Launching

Launching

Kamis, 02 Juli 2009

SEJARAH PENDIDIKAN CHINA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ada sebuah hadist mengenai pendidikan, yang dalam bahasa Indonesia berbunyi: “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Dalam hadist ini muncul satu negara, yaitu negeri Cina. Dari hadist ini timbul pertanyaan, ada apa dengan pendidikan cina sehingga dapat dijadikan panutan untuk negeri lain. Dalam buku Muhammad Said dan Junimar Affan (1987: 119) yang berjudul Mendidik Dari Zaman ke Zaman dikatakan bahwa: “Di negeri Cina pendidikan mendapat tempat yang penting sekali dalam penghidupan”. Dengan mendapatkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, membuat sistem pendidikan di Cina meningkat.
Sikap orang Cina yang mementingkan pendidikan di dalam kehidupannya tela melahirkan sebuah filofis orang Cina mengenai pendidikan dan pendidikan ini telah lama menjaga kekuasaan Cina berapa lama, sampai pada masuknya bangsa asing ke Cina yang akan merubah wajah sistem pendidikan kuno di Cina. Tetapi, pada kesempatan ini tidak menjelaskan sampai masuknya bangsa asing ke Cina. Permulaan pendidikan Cina kuno mencampai puncak dimulai pada Dinasti Han, dimana ajaran Kung fu Tse kembali lagi diangkat dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat Cina, yang sebelumnya ajaran ini dibrangus oleh penguasa sebelumnya.
Masyarakat Cina yang menganggap pendidikan sejalan dengan filsafat, bahkan menjadi alat bagi filsafat, yang mengutamakan etika (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 119). Anggapan ini membuat pendidikan di Cina mengiringi kembalinya popularitas aliran filsafat Kung Fu Tse di dalam masyarakat Cina.
Pada masa Dinasti Han banyak melahirkan para sarjana-sarjana yang kelak akan memimpin negara dan telah membuat Dinasti Han sebagai salah satu dinasti yang besar dalam sejarah Cina. Sistem pendidikan yang dikembangkan oleh bekas pengikut-pengikut Kung Fu Tse ini telah melahirkan sebuah golongan yang terkenal dalam sejarah Cina dan menentukan perjalanan kekuasaan Dinasti Han, yaitu Kaum Gentry.
Kaum gentry merupakan suatu komunitas orang-orang terpelajar yang telah menempuh pendidikan dan sistem ujian negara (Rochiati Wiriaatmadja, 2000: 23). Kaum terpelajar ini ditempa dengan pendidikan yang cukup keras dan sistem ujian negara yang cukup ketat. Pada masa Dinasti Han kaum gentry mendapatkan tempat yang terhormat disamping keluarga kerajaan dan para bangsawan (H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak, 1951: 187). Keistimewaan kaum gentry ini digambarkan oleh Muh. Said dan Junimar Affan (1987: 126) yang mengatakan bahwa:
“Golongan sarjana sebagai golongan pegawai negeri yang tidak perlu mengotorkan tangannya dengan pekerjaan tangan. Sebagai tanda orang yang tidak hidup dari hasil pekerjaan tangannya, jari kuku “kaum terpelajar” panjang-panjang dan dipelihara dengan baik. Tangan halus dan lembut!”.
Berdasarkan penjelasan di atas telah membuat tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai sistem pendidikan Dinasti Han yang selanjutnya akan melahirkan sebuah kaum yang akan menjadi tonggak dari berdirinya Dinasti Han ini.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang masalah di atas, maka telah dirumuskan sebuah permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini. Untuk mempermudahkan dalam perumusan masalaah, maka akan dituangkan dalam bentuk pertanyaan, yaitu:
1. Apa filofofi pendidikan bangsa Cina kuno?
2. Bagaimana sistem pendidikan pada Dinasti Han ?
3. Siapakah golongan gentry tersebut?
C. Tujuan Penulisan
Dalam penulisan atau pembahasan masalah dalam makalah ini, penulis memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Selain memenuhi tugas dari mata kuliah Sejarah pendidikan, terdapat tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai, antara lain:
1. Untuk mengetahui filofis pendidikan bangsa Cina
2. Untuk mengetahui system pendidikan pada masa Dinasti Han
3. Untuk mengetahui pemahaman golongan gentry pada masa Dinasti Han
D. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini, yaitu studi literature. Studi ini dimulai dengan mengumpulkan data-data dari beberapa buku yang dinilai representatif dengan permasalahan yang akan dibahas. Dan dalam penyajian digunakan deskriptif-analitis.
E. Sistematika Makalah
Sistematika makalah yang digunakan dalam makalah ini, antara lain:
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Metode Penulisan
E. Sistematika Makalah
Bab II Pembahasan
A. Garis Besar Filsafat Pendidikan Cina
B. Sistem Pendidikan Pada Dinasti Han
C. Kaum Gentry



BAB II
PEMBAHASAN


A. Filsafat Pendidikan Cina Secara Garis Besar
Dinasti Han tahun 206 SM – 220 M merupakan dinasti kekaisaran besar pertama didalam perjalanan sejarah kekaisaran Cina. Pada masa ini banyak literature lama yang dikumpulkan dan diperbaiki kembali. Hal tersebut dikarenakan pada masa pemerintahan sebelumnya ajaran-ajaran kong hu cu diberantas habis. Pada masa ini Confusianisme menjadi falsafah terkemuka dan menjadi inti bagi sistem pendidikan (Raymond Dawson, 1999: xv). Pada masa Dinasti Han ini yang menjadi dasar masyarakat Tionghoa, ialah pengajaran counfusius (H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak, 1951: 186).
Pada negeri Cina pendidikan mendapat tempat yang penting sekali dalam penghidupan (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 119). Hal tersebut dikarenakan masyarakat Cina menganggap pendidikan sejalan dengan filsafat, bahkan menjadi alat bagi filsafat, yang mengutamakan etika (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 119). Anggapan ini membuat pendidikan di Cina mengiringi kembalinya popularitas aliran filsafat Kung Fu Tse di dalam masyarakat Cina.
Anggapan tersebut muncul dari ajaran-ajaran Confusianisme yang mulai mendapatkan tempat kembali di hati rakyat Cina, yang ditandai dengan munculnya Dinasti Han sebagai penguasa. Ajaran-ajaran tersebut mengajarkan bahwa pendidikan tersebut penting.
Seperti yang ditanamakan Hsun Tzu, “Belajar terus sampai mati dan hanya kematianlah yang menghentikannya” (H. 19). Belajar adalah pekerjaan sepanjang hayat, dan jabatan yang tinggi mungkin merupakan ganjarannya. Cina telah memberikan status pada kegiatan belajar lebih dari masyarakat mana pun (Raymond Dawson, 1999: 16)
Dalam membicarakan mengenai falsafah pendidikan Cina, tidak dapat dijauhkan dari pembicaraan mengenai ajaran Confusianisme. Seperti yang diutarakan di atas, bahwa ajaran confusianisme memberikan dasar-dasar dan sumbangan-sumbangan dalam sistem pendidikan Cina, khususnya pada masa Dinasti Han ini. Dalam ajaran confusianisme, pendidikan adalah mesin yang mengemudi dunia kebenaran… menuntut pendidikan dikejar secara terus menerus sampai kematian.
Pernyataan-pernyataan yang dinilai mementingkan pendidikan tersebut dan diperkuat dengan ajaran kong hu cu yang dianggap sebagai agama bagi masyarakat Cina, dimana masyarakat Cina sangat kuat dalam memeluk ajaran tersebut, sehingga membuat pendidikan memiliki sisi yang penting dalam kehidupan masyarakat Cina. anggapan pentingnya pendidikan tersebut meberikan dampak yang sangat berpengaruh dalam sistem masyarakat Cina, sehingga segala aspek yang berhubungan dengan pendidikan mendapatkan tempat-tempat istimewa.
Ajaran confusianisme yang mulai muncul kembali dan berkembang pesat pada masa dinasti Han, serta ajaran ini menjadi dasar kepercayaan membuat pemerintahan tersebut menjalankan ajaran-ajaran didalamnya secara benar. Ajaran yang sangat memberikan perhatian besar terhadap pendidikan, membuat pemerintahan Dinasti Han membentuk sebuah system pendidikan yang didasari atas pemikiran dari ajaran confusianisme.

B. Sistem Pendidikan Pada Dinasti Han
Pada awal pemerintahan Dinasti Han, Kaisar Wu-ti menggunakan ajaran-ajaran konfusius dan memakai para pengikut-pengikutnya sebagai pejabat-pejabat pemerintahan dalam menjalankan pemerintahan. Pejabat-pejabat yang berasal dari pengikut-pengikut konfusius ini didapakan melalui sebuah system ujian yang ketat.
Pada masa Dinasti Han sudah terdapat sebuah system pendidikan yang ketat, untuk tujuan mendapatkan pejabat-pejabat kerajaan yang berkualitas. Para pelajar yang menginginkan untuk menjadi pegawai kerajaan tidak dipandang asal golongannya, asal ia dapat melawati tahapan-tahapan ujian yang sudah ditetapkan oleh kekaisaran. Hal tersebut dikarenakan ajaran konfusius tidak memperbolehkan memandang asal-usul seseorang atau pangkatnya (H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak, 1951: 186). Para pegikut-pengikut konfusius yang berada di beberapa daerah distrik mendirikan sekolah-sekolah yang bersifat informal. Disebut sekolah informal dikarenakan proses belajar mengajar yang dilakukan tidak terikat oleh tempat atau waktu. Berjalannya pendidikan di distrik ini dibantu oleh para saudagar yang memberikan sumbangan-sumbangan (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 125). Sekolah di setiap distrik ini menampung para pemuda-pemuda yang ingin menuntut ilmu sebelum mereka mengikuti tahapan-tahapan ujian penerimaan sebagai pegawai kekaisaran.
Materi-materi pelajaran yang diajarkan dalam proses belajar mengajar yaitu berasal dari isi kitab konfusius. Dalam kitab konfusius ini berisikan cerita-cerita dalam bentuk sastra, yang didalamnya terdapat ilmu sastra, ilmu strategi perang, ilmu pasti, ilmu hukum, dan sebagainya. Para murid diharapkan dapat menghafalkan isi kitab tersebut dan mengembangkannya sendiri dalam bentuk puisi (I Djumhur, : 14).
Dari gambar yang tertera (Lampiran 1) dapat diketahui metode mengajar yang digunakan para guru dalam menyampaikan bahan materi pelajaran. Para murid berkumpul mengelilingi guru yang sedang menyampaikan isi dari kitab konfusius tersebut. Setetah disampaikan kepada para murid, mereka diharapkan dapat menghafalkan isi kitab tersebut (Muhammad Said dan Junimar Affan, 1987: 125). Jadi dari gambar dan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa metode mengajar yang digunakan oleh guru pada saat itu ialah metode ekspositori (ceramah). Penyimpulan ini dikarenakan yang dilakukakan serupa dengan metode ekspositori, dimana guru lebih aktif disini dalam mentransfer imu kepada para murid.
Setelah tahapan belajar mengajar, maka melangkah kepada tahapan evaluasi atau system ujian. System ujian yang berlaku pada masa Dinasti Han merupakan suatu hal yang unik dalam system pendidikan Cina. Pada masa itu sudah berkembang suatu system evaluasi yang sangat kompleks. Menurut Rochiati Wiriaatmadja, A. Wildan, dan Dadan Wildan (2003: 144 – 145) mengatakan bahwa ujian ini dibagi ke dalam tiga tahap atau jenjang. Tiga tahap ujian tersebut antara lain:
Ujian tingkat pertama diadakan di beberapa ibukota prefektur (kabupaten). Calon pegawai yang dapat melewati ujian tahap pertama ini diberi gelar Hsui-Tsai, bila diartikan yaitu “bakat yang sedang berkembang”. Mereka mendapatkan hak istimewa seperti dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, terbebas dari hukuman badan, sehingga sangat sulit sekali untuk lolos dari tahap ini. Seorang Hsui-Tsai diharuskan tiap tahuan mengikuti ujian sebagai upaya mempertahankan gelarnya tersebut, bila tidak maka namanya akan hilang dalam daftar nama golongan pelajar. Sebelum sampai pada ujian tahapan ini, pelaksanaan ujian saringan pertama dilaksanakan di setiap distrik dari setiap prefektur.
Selanjutnya, ujian tingkat dua yakni ujian tingkat provinsi untuk mencapai gelar Chu-Jen, yakni “orang yang berhak mendapatkan pangkat”. Orang-orang yang berhak mengikuti tahapan ujian ini yaitu orang-orang yang telah mendapatkan gelar Hsui-Tsai. Para peserta ujian tidak langusng mengikuti ujian, tetapi mereka diharuskan mengikuti latihan di akademi prefektur dalam rangka menghadapi persiapan ujian Chu Jen. Ujian provinsi ini diadakan tiga tahun sekali. Mereka yang dapat lulus dari ujian ini dengan nilai tertinggi akan mendapatkan tunjangan belajar.
Pada tahap akhir yaitu ujian tahap tiga yang diadakan di ibukota kerajaan. Ujian ini diadakan setiap tiga tahun sekali, dilaksanakan setahun setelah ujian provinsi. Tahapan ujian bertujuan untuk mendapatkan gelar Chih Shih, yakni “Sarjana naik pangkat”. Peserta ujian mendapatkan nilai yang tertinggi berhak mendapatkan penghormatan istimewa dan menjadi orang termasyur di kerajaan. Para lulusan dapat diangkat menjadi anggota akademi Hanlin (Hanlin Yuan), yakni dewan penasihat khusus kaisar yang beranggotakan enam orang.
Adapun materi-materi yang diujikan dalan tahapan-tahapan ujian ini, yakni menurut H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak (1951: 188) adalah isi kitab-kitab konfusius serta pengikut-pengikutnya. Hal tersebut bertujuan sebagai pembuktian bahwa mereka mengetahui isi buku tersebut dengan seksama. Untuk membuktikan hal tersebut mereka diharuskan dapat membuat karangan dan mengubah dengan dasar aturan-aturan kuno. Selain itu juga, para peserta juga diuji mata pelajaran lain, yang digolongkan ke dalam mata pelajaran tambahan.
Ujian tersebut dilaksanakan di ruang dalam bangunan-bangunan yang sangat panjang dan lurus. Bangunan panjang tersebut terdiri dari kamar-kamar kecil yang disekat (dapat dilihat dalam lampiran 2 & 3). Calon pegawai tersebut tinggal di dalam kamar selama sehari untuk ujian tahap pertama, tiga hari untuk ujian tahap kedua, dan lebih lama lagi untuk ujian tahapan ketiga (Rochiati Wiriaatmadja, A. Wildan, dan Dadan Wildan, 2003: 144).
Output-output yang dikeluarkan dari system pendidikan ini disalurkan menjadi pegawai-pegawai pemerintahan dan mereka yang gagal dalam mengikuti ujian ini akan menjadi tenaga-tenaga pengajar di daerah asalnya. Dapat dikatakan bahwa kekaisaran Wu-ti-lah yang telah meletakkan dasar system ujian, seperti yang berlaku di Tiongkok itu (H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak, 1951: 187)

C. Kaum Gentry
Kaum gentry merupakan kelompok feudal baru (New Feodal Class) yang menggantikan kedudukan para bangsawan dari zaman dinasti Chou. Kelompok ini terbentuk secara alami. Anggota dari kelompok ini berasal dari orang-orang yang lulus ujian sipil, secara bertahap dan semakin banyaknya lulusan dari ujian tersebut, maka baru terbentuklah suatu kelas baru dalam kehidupan masyarakat yang lazim disebut kaum literati-confucians atau para serjana sastra-confuciabis (Rochiati Wiriaatmadja, A. Wildan, dan Dadan Wildan, 2003: 146). Mereka yang diajarkan kitab-kitab konfuius dan pengikutnya dan dapat dikatan sangat dekat dan memahami isi kitab tersebut menjadi pendukung dan pembina utama ideology Confusinisme.
Lulusan ujian negara yang semakin banyak tersebut pada akhirnya membentuk kelas sendiri dalam startifikasi masyarakat Cina, dimana mereka memonopoli jabatan-jabatan dalam pemerintahan, yaitu golongan yang memiliki keahlian dalam tata administrasi pemerintahan (Rochiati Wiriaatmadja, A. Wildan, dan Dadan Wildan, 2003: 147).
Kelas baru tersebut menggeser posisi bangsawan di dalam stratifikasi masyarakat Cina. pergeseran tersebut dikarenakan kehormatan dan penghargaan yang diberikan oleh lulusan ujian tersebut sangatlah tinggi. Penghargaan tersebut tidak saja datang dari masyarakat tetapi juga datang dari kaisar sendiri. Dominasi kelompok ini juga tidak lepas dari kebijakan kaisar yang tidak memberikan posisi jabatan-jabatan pemerintahan kepada bangsawan, atau pada masa Sje Hwang-ti disebut penganut aliran undang-undang, melainkan kaisar mencari pengikut-pengikut ajaran konfusius melalui system ujian yang dikeluarkan.
Keistimewaan yang diberikan kepada golongan ini juga membuat mereka dihargai dalam masyarakat. Mereka mendapatkan keistimewaan-keistimewaan yang diberikan setiap mereka melewati tahapan ujian yang diikuti. Selain itu, keistimewaan yang diberikan kepada kaum gentry ini digambarkan oleh Muh. Said dan Junimar Affan (1987: 126) yang mengatakan bahwa:
“Golongan sarjana sebagai golongan pegawai negeri yang tidak perlu mengotorkan tangannya dengan pekerjaan tangan. Sebagai tanda orang yang tidak hidup dari hasil pekerjaan tangannya, jari kuku “kaum terpelajar” panjang-panjang dan dipelihara dengan baik. Tangan halus dan lembut!”.
Dari perubahan atau pergeseran dalam stratifikasi masyarakat ini berarti telah terjadi sebuah perubahan dalam masyarakat Cina, dimana sebelumnya masyarakat memandang tinggi seseorang dalam masyarakat didasari atas kepemilikan harta dan keturunan, pada maa Dinasti Han hal tersebut berubah. Masyarakat tidak lagi sepenuhnya memandang sesorang berdasarkan kepemilikan harta dan keturunannya, melainkan jenjang pendidikan yang telah ditempuhnya.



BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai system pendidikan yang berlaku di masa Dinasti Han. Pemerintahan Dinasti Han telah membawa perubahan besar, dengan membawa kembali ajaran-ajaran confusius dalam kehidupan masyarakat Cina. Kebijakan tersebut membawa dampak perubahan ke arah yang baik dalam segala segi, khususnya pendidikan.
Ajaran konfusius yang sangat mementingkan pendidikan dan masyarakat Cina yang sangat erat dengan ajaran-ajaran konfusius dalam menjalankan kehidupn sehari-harinya, membuat pendidikan mendapatkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat Cina. ajaran konfusius mengharuskan kepada pengikutnya untuk menuntut ilmu sampai kematian menjemputnya. Hal tersebut membuat masyarakat Cina, khususnya pada masa Dinasti Han sangat banyak yang menuntut ilmu, dan ditambah dengan keistimewaan-keistimewaan yang ditawarkan pihak pemerintah terhadap lulusan dari system ujian yang diterapkan.
System pendidikan yang diterapkan oleh pihak pemerintahan pada saat itu pada awalnya bertujuan untuk mencari calon-calon pejabat pemerintahan yang beraliran konfusius. Jenjang pendidikan didasarkan atas tingkatan daerah administrative pemerintahan. Setiap distrik memiliki sekolah-sekolah, sampai pada akademi di ibukota kerajaan. Setiap jenjang tersebut diharuskan melewati system ujian yang terbagi ke dalam tiga tahapan. System ujian ini dinilai sangat berat, dikarebakan dari banyak orang yang ikut ujian ini hanya beberapa yang berhasil lulus. Kekaisaran dinasti han telah memberikan dasar-daar pada system ujian di daratan Cina, walaupun selanjutnya ada perubahan dan penambahan.
System pendidikan ini juga membawa perubahan pada stratifikasi masyarakat dan pola prestise dalam masyarakat. System pendidikan yang menghasilkan lulusan-lulusan pelajar secara alami membentuk kelas baru, yang pada akhirnya menggeser posisi bangsawan dalam stratifikasi masyarakat Cina. Dan pola prestise dalam masyarakat, dimana masyarakat tidak lagi sepenuhnya memandang orang dari kepemilikan harta atau keturunananya, tetapi masyarakat memandang seseorang dari jenjang pendidikan yang telah ditempunya. Disamping itu, kaum gentry ini diberikan penghormatan dan penghargaan berupa hak-hak istimewa dari pemerintahan dan masyarakat.




DAFTAR PUSTAKA
I. Djumhur. . Sejarah Pendidikan. Jakarta: Djembatan
H.J. An Den Berg, Kroeskamp, dan J.P. Simandjoentak. 1951. Dari Panggung Peristiwa Sedjarah Dunia I: India Tiongkok dan Djepang Indonesia. Jakarta: J.B. Wolters – Groningen
Muhammad Said dan Junimar Affan. 1987. Mendidik Dari Zaman ke Zaman. Bandung: Jemmars
Raymond Dawson. 1999. Kong Hu Cu. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Rochiati Wiriaatmadja. 2000. Diktat C Sejarah Asia Timur. Bandung: Jurusan Pendidikan Sejarah, FPIPS, UPI.
__________________. 2003. Sejarah Peradaban Cina: Analisis Filosofis Historis dan Sosio Antropologis. Bandung: Humaniora.
Confucianism. Available at: [On Line] http://staff.bcc.edu/philosophy/CONFUCIANISM.htm

Tidak ada komentar: