripada pihak OPM. Hubungan diantara kedua negara telah terganggu selama beberapa tahun karena melibatkan issu perbatasan. Tentara Indonesia sangat sering melewati tapal batas (memasuki wilayah -red) Papua New Guinea untuk memasuki kem-kem pelarian dalam usaha mencari pejuang-pejuang OPM. Pencerobohan ini telah mengakibatkan kematian penduduk biasa dan pelanggaran HAM. Pada tahun 1990 Indonesia-Papua New Guinea telah menanda tangani suatu perjanjian untuk menjamin keselamatan di sekitar kawasan perbatasan.
Pada 14 Desember 1988, lebih kurang 100 orang telah melancarkan protes dengan cara berkumpul di Stadium Olahraga Mandala, Jayapura, Ibu kota Irian Jaya. Kumpulan tersebut diketuai oleh Dr. Thomas Waingai, seorang pegawai negeri dan pernah pula menjadi calon Gubernur Irian Jaya, mereka telah menaikkan bendera dan menyatakan kemerdekaan ke atas Melanesia Barat dan menyanyikan lagu kebangsaan "Tanahku Malanesia" (My Country Malanesia). Sebelum acara tersebut selesai kenderaan milter telah masuk stadium dan menahan semua yang terlibat. Seramai 37 orang telah ditahan, termasuk Pendeta, Dosen dan beberapa orang pegawai. Semua mereka telah dituduh melakukan gangguan dan dibawa ke pengadilan pada Apri1,1989. Mereka telah didapati bersalah dan dipenjarakan antara 2 - 20 tahun penjara. Turut juga ditangkap beberapa orang yang tidak terlibat dalam peristiwa 14 Desember, karena dicurigai bahwa mereka adalah penyokong-penyokong gerakan kemerdekaan. Setahun kemudian, beratus-ratus orang di Jayapura telah mencoba untuk merayakan ulang tahun pertama pernyataan kemerdekaan. Tentara Indoensia telah menghalang dan menahan lebih kurang 300 orang untuk disiasat. Demonstrasi secara aman telah terjadi untuk memberi sokongan ke atas pernyataan tersebut di Biak, Nabire, Serui, Wamena, Sorong dan Marauke. Lebih kurang 300 orang telah dituduh melakukan penentangan dan dipenjarakan untuk jangka masa yang lama. Semenjak awal tahun 1989, pihak militer telahpun menahan beratus-ratus orang yang dicurigai penentang politik. Sementara itu, penguasa Indonesia menolak bahwa penangkapan tersebut mempunyai tujuan politik. Dipercayai bahwa penangkapan tesebut mempunyai tujuan politik. Dipercayai juga bahwa adanya anggota kumpulan penentang bersenjata Papua melakukan keganasan dengan menjadikan rakyat biasa sebagai sasaran. Di Irian jaya terdapat satu keadaan dimana kebebasan politik rakyat telah disekat oleh Penguasa militer. Ini telah menyebabkan pelanggaran yang serius terhadap RAM oleh tentara Indonesia dan sedikit ada juga oleh pejuang-pejuang kemerdekaan. ( dari buku:Mengapa Sumatra Menggugat)
-------------------------------------------------------------------------------------------------RENUNGAN !
ALL WHO ARE LIVING MUST PASS BY THIS WAY !!!
(bandum soë njang hudép pajah geuliwat roët djalan njoë !)
Djinoë handjeuët han bak ta meumusôh ngon kaphé peundjadjah Indônésia-Djawa handjeuët siteungoh-siteungoh, meunjoe kon djih njang maté bahkeuëh geutanjoë, meunjoë kon geutanjoë poh djih ka pasti djih akan djipoh geutanjoë.
1 komentar:
senang juga melihat putra papua yang aware sama bangsanya sendiri....blessed ya...
Posting Komentar