Launching

Launching

Sabtu, 01 Maret 2008

BAB I PENDAHULUAN



Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dan didominasi oleh perairan laut yang luasnya mencapai 62% dari luas Indonesia, dengan sepanjang 81.000 km, serta terdapat sekitar 9261 desa pantai dengan jumlah penduduk 22 %. Di wilayah pantai dan 78 %. Di wilayah daratan, yang mana terdapat berbagai macam aktivitas diantaranya adalah indutri, perdagangan, transportasi, pelabuhan, tambang, pertanian, rekreasi, dan permukiman.

Pada banyak satuan permukaan, perairan laut dan daratan merupakan ruang yang relatif dominan dengan berbagai pola permukiman. Dari sekian banyak permukiman perairan laut dan daratan, salah satu diantaranya adalah Suku Maybrat Imian Sawiat di Kabupaten Sorong Selatan Papua.

Secara geografis suku Maybrat hidup di distrik Ayamaru, Aitinyo, Aifat. Suku Imian Sawiat hidup di distrik Sawiat dan Teminabuan. Distrika Ayamaru, Aitinyo, Aifat dan Sawiat termasuk bagian dari Kabupaten Sorong Selatan yang beribukotanya di Teminabuan. Distrik Ayamaru terletak di sebelah selatan dari Kabupaten Sorong Selatan. Distrik Aitinyo terletak di sebelah Timur dari Kabupaten Sorong Selatan, Aifat terletak sebelah Timur Kabupaten Sorong Selatan dan bersebelahan dengan Distik Aitinyo dan Distrik Sawiat terletak di sebelah Barat Kabupaten Sorong Selatan, dengan tipe iklim tropis basah, dan di dominasi oleh penduduk dengan mata pencaharian Petani, Nelayan dan pemburu. Dari aktivitas yang heterogen ini ditunjang oleh rumah panggung & rumah gantung dengan material pendukung umumnya berasal dari alam, dan berdiri atas perairan bagi para nelayan, dan bagi para petani struktur bangunan berdiri diatas permukaan tanah maupun di atas pohon.

Penghuni pemukiman ini adalah merupakan etnik yang terdiri dari satu suku besar yaitu suku Maybrat, dan dua anak suku yaitu Imian, Sawiat. Mata pencaharian pokoknya berkebun, menangkap ikan dengan perahu dan memburu binatan liar dengan Tombak, Jubi, Panah, Parang dan Anjing. Suku ini mayoritas sebagai suku bangsa petani dan pemburu, yang telah mengembangkan pertanian serta cara perburuan mereka sejak beberapa abad lamanya, sehingga dikenal dengan sebutan manusia petani dan pemburu“.

Sebagai manusia petani dan pemburu, mereka melakukan segala aktivitas dan menghabiskan hidupnya dengan bercocok tanam dan memburu. Kemudian sejalan dengan bertambahnya waktu, manusia petani - pemburu ini menetap dalam suatu hunian dan berkelompok membentuk suatu permukiman (urban space), namun budaya bertani dan memburu masih mempengaruhi kehidupan mereka sampai sekarang.


  1. SEJARAH

Dari asal – usulnya? Para tetuah suku Maybrat Imian Sawiat dari turun temurun mempunyai ceritera tentang rumah tradisional suku Maybrat Imian Sawiat. Dari riwayat menceriterakan bahwa arsitektur tradisional suku Maybrat Imian Sawiat pertama kali dibangun oleh dua orang moyang pada berabad tahun silam, kedua orang tersebut adalah too dan sur , yang mana too dikenal dengan sebutan untuk tali dan sur dikenal dengan sebutan untuk kayu. Dari ceriteranya rumah tradisional maybrat imian sawiat dibangun dengan mengikuti cara burung membuat sarangnya (ru habe) yang mana ketika itu moyang yang bernama ‘sur’ duduk dan memperhatikan burung tersebut dengan cekatan membawa dahan – dahan kayu untuk membuat sarangnya di atas pohon yang rindang, lalu muncullah ide bahwa ‘masa, burung saja bisa membuat rumah untuk dia lalu kenapa saya tidak’? pertanyaan ini muncul karena kehidupan awalnya mereka menggunakan gua-gua sebagai tempat tinggal utama.

Ketika lama memperhatikan burung tersebut maka ia (sur) bertekad ingin membuat rumah, lalu ia mulai menebang kayu untuk digunakan dalam membuat rumah, setelah menebang kayu ia mencoba untuk membuatnya setelah ia (sur) meletakannya pada pohon yang digunakan sebagai koloum dengan pemikiran bahwa akan kuat sehingga ia melepaskannya untuk mengangkat sebelahnya lagi namun ketika dilepas ternyata jatuh, tetapi ia mencobanya berulang kali sampai-sampai ia (sur) berusaha untuk memanjat pohon yang digunakan burung untuk membuat sarangnya dengan tujuan untuk melihat secara dekat bagaimana cara meletakan ranting kayu hingga menjadi kuat. Ketika ia (sur) memanjati pohon itu dan mencobanya berulang kali namun hasilnya tidak sempurna maka datanglah saudaranya yang bernama “too” dan memberi masukan bahwa anda tidak bisa meletakkannya dengan begitu saja melainkan harus menggunakan tali yang saya bawa agar bisa kuat, namun usulannya tidak diterima atau di abaikan oleh sur dengan keyakinan bahwa ia bisa membangunnya tanpa tali. Namun dengan segala macam cara yang digunakannya tak ada satupun yang berhasil lalu ia memutuskan untuk menerima usulan saudaranya tadi, dan ketika ia menggunakan talinya sebagai pengikat ternyata berhasil, lalu ia mengajak saudaranya (too) bahwa saudara mari kita berdua harus buat suatu rumah bagi kita seperti burung itu, sur menawarkan kepada too sambil menunjukkan sarang burung yang berada diatas dahan pohon, dan too pun menerimany lalu mereka berdua mulai membuat rumah bagi mereka untuk pertama kalinya. Disinilah sejarah asal usul rumah tradisional suku maybrat imian sawiat dibangun.

Tidak ada orang yang mengetahui dengan pasti tempat sebenarnya dimana pertamakali kejadian itu (pertamakali membuat rumah), namun secara menyeluruh diungkapkan adalah diantara wilayah maybrat atau imian atau sawiat, namun disini kita bisa menebak wilayahnya adalah diwilayah maybrat, alasannya karena nama kedua orang pencetus/pembuat rumah ini menggunakan bahasa maybrat sehingga dapat disimpulkan bahwa kejadiannya terjadi di wilayah maybrat. Menurut ungkapan para tetua bahwa rumah tradisional orang Maybrat Imian Sawiat sudah ada berabad tahun yang lalu.

Sebagaimana ceritera tentang rumah orang Maybrat Imian Sawiat, bahwa rumah tradisional orang maybrat imian sawiat terbuat dari bahan kayu dan rotan, yang mana dibangun pada beberapa abad yang lalu sebelum masukknya injil kristiani di mansinam untuk mempersatukan orang-orang yang hidupnya menyendiri dan bermusuhan.

Sekitar beberapa abad sebelum masuknya injil kristiani di mansinam, suku maybrat imian sawiat belum mengenal adanya suku, atau kampung namun dikenal dengan margais. Kehidupan orang Maybrat Imian Sawiat pada waktu itu adalah kehidupan pribadi yang takkenal kompromi, mereka hidup didasari ego, alam pikiran mereka yang cenderung untuk berpikir bagaimana berperang, dan bagaimana sebagai orang yang mampu menaklukan suatu marga ke marga yang lainnya.

Setelah masuknya injil kristiani di pulau mansinam pada 1855 dengan penyebaran agama yang semakin cepat hingga ke wilayah maybrat imian sawiat yang dibawa oleh para penginjil Tuhan, sebetulnya orang Maybrat Imian Sawiat sudah mengenal kehidupan bersahabat. Kehidupan bersahabat ini di katakan bahwa bermula dari perang itu sendiri, yang mana ketika satu marga mampu mengalahkan marga yang satu maka istiri dari orang-orang yang dibunuhnya menjadi istri baginya, begitupula untuk anak yang ditinggal terlantar oleh orang-orang tua yang terbunuh di angkat sebagai anak asuh. Anak – anak yang di angkat sebagai anak asuh dari marga yang dibunuh tidak bisa di ubah marganya sehingga anak-anak atau istri dari para korban peperangan sebagai orang yang bisa mampu dengan bahasa mereka untuk memanggil marga-marga yang ditinggal untuk kumpul menjadi satu kelompok yang terdiri dari dua marga, tiga marga dan seterusnya demikian banyak.

Pemikiran orang Maybrat Imian Sawiat menjadi lebih dewasa dengan masuknya injil kristiani yang mengajarkan kasih sebagaimana mengharuskan setiap manusia agar mau tidak mau harus mengasihi musuh-musuhnya, maka pada waktu itulah terbentukklah suatu perkumpulan yang mana dikenal dengan nama dusun dimana dusun itu di kepalai oleh seorang kepala dusun. Yang dipercayakan sebagai kepala dusun adalah seseorang yang stratanya adalah orang terhormat atau yang disebut ‘bobot’, seseorang dikatakan bobot karena memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut: ia adalah keturunan bangsawan, memiliki hak wilayah tanah yang luas, berkepribadian, memiliki kemampuan dalam dunia perang, berburu, memiliki kekuatan alamiah, memiliki hubungan relasi dengan kepala dusun yang lain, berjiwa besar, dan siap menanggung segala persoalan yang dibuat rakyatnya.


A.1 . Bagaimana Tempat Tinggal Nenek Moyang Suku Maybrat Imian Sawiat Papua

Diatas telah disebutkan bahwa rumah leluhur Suku Maybrat Imian Sawiat dibuat dari bahan kayu dan rotan. Hal itu memang dibenarkan dengan suatu pembuktian sebagaimana adanya bukti – bukti otentik sertaa dengan sebutan nama too (rotan) dan sur (kayu), dan bila dikaji secara jauh kebelakang pada jaman sebelumnya orang-orang maybrat imian sawiat membutuhkan tempat tinggal untuk menanggulangi diri dan keluarga, baik dari hujan, binantang buas, maupun dari para musuh. Mau tidak mau mereka harus berpikir secara praktis dengan berbagai cara telah dilalui guna bertahan hidup, maka pada jaman kuno orang – orang maybrat imian sawiat memanfaatkan gua – gua (isra) sebagai tempat tinggal dimana gua – gua itu sebenarnya lebih mirib dengan ceruk – ceruk didalam batu karang yang dapat dipakai untuk berteduh.

Hingga saat ini belum adanya penelitian tentang gua – gua yang dahulu digunakan sebagai tempat melindungi diri. Disamping gua – gua, adapula benda-benda pusaka lainnya yang diwariskan nenekmoyang mereka yang hingga kini masih disimpang. Barang – barang warisan tersebut adalah : parang ‘hrambra’, parang ini menurut ceritera tetuah bahwa merupakan pemberian dari alam ‘tagio’ dan hingga kini tidak diketahui siapa pembuat parang tersebut, berikut taring naga ‘safah’, taring naga yang di jumpai membentuk lingkaran cyrus, dan taring babi ‘way’, taring babi membentuk huruf C, peninggalan – peninggalan tersebut dipercaya mempunyai nilai-nilai yang sangat tinggi.




Hrambra ‘ parang’



Way ‘ taring babi’












Farokh / hawereh “selokhy minuman”


Farokh, merupakan sejenis selokhy yang fungsinya sebagai tempayang penuangan minuman saguer. Selokhy tersebut terbuat dari bahan kayu serta diwarnai dengan tanah, arang dan air yang mana setelah di warnai, selokhy yang sudah diwarnai tersebut di keringkan pada api yang mana biasanya di letakan di atas bubungan yang berhubungan langsung dengan udara panas dari tungku api atau asap.

Setelah di keringkan selama dua sampai tiga bulan, selokhy tersebut bisa diambil dan di cuci dengan air yang bersih untuk dipakai sebagai alat penuangan minuman.












Haban “manik - manik” Taring naga “safah”









“”

Tin “anting - anting” haban “manik - manik” haban “manik - manik”











Peninggalan – peninggalan lainnya


Bagi suku maybrat, Imian dan sawiat, peninggalan – peninggalan ini merupakan harta karung turun – temurun yang dipercaya memiliki nilai – nilai tersendiri. Dianggap sebagai barang – barang antik dan merupakan harta karung karena barang – barang tersebut tidak pernah dijual dan hanya diperoleh dari hasil peninggalan.

Peninggalan – peninggalan tersebut merupakan bahan – bahan kelengkapan busana dalam menghiasi tubuh ketika menghadiri upacara – upacara terhormat. Pada waktu – waktu terdahulu, bagi Suku Maybrat, Imian dan sawiat, orang – orang yang berhak masuk dalam Rumah suci atau sekolah tradisional pada jaman itu, baik seorang Guru besar (kepala sekolah --- pendeta) “raa bam – na tmah”, guru pembantu “Raa Wyion --- Na wofle” maupun seorang murid yang baru menamatkan belajarnya “wyion tna ---- na wyion”, diharuskan untuk mengenakan pusaka – pusaka tersebut.

Untuk seorang murid yang telah berhasil dari prndidikan tradisional tersebut, sebelum meninggalkan ruang sekolahnya ia dipakaikan pakaian – pakaian khusus yang menandakan bahwa ia telah lulus atau dalam kepercayaan orang Maybrat, Imian dan sawiat ia adalah orang suci, karena ketika seorang anak yang disekolahkan disana ia diharuskan untuk berpuasa dan makanannya hanyalah sebongkahan keladi (ketala) dan minumannya adalah pucuk tebu yang paling mudah. Aturan makannya adalah sehari sekali dan itupun bilamana diperbolehkan oleh seorang guru besar.

Kepercayaan akan pendidikan tradisional itu tidak lain adalah didikan tentang theology natural. Yang mana didalamnya diajarkan suatu kepercayaan tradisional yang penuh dengan kekuatan ghaib, dan untuk memperoleh kekuatan – kekuatan tersebut, seorang murid diharuskan untuk meninggalkan bahkan melepaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemikiran – pemikiran yang jahat, pemikiran akan hal – hal lampau yang pernah ia laluinya, dan sepenuhnya bersedia untuk menyerahkan dirinya secar bersih untuk dididik. Dengan demikian maka murid tersebut menjadi murid yang suci dan yang paling termulia kelak.

Begitulah perkenalan singkat tentang sejarah perkembangan arsitektur tradisional maybrat imian sawiat.


  1. PERKEMBANGAN RUMAH TINGGAL SUKU MAYBRAT IMIAN SAWIAT


Perubahan dalam bentuk arsitektur rumah tinggal, terjadi karena perkembangan, bentuk arsitektur tidak ditemukan seketika, namun terbentuk melalui suatu proses. Yaitu ; proses mencoba (trial and error) merupakan bentuk intervensi manusia dalam suatu waktu yang cukup panjang. Oleh karena kompleksitas linear dengan waktu, maka dalam perkembangannya terjadi interaksi yang berkelanjutan antara rancangan yang tumbuh (growing design) dan lingkungan. Adapun analisa perkembangan rumah sebagai berikut :

  1. Tempat pertama orang Maybrat Imian Sawiat dan manusia umumnya berlindung dari kondisi iklim dan gangguan binatang buas yaitu pohon.

  2. Sama dengan diatas, Gua digunakan sebagai tempat untuk berlindung dari gangguan alam luar.

  3. Perkembangan selanjutnya adalah mulai dikenalnya suatu konstruksi kaku dari ranting – ranting kayu yang membentuk suatu rumah atau tenda.

  4. perkembangan berikutnya dengan meninggalkan bangunan / rumah panggung untuk keamanan diri dari binatang dan juga dari musuh serta kenyamanan kelembaban.

  5. bentuk berikutnya masih menyerupai bentuk sebelumnya, namun ditambah dengan peningkatan kualitas dan variasi elemen bangunan.

  6. bentuk yang mengikuti perkembangan dan kecanggihan.

Faktor – faktor yang mempengaruhi rumah tinggal Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat yaitu :

  1. Pengaruh iklim terhadap ciptaan bangunan

  2. Pengruh situasi lingkungan berkaitan dengan ancaman baik hewan dan manusia

  3. Larangan religi yang ditemukan pada elemen – elemen tertentu.

  4. Simbolisasi kegunaannya, bahan : konstruksi dan teknologi sebagai faktor pengubah, tidak menentukan bentuk.

  5. Perekonomian tidak mempunyai dampak yang menentukan bentuk rumah

  6. Pengaruh agama terhadap bentuk, rancangan, tujuan dan orientasi, khususnya rumah suci/rumah sekolah tradisional.



Skematik Perkembangan Bentuk Rumah.









1. Manusia dan Pohon 2. Manusia dan Gua


radiasi matahari+hujan

alang-alang/

daunan




3. Manusia dan Shelter 4. Hunian Panggung









5. Penghambatan Panas dengan 6. Penghambatan Panas dengan

Ruang Udara dan Pembayangan tanpa Bayangan.



Wujud dan struktur rumah Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat merupakan bangunan tradisional yang mana dapat dipakai sebagai cermin akan tingkat teknologi, cermin akan gaya hidup (wav of life) serta nilai – nilai Masyarakat Maybrat Imian Sawiat.

Rumah tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat baik struktur maupun bahan lainya menunjukkan kondisi lingkungan serta bahan bangunan rumah dari kayu, bambu, dan gaba – gaba. Bahan – bahan ini membatasi variasi bentuk atau struktur bangunan, terutama bila dikerjakan dengan teknologi sederhana. Orang – orang di wilayah Maybrat Imian Sawiat Kabupaten Sorong Selatan yang juga termasuk dalam hutan tropis, hanya berpikir membuat atap rumah agar memperlancar jatuhnya air hujan. Demikian juga ditemukan di daerah rawa – rawa atau perairan (pesisir) yang mendirikan rumah dengan kecenderungan menggunakan tiang pancang yang tinggi agar menghindar dari pasang surutnya air payau (air laut).


B.1. Arsitektur Rumah Tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat

Rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat merupakan salah satu Rumah Tinggal tradisional yang ada di Indonesia. Rumah Tradisional Suku Maybrat Imian Sawiat adalah sebuah bangunan rumah panggung dari tiang – tiang kayu yang ukurannya panjang. Tiang yang dipergunakan adalah kayu yang dikategorikan sebagai jenis kayu yang kuat pada daerah tropis, yang mana disambung dari satu struktur ke struktur yang lain saling berkaitan.

Dari segi organisasi ruang, rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat dibagi dalam dua bagian utama yaitu : Isit (teras) dan Samu Mato (ruang dalam/interior). Sedangkan untuk Kwin (Rumah Suci / Sekolah) memiliki : Bohra mne (Halaman Luar), samu mato ro mbaouw (Ruang Suci), dan samu mato ro mbaouw toni (Ruang Maha Suci).

Bentuk asli rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat Terdiri dari tiga bagian yaitu : bagian kaki, bagian badan dan bagian kepala. Bagian kaki adalah Hafot – Sur (Koloum - Tiang) dan Barit (tangga). Bagian badan adalah samu mato (ruang dalam/interior) sebagai ruang aktifitas, kriras (dinding). Bagian kepala adalah afi (Atap). Koloum berbentuk segi empat dan adapula yang berbentuk bulat. Tiang berbentuk bulat. Koloum dan tiang bertumpu langsung pada tanah untuk rumah gantung yang dibangun pada permukaan tanah, sedangkan tiang bertumpu pada badan pohon, bagi rumah gantung / rumah pohon yang di bangun diatas pohon rindang. Bagian kepala atau atap umumnya berbentuk pelana, dengan kemiringan 45°. Pada ujung atapnya dibiarkan ukuran kayu yang kelebihan sebagai penggantungan rahang Babi yang menunjukkan kemampuan berburu seorang laki – laki. Dalam aliran membangun rumah, bentuk bangunan dalam strata /kasta tidak ditonjolkan.

Rumah tradisional Maybrat Imian Sawiat tidak memiliki jendela, namun dalam penghawaan dalam ruang, Orang – Orang Maybrat Imian Sawiat cenderung membuat ukuran ventilase/kisi – kisi sangat besar tanpa ditutup sehingga udara yang masuk mampu memberi hawa kenyamanan udara yang baik.

Masyarakat Maybrat Imian Sawiat mendirikan rumah dengan tidak adanya ukuran namun dengan cara kira – kira yang mana disesuaikan dengan ukuran bahan – bahan bangunan seperti kayu. Baik dinding, tangga, bahkan ukuran tinggi bangunan sedangkan atap diukur dengan bentuk pola Daun dan Swastika, yang dalam bahasa Tionghoa dikenal dengan Banji. Pada jaman perunggu Eropa Barat juga dikenal Swastika sebagai lambang peredaran bintang utamanya matahari dan digambarkan sebagai lambang pembawa tuan.

Perkembangan bentuk rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat mengalami empat tingkatan / fase yaitu :

  1. Fase Pertama, mereka hanya bertempat tinggal di Bandar pohon (ara mair) dan gua – gua (isra). Adakalanya gua – gua tersebut sebagai tempat tinggal dalam waktu yang begitu lama dan adakalanya hanya sebagai tempat persinggahan dalam perjalanan jauh maupun dalam menyelesaikan pekerjaan seperti berkebun, dan berburu.












Gambar : Gua sebagai tempat hunian mula – mula

Suku Maybrat Imian Sawiat.



  1. Fase Kedua, mereka mulai mendirikan rumah tempat tinggal yang berukuran tinggi maupun diatas pohon – pohon besar guna menghindari bahaya dari binatang buas, dan musuh. Pada fase ini mereka sudah memikirkan tentang keselamatan dan kenyamanan diri.
























Gambar: Rumah tinggal pertama Suku Maybrat Imian Sawiat

harit myio/bol halit – rumah gantung

(jenis rumah yang bertumpuan diatas tanah)



























Gambar : Rumah tinggal pertama Suku Maybrat Imian Sawiat harit

myio – bol halit → rumah gantung

(jenis rumah yang tumpuan strukturnya pada pohon)



  1. Fase Ketiga, pada fase ini mereka sudah mengalami kemajuan, dan dapat dikatakan sebagai fase pendekatan kearah semi moderen. Bentuk rumahnya telah ada yang menyamai rumah moderen yang ada, bila dilihat dari segi modelnya, namun masih dengan bahan – bahan alami.









Gambar : Rumah tinggal Semi Moderen Suku Maybrat Imian Sawiat

  1. Fase Keempat, pada fase ini merupakan fase yang sudah dipengaruhi oleh moderenisasi. Perabot sudah serba moderen, dan perdagangan sudah sangat meluas menelusuri seluruh perkampungan Maybrat Imian Sawiat di wilayah Kabupaten Sorong Selatan. Dan manusianya sudah menjadi orang - orang yang berhasil. Bagi masyarakat Maybrat Imian Sawiat, pendidikan sangat penting bagi mereka karena pendidikan menandakan bahwa masa depan itu ada.

Pembangunan rumah tinggal suku Maybrat Imian Sawiat ini tidak lepas dari budaya yang berkembang di Masyarakatnya. Sebagai Masyarakat yang asal usulnya dikenal dengan manusia Nelayan, Petani dan Pemburu, maka tak herang kalau mereka mengenal budaya Appabolang. Appabolang itu sendiri adalah faktor – faktor yang menjadi pertimbangan Masyarakat Suku Maybrat Imian Sawiat untuk mendirikan rumah. Faktor – faktor tersebut adalah Pola hidup, mata pencaharian, pengetahuan akan lingkungan alam, agama dan kepercayaan.

Sampai sekarang pola rumah ini cenderung tetap bertahan, namun adanya keraguan akan keeksistensiannya hingga tahun 2025 karena suku Maybrat Imian Sawiat cenderung mengembangkan arsitektur barat ketimbang arsitektur tradisional mereka, walau sebagai masyarakat petani dan pemburu yang boleh dikatakan lekat dengan kebudayaan mereka yang pasti dalam mempertahankan nilai – nilai dan bentuk – bentuk tradisionalnya, karena secara keseluruhan masyarakat, alam dan bangunan telah menyatu dalam nilai budaya yang utuh namun hanya sebatas mengetahui karena hingga kini kecenderungan manusia Maybrat Imian Sawiat dalam mengembang moderenkan arsitektur tradisional mereka tidak terlihat (kurang adanya pengeksplorasian).


Perlu diketahui bahwa perumahan suku Maybrat Imian Sawit ini berada di wilayah alam hutan dengan kondisi alam yang sangat keras. Dalam hal ini dapat digambarkan bahwa alam Papua umumnya dan alam sekitar perumahan suku Maybrat Imian Sawiat dikenal dengan alam yang penuh dengan gunung - gunung, lembah, tebing terjal, hutan, semak belukar dan lereng perbukitan. Hal ini akan menjadi tantangan bagi rumah yang berhubungan langsung dengan alam homogen untuk tetap bertahan, karena disamping menyesuaikan diri dengan pengaruh alam sekitar, juga masalah kelembaban yang ditimbulkan dari alam. Kencangnya angin yang bertiup dari daratan pada malam hari dapat merubah suhu udara menjadi sangat dingin dan perlu diketahui bahwa curah hujan didaerah ini terjadi sepanjang tahun. Hal ini tentunya mendatangkan masalah tersendiri yang sangat penting untuk diperhatikan bagi para petani yang berkebun dan pemburu.

Keberhasilan atau kelanggengan perumahan ini untuk tetap bertahan hingga kini, berarti membuktikan bahwa keterujiannya untuk mengantisipasi kondisi iklim lingkungannya. Ketangguhan rumah tinggal Suku Maybrat Imian Sawiat beserta nilai – nilai budaya masyarakatnya terhadap pengaruh iklim lingkungannya hingga kenyamanan thermal dalam ruang dan keselamatan dari serangan – serangan dapat tercapai, hingga terasa perlu untuk dipertahankan dan menarik untuk ditulis.


Tidak ada komentar: